It's Me

Name: Maryulis Max
Home: Padang, Sumatera Barat, Indonesia
About Me: Saya mencoba untuk menuliskan apa yang saya lihat, dengar dan rasakan. Insya Allah bermanfaat bagi kemanusiaan...
See my curiculum vitae
Komunitas Kampuang

Photobucket - Video and Image Hosting

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Ketik: sumbar dan kirim ke 7505, dari semua operator cellular di Indonesia. Dengan begini anda sudah menyumbang sebesar Rp. 6000.

Jejak Blogger

Free Web Counter

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Penghargaan

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Pernah Sato Sakaki

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Lomba Hut ke-3 Blogfam

Lomba Blogfam HUT Kemerdekaan RI ke 

61

Peserta Lomba Hari Kartini 2006

MyBlogLOG


Komen Terbaru


Banner Ambo

Maryulis Max Blog

 


23 February 2006
Utang Pemko Padang
Image hosting by Photobucket YANG namanya berutang, tidak melulu identik dengan orang miskin yang lagi (dan selalu) bokek, atau perusahaan konglomerasi yang kehabisan modal karena ditilep owner atau manajemennya. Pemerintah RI pun punya utang, yang katanya baru bisa lunas selama tujuh turunan bangsa Indonesia.

Dalam konteks lokal, itupun terjadi. Menyusul terungkapnya ke khalayak umum bahwa Pemko Padang punya utang. Sebenarnya secara kasat mata tidak ada yang menarik soal utang-piutang seperti itu. Wajar, karena Indonesia saja punya utang yang begitu bejibun. Cuma utang yang satu ini, ditenggarai karena Pemko kelewat foya-foya, sehingga dana yang telah dianggarkan pada APBD 2005 di pos pengeluaran masing-masing menjadi tidak mencukupi untuk menutup kebutuhannya.

Adalah Fraksi PKS (F-KS) DPRD Kota Padang yang mengungkap kasus ini ke media, kendati sebelumnya hal ini menjadi pembicaraan hangat di tingkat Panitia Anggaran (Panggar) --namun tidak pernah terekspos di awal-awal pembahasan RAPBD 2006, lantaran tidak ada niat mereka mengeksposnya ke luar.

Disebutkan Ketua FKS, Budiman SAg didampingi Djunaidy Hendri ST pada Selasa lalu (21/02/06), Pemko Padang menghabiskan uang melebihi pagu dana yang telah ditetapkan dalam APBD Padang 2005. Kemudian, kelebihan itu dicantumkan sebagai tagihan pihak III dalam RAPBD Padang 2006. Total, kelebihan dana yang telah dihabiskan Pemko Padang Rp 703.645.325. Hal itu dianggap telah terjadi kesalahan dalam pengelolaan keuangan negara.

Terdapat 8 unit kerja di Pemko Padang yang menghabiskan uang melebihi pagu dana yang telah ditetapkan. Yakni, Kantor Kesbang Linmas sebanyak Rp 99 juta yang dipergunakan untuk pengadaan baju kaos Hansip. Departemen Pendidikan Padang (SMAN 8) sebesar Rp 1,162 juta yang telah dipergunakan untuk biaya listrik dan air. Bagian Umum sebanyak Rp 296.661.065 yang digunakan untuk tagihan telepon dan Rp 34.954.753 untuk pembayaran tagihan ke Toko Aneka Ria serta Rp 261.706.312 yang dihabiskan untuk biaya makan, minum, service kendaraan dan tamu Pemko Padang.

Selain itu, pada pos Kepala Daerah, juga terdapat dana sebesar Rp 12.050.000 yang digunakan untuk biaya makan dan minum. Kemudian pada Dinas Kesejahteraan Sosial terdapat dana sebesar Rp 39.796.980 yang merupakan tunggakan Pemko Padang pada PD Dinamika, akibat melakukan service dan penggantian spare part kendaraan operasional milik Pemko pada tahun-tahun lalu. Di RSUD Padang juga terdapat kelebihan pemakaian dana sebanyak Rp 6.630.000, yang diakibatkan banyaknya pasien yang mengalami rawat inap, sehingga terjadi kekurangan makanan pasien.

Pada Bagian Bina Sosial terdapat dana Rp 230 juta yang tidak jelas rinciannya telah dipergunakan untuk apa, Rp 170 juta yang dipergunakan untuk pembayaran honor guru TPA tahap II dan Rp 60 juta yang merupakan kekurangan biaya pelaksanaan Pesantren Ramadhan 2005. Pada Dinas Perhubungan juga terdapat Rp 18.345.280 yang diakibatkan tunggakan listrik di Terminal Regional Bingkuang.

Lalu muncullah tanggapan yang cukup nyelekit soal utang ini. Salah satunya dari anggota Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB), Oktavianus Rizwa SH. Katanya, Pemko Padang tidak bisa menganggarkan begitu saja di RAPBD 2006, dana-dana yang telah dipakai di tahun anggaran 2005 tanpa ada payung hukum yang jelas. Apalagi, dana yang telah terlanjur dipakai itu juga tidak mendapat persetujuan dewan terlebih dahulu. Dengan begitu, eksekutif Padang tidak taat pada anggaran yang telah ditetapkan.

Muncul sanggahan dari Kepala Bagian Keuangan Pemko Padang, Hj Corry Saidan SE Akt yang menyebutkan kegiatan yang dilaksanakan Pemko Padang tetap mengacu pada pagu dana yang telah ditetapkan. Namun lantaran banyaknya kegiatan yang dilaksanakan, terdapat beberapa unit kerja yang memakai uang melebihi pagu dana yang telah ditetapkan. Kemudian, dana itu dialokasikan dalam RAPBD Padang 2006 dengan memasukannya pada pos pembiayaan.

Kata dia, dengan adanya tagihan pada pihak III di berbagai unit kerja yang ada di Pemko Padang itu, terserah dewan untuk menindaklanjutinya. Apakah mau diakui sebagai pos pembiayaan atau tidak.

Puncaknya, kasus ini nyaris membuat RAPBD 2006 ditolak anggota DPRD Padang dalam sidang paripurna yang digelar Rabu (22/02/06). Sidang sempat diwarnai voting lantaran adanya dua item yang dinilai bisa memicu munculnya masalah di kemudian hari. Dua item itu adalah masalah PJU dan lampu taman, serta masalah tagihan pihak III sebesar Rp 703.645.325 pada daftar pinjaman daerah yang membuat sejumlah anggota dewan memilih sikap menolak menyetujui nota tersebut.

Seperti biasa, ada kelompok yang menolak untuk disahkan dan ada pula ada yang menerima dengan catatan. Kendati begitu, setelah dilakukan musyawarah pimpinan dewan dengan pimpinan 6 fraksi di DPRD Padang, akhirnya mereka bersepakat untuk fokus saja pada item anggaran yang masih dianggap tidak memiliki landasan hukum yang jelas itu. Setelah dilakukan voting terbuka terhadap dua item itu, akhirnya yang menolak berhasil dikalahkan yang menerima karena kalah suara secara signifikan.

Yang menjadi persoalan adalah, mengapa ada penolakan yang demikian kerasnya atas utang-piutang ini. Jawabnya, karena utang kepada pihak ketiga seperti itu, bertentangan dengan Kepmendagri No 29 Tahun 2002 Pasal 1 yang menyatakan “pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun tertentu, dan belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah". Selain itu, pada APBD 2005 lalu, belanja yang menghasilkan utang ini tidak tercantum sama sekali.

Bisakah ini dikatakan korupsi? Oktavianus Rizwa punya jawabnya. Kata dia, “Setiap item pengeluaran di berbagai unit kerja yang ada di pemerintahan, terlebih dahulu telah diprediksi dalam anggaran yang kemudian disahkan melalui APBD. Jika dalam perjalanan waktu terjadi kelebihan pembayaran, berarti eksekutif tidak cermat menyusun anggaran,” jelasnya.

Akibat ketidakcermatan itu, terangnya, eksekutif tidak bisa serta merta
menganggarkannya dalam APBD di tahun berikutnya. Apalagi, kelebihan pembayaran yang kemudian dianggap sebagai tagihan pihak III tersebut, tidak pernah diketahui legislatif. “Ini bisa dikategorikan penyalahgunaan pengelolaan keuangan negara. Masuk ranah korupsi,” tandasnya.

Benarkah seperti itu? Jawabnya belum apabila dan bisa jikalau saja. Itu belum bisa dikatakan korupsi apabila APBD 2006 ini tidak disahkan setelah mendapat persetujuan dari gubernur Sumbar. Atau kata lain, dicoret penganggarannya dari tagihan pihak III. Dan akan bisa dikatakan korupsi jikalau APBD 2006 ini disahkan dan disetujui gubernur Sumbar.

Lalu bagaimana mengatasi Tipikor ini? Gampang, gubernur harus mencoret anggaran pihak III itu dari nota APBD 2006. Sementara soal pembayaran, terserah pihak yang telah berutang, mau diganti pakai duit pribadi, boleh. Mau diganti secara kolektif juga bagus. Yang tidak boleh bila memakai uang rakyat untuk membayar utang serupa itu. Ingat, rakyat telah terbebani dengan beragam utang, baik utang pribadi maupun utang negara. (***)
Padang, 23 Februari 2006

Read more!
posted by Maryulis Max @ 12:39 PM   2 comments
21 February 2006
Cukong Kayu Sumbar Akhirnya Ditahan
Image hosting by Photobucket
NURBAY Candra alias Labay akhirnya ditahan di sel Mapolres Pesisir Selatan (Pessel), Senin (20/02/06). Dia ditahan, setelah polisi menyatakannya sebagai tersangka pasca diciduk di kediamannya di Bungus Teluk Kabung Padang, Kamis (16/02/06)lalu.

Penahanannya, menyusul dengan telah dikeluarkannya Surat Perintah Penahanan (SPP)-nya terkait robohnya jembatan Sungai Kuyung, Kecamatan Basa IV Balai Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan yang terjadi 17 Januari 2006 lalu. Selain itu, juga terkait dengan kepemilikan 5 truk interculler sarat kayu, yang ditangkap tim terpadu di sebuah sawmill ilegal di Nagari Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pessel.

Penahanan ini, patut diacungi jempol. Pasalnya warga sempat bertanya-tanya, ketika polisi hanya memeriksa dan lalu melepaskannya. Padahal dia telah ditetapkan sebagai tersangka. Proses hukum harus terus dijalankan, jika memang komitmen memberantas illegal logging di Sumbar ingin ditegakkan. Agar hutan Sumbar yang luasnya mencapai 2,6 juta Ha dapat terjaga dari jarahan oknum-oknum berperilaku seperti cukong yang satu ini.

Semua orang tahu siapa gerangan Labay. Dialah cukong kayu yang terkenal licin dan lihai dalam mengelola bisnis kayu balak ini. Tapi begitu, tidak banyak yang tahu, apakah dia pemilik HPH atau hanya sebatas "penadah" kayu hasil curian. Karena memang, sedikit sulit mengungkap bisnisnya tersebut, mengingat dia dikelilingi beberapa bodyguard yang siap menjaga dan membela boss-nya itu.

Sebagai bukti betapa sulitnya pers mengungkap bisnisnya adalah kasus pemukulan terhadap wartawan Posmetro Padang, Dasman Boy dan fotografer, Ermansyah. Mereka berdua, menjadi bulan-bulanan 8 kaki tangan Labay -- termasuk seorang aparat militer Korem 032/ Wirabraja Sumatera Barat bernama Usman-- ketika ketika meliput kasus penimbunan bahan bakar minyak (BBM), pada 14 Oktober 2005 lalu di gudang kayu Labay yang ada di Bungus Teluk Kabung. Sekarang kasus penganiayaan wartawan tersebut sedang diproses secara hukum di Pengadilan Negeri Padang. Sementara Usman sendiri --katanya-- juga di proses di Mahkamah Militer Padang.

Kelihaian Labay lainnya yang berhasil membuat semua kalangan terkecoh dan kemudian terungkap adalah soal keberadaan gudang kayu miliknya yang ternyata tidak mengantongi izin. Yang dimiliki Labay hanya surat izin tempat usaha (SITU) atas nama perusahaan, sementara izin gudang dan izin gedung tidak dimilikinya.

"Namun, SITU itu pun diduga palsu,” kata Surya Budi, Humas Kota Padang sebagaimana dilansir Kompas (24/10/05).

Labay, kata Budi, dianggap telah melanggar peraturan daerah (Perda) seperti Perda No 06 Tahun 1999 tentang Izin Mendirikan Bangunan, Perda No 09 Tahun 2001 tentang Surat Izin Tempat Usaha, dan Perda No 03 Tahun 2004 tentang SIUP TDUC. Karena itu, gudangnya tersebut sempat disegel Pol PP Kota Padang.

Kehebatannya yang lain adalah kasus robohnya jembatan Sungai Kuyung --yang akhirnya mengantarkan dirinya berhadapan dengan hukum--. Ketika peristiwa itu terjadi, truk bermuatan kayu tanpa dokumen itu "lenyap" dari TKP. Akibatnya, Bupati Pessel, Drs H Nasrul Abit menjadi "kalimpasiangan", dan memaksa dirinya melakukan rapat Muspida untuk menyelesaikan kasus ini.

Sekarang kasus itu dan kasus tertangkapnya 5 truk kayu Labay dari 8 unit truk tronton bermuatan kayu 240 m3 yang ditangkap terpisah, telah membawa Labay ke ujung tanduk. Kemungkinannya hanya ada dua, dia lepas karena adanya "permainan" atau dia terhempas jikalau aparat hukum komit menegakkan hukum. Kita tunggu... (***)
Padang, 21 Februari 2006

Read more!
posted by Maryulis Max @ 11:46 AM   1 comments
20 February 2006
Ka Te Pe
Image hosting by PhotobucketBara awak kanai pak?" tanya seorang warga kepada pegawai sebuah kelurahan ketika dia mengurus pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
"Bayia se limo baleh ribu, bia capek beres" jawab pegawai yang tengah membolak-balik berkas si penanya. Percakapan itu kerap terjadi di kelurahan-kelurahan yang ada di Kota Padang ketika seorang warga mengurus kelengkapan dokumennya mulai dari pembuatan KTP, Kartu Keluarga, surat keterangan ini dan itu serta sebagainya.

Dan percakapan ini bisa terus berlanjut, bila warga ingin segala urusannya cepat tuntas hari itu juga, tanpa harus menunggu hitungan hari lagi. "Bara ka apak agiah se lah, nan pasti hari ko pasti salasai, apak tarimo barasiah," demikian kira-kira jawaban yang akan meluncur. Apa yang salah dari percakapan ini?

Sebenarnya tidak ada yang salah, bila kita kaitkan dengan hukum dagang. Tapi bila dirujuk secara hukum dan menilik pada semangat good governance yang kini didengung-dengungkan pemerintah, terang saja salah.

Bagi beberapa kalangan, mungkin ini adalah kesalahan kecil yang tidak perlu dipersoalkan dan menjadi sebuah kewajaran. Dalam artian ada simbiosis mutualisme yang menguntungkan kedua belah pihak, pihak pemberi layanan dan yang membutuhkan pelayanan. Tapi kalau saja keduanya mengerti tugas, hak dan kewajibannya, ini semua tidak perlu terjadi. Bahwa sebenarnya pelayan untung, yang dilayani buntung.

Merujuk kepada Perda No 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, sebenarnya percakapan serupa itu tidak perlu terjadi. Karena secara terang-terangan dan pasti, soal tarif tiada lagi negosiasi. Di pasal 8 Perda itu disebutkan bahwa tarif retribusi untuk pembuatan KTP adalah Rp 7.500. Tidak lebih dan tidak pula kurang.

Tapi kenapa harga yang sudah pasti itu bisa di-mark up begitu saja? Jawabannya terkait sekali dengan transparansi. Harus diakui --terutama sekali oleh pihak Pemko Padang--, bahwa yang namanya transparansi dalam hal public service belumlah transparan seperti yang diinginkan. Malah gelap dan dikelam-kelamkan. Tidak percaya? Pergilah ke 104 kelurahan yang ada di Kota Tercinta yang katanya "Ku Jaga dan Ku Bela" ini. Pernahkah ditemukan selembar papan atau media lain yang secara transparan menerakan bandrol harga sebuah layanan?

Kalau memang ada kelurahan yang memampangkannya, mungkin itu adalah sebuah pengecualian yang patut kita jempoli. Paling yang paling banyak ditemukan adalah selebaran persyaratan ini dan itu yang harus dipenuhi. Sementara soal harga, tunggu dulu.

Soal salah, kesalahan ada kepada dua belah pihak. Sang warga mau memberi, sang pelayan siap meminta dan sangat mau menerima. Walhasil terjadilah penyakit lama yang belum juga terkikis habis hingga sekarang, yaitu korupsi kecil dalam bentuk suap-menyuap. Ini patut segera disikapi oleh Walikota Padang. Saat inilah masanya untuk melakukan reformasi birokrasi khususnya dalam hal public service. Semangat untuk itu telah pula diapungkan Presiden SBY, yang membersihkan rumahnya (istana-red) yang dimulai dari mengaudit Sekretariat Negara.

Tapi khusus untuk Kota Padang, disampingkan membersihkan lingkup yang sama, juga amat perlu segera memperbaiki sistim pelayanan publik yang lebih profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif, dan adaptif, sekaligus diikuti peningkatan kapasitas individu para pelayan masyarakat itu.

Mungkin tidak ada salahnya --kembali-- dirujuk kriteria pelayanan publik yang dibuat Lembaga Administrasi Negara (LAN) pada 1998. Disebutkan bahwa kriteria pelayanan publik antara lain, sederhana, jelas dan pasti, aman, terbuka, efisien dan ekonomis. Sederhana, artinya, tata cara pelayanan diselenggarakan cukup mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan masyarakat yang membutuhkan pelayanan.

Sedangkan jelas dan pasti, maksudnya ada kejelasan mengenai tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan, baik teknis maupun persyaratan administratif, unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan, tata cara pembayaran, serta jadwal waktu penyelesaian.
Sementara aman, dalam artian proses hasil pelayanan dapat memberikan keamanan, kenyamanan, dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Terbuka, yaitu tata cara persyaratan, satuan kerja atau pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan, wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah dipahami masyarakat, diminta atau tidak diminta.

Sedangkan efisien, kriteria ini mengandung arti, persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan.

Terakhir, Ekonomis, yakni biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang dan jasa pelayanan masyarakat dan tidak menuntut biaya yang tidak wajar. (***)

Read more!
posted by Maryulis Max @ 12:39 PM   1 comments
17 February 2006
Mengundi Nasib Jadi PNS
Image hosting by Photobucket PADA Sabtu, 11 Februari 2006 sebanyak 7.655 orang pelamar "mengadu nasib" menjadi PNS di lingkungan Pemko Padang. Jumlah sebanyak itu, akan berebut 469 formasi. Dengan rincian, formasi guru sejumlah 278 orang, tenaga kesehatan sebanyak 52 orang dan tenaga teknis lainnya sekitar 139 orang. Formasi segitu, diprioritaskan 70% kepada tenaga honorer dan pelamar umum 30%.

Formasi sebanyak itu, diperebutkan pelamar umum untuk tenaga pendidikan sebanyak 1.923 orang, tenaga kesehatan (270 orang), tenaga penyuluh (16 orang), tenaga teknis (1.865 orang), tenaga administrasi (1.655 orang). Sedangkan untuk tenaga honorer, bagi tenaga pendidikan (657 orang), tenaga kesehatan (94 orang), tenaga penyuluh (8 orang), tenaga teknis (911 orang), tenaga administrasi (256 orang).

Dengan komposisi demikian, patut menjadi pertanyaan, "kenapa masyarakat masih saja ngebet jadi PNS?" Padahal, semua orang tahu bahwa menjadi PNS adalah untung-untungan. Terlebih lagi dengan adanya pandangan skeptis sejak dulu kala yang menyebutkan, "kalau nggak ada duit dan pem-backing, mana mungkin jadi PNS". Sinisme ini, dicoba diputus pemerintah daerah setempat dengan menjanjikan bahwa pelaksanaan ujian CPNS berlangsung transparan dan tak berlaku katabelece apapun lantaran prosesnya langsung dari pusat.

Seperti yang disampaikan Walikota Padang, Drs H Fauzi Bahar MSi, penerimaan PNS tahun ini diupayakan setransparan mungkin dan tidak ada “permainan”.

“Kalau terbukti, ada oknum PNS ataupun pihak luar “bermain” dalam penerimaan CPNS, kita akan tindak mereka dengan tegas. Sebab hal itu, sudah mengarah kepada tindak pidana. Kita akan serahkan mereka ke pihak berwajib untuk diproses sesuai dengan hukum,” tandasnya.

Kembali ke pertanyaan pertama, kenapa masyarakat masih ingin jadi PNS, Gubernur Sumbar, H Gamawan Fauzi SH MM punya jawabnya. Katanya, prinsip masyarakat kita hari ini, biar bergaji kecil, asal jadi PNS. Karena menjadi PNS di Indonesia adalah pekerjaan paling bergengsi dan menempati posisi kelas satu.

"Padahal 70% lapangan pekerjaan di luar pemerintahan, jauh lebih menggiurkan dengan gaji yang juga jauh lebih tinggi," katanya dengan sirat keheranan.

Sepintas lalu, kita punya jawabannya. Menjadi PNS, bisa makan gaji buta. Karena kerja tak begitu banyak, cukup ngisi absen, lantas duduk baca koran atau main game di komputer, lalu pulang. Terlebih lagi dengan diberlakukannya sistem 5 hari kerja. Kendati jam kerja menjadi panjang dari sebelumnya, tetap saja kerja yang diharapkan tidak maksimal. Karena memang tidak ada pelayanan yang akan diberikan. Kalaupun ada sesuatu yang bisa dikerjakan, bisa dilegasikan ke rekan yang lain dengan dalih macam-macam.

Kenapa ini bisa terjadi? Karena struktur dan jumlah PNS itu sendri yang sudah "gemuk". Pegawai banyak, sementara kerja sedikit. Walau memang ada juga kondisi sebaliknya di instansi teknis tertentu. Namun secara general, begitulah kondisi PNS di Kota Padang, dan juga di seluruh Indonesia.

Maka wajar, bila orang-orang begitu ngebet jadi PNS. Untuk meluluskan niat, segala cara ditempuh. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, beberapa warga ketipu habis oleh calo PNS yang ngaku dekat dengan oknum pejabat. Hasil akhirnya, sang calo dihukum 3 tahun penjara. Sedangkan yang memakai jasa calonya terpaksa gigit jari, karena pekerjaan idamannya tidak kesampaian, sementara duit habis jutaan rupiah untuk nyogok sang calo.

Cara-cara ilegal pun ditemukan dalam ujian CPNS pada Sabtu lalu itu, yaitu dengan memanfaatkan jasa joki. Tiga orang oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pengadilan Negeri Padang, Kejaksaan dan Kehakiman yang bertugas sebagai pengawas ujian CPNS yang dipusatkan di GOR H Agus Salim Padang, diamankan Poltabes Padang. Mereka diduga jadi joki, dan ditangkap saat sibuk menulis jawaban soal-soal ujian di HP dan mengirimkan kepada peserta. Karena kedapatan sedang menulis di HP, mereka langsung diseret ke Mapoltabes Padang untuk diperiksa. Bersama ketiganya juga diamankan dua buah HP yang digunakan dalam aksi tersebut.

Dalam pemeriksaan yang dilakukan Poltabes Padang, mereka dikatakan tidak terbukti melakukan perbuatan menjadi joki itu. Apa iya? ketika ditangkap, SMS yang ada di HP oknum PNS itu diperiksa petugas, di dalamnya tertulis puluhan jawaban soal ujian yang diketik dengan angka dan huruf. Seperti 1a, 2d, 3b, 4d dan seterusnya. Ketiganya pun tak dapat mengelak lagi, karena di ponselnya memang tertulis kunci jawaban soal ujian itu. Tapi kenapa dilepas? Begitulah intrik-intrik untuk menjadi seorang PNS... (***)
Padang, 13 Februari 2006

Read more!
posted by Maryulis Max @ 9:37 AM   1 comments
11 February 2006
Lucu, Kota Padang Dapat WTN
Image hosting by Photobucket BAGI yang pernah ke Kota Padang atau warga Kota Padang sendiri, pasti akan kaget membaca berita yang dimuat media massa lokal pada Selasa, 7 Februari 2006 lalu. Mungkin, yang mengerti persoalan dan sadar realitas sosial akan tersenyum simpul untuk menahan pecahnya tawa, setelah membaca berita itu.

Apa pasal? Pemerintah pusat melalui Menteri Perhubungan RI akan menganugerahkan penghargaan Wahana Tata Nugraha (WTN). Sebuah penghargaan dalam bidang ketertiban lalulintas. Atau dalam bahasa Kepala Dinas Perhubungan Kota Padang, Yurnalis Idrus SH, penghargaan WTN merupakan lambang supremasi keberhasilan pemerintah kota dalam mengatur jalur transportasi lalulintas. Penghargaan ini merupakan yang keempat kalinya diraih Kota Padang sejak tahun 2001, 2002 dan 2003. Pada tahun 2004, Kota Padang gagal mempertahankan piala WTN dan hanya mampu meraih penghargaan berupa piagam.

Disinilah lucunya. Bagaimana bisa dan kenapa pantas sebuah kota seperti Kota Padang ini bisa mendapat penghargaan serupa itu. Realitas yang terjadi, sejumlah kawasan masih macet dan belum akan ada perubahannya dalam waktu dekat ini. Seperti Jalan Pemuda (depan Plasa Andalas), Jalan Samudera, Jalan Bundo Kanduang, Jalan Bagindo Aziz Chan, Jalan Proklamasi dan yang lebih dahsyat di Jalan M Yamin, Jalan Pasar Baru dan Jalan Hiligoo yang berada di kawasan Pasar Raya. Macet di kawasan itu, bersifat permanen. Belum lagi macet temporer seperti di Jalan Perintis Kemerdekaan hingga kawasan Siteba, Jalan Hamka (terutama depan Minang Plaza dan di simpang Cenderawasih) dan jalan arteri serta jalan kolektor (penghubung) lainnya yang ada di kota ini, yang biasanya macet di pagi hari, siang dan sore.

Itu baru kondisi jalannya, belum lagi parameter lainnya. Seperti, sampai saat ini Kota Padang belum punya terminal angkutan pasca dialihfungsikannya terminal angkutan umum (Terminal Goan Hoat) menjadi pasar modern yang hingga kini belum selesai pengerjaan bangunannya. Entah bagaimana kondisinya nanti apabila pasar modern ini beroperasi. Bisa dibayangkan betapa macetnya Jalan M Yamin, lokasi dimana pasar modern itu berdiri. Padahal sekarang saja, macetnya minta ampuuunnn....

Sudahlah begitu, terminal bayangan pasca "dilenyapkannya" Terminal Lintas Andalas dan difungsikannya Terminal Regional Bingkuang (TRB), semakin menjadi-jadi. Bus AKDP ngetem di sejumlah titik yang ada di Kota Padang, seperti Gauang, Lubuk Begalung, dan di utara kota. Ditambah pula meruyaknya travel liar yang hadir menjawab kebutuhan masyarakat yang ingin cepat, tepat dan ligat sampai di tujuannya, ketimbang bersusah payah menunggu bus di TRB ataupun di terminal bayangan.

Selain itu, menyangkut budaya. Hampir sebagian besar warga Kota Padang khususnya supir Angkot dan pemilik sepeda motor (serta beberapa pengendara roda empat), bukanlah orang yang tertib berlalu lintas. Rambu ditabrak, traffic light di-cuekin, ngebut jalan terus. Kalau ditelisik lagi, mereka banyak yang tidak melengkapi diri dengan kartu administrasi semacam SIM dan STNK. Belum lagi kondisi kendaraannya yang kebanyakan trondol karena dipreteli sana-sini. Yang tak mau kalah berbuat salah adalah kusir bendi dan pejalan kaki. Mereka seenak perutnya nyelonong, tanpa memikirkan keselamatannya. "Tabrak saja kalau berani.., yang salah pasti punya kendaraan," begitu mungkin pikiran mereka.

Sementara menyangkut sarana dan prasarana jalan, juga masih ada kekurangannya. Di beberapa titik ruas jalan, masih ditemukan lubang jalanan. Kalaupun ditutupi, cuma sebatas tambal sulam, sehingga jalan menjadi tidak rata dan malah mengganggu kenyamanan pengguna jalan. Belum lagi traffic light-nya yang kadang banyak matinya ketimbang nyala. Kalau sudah begitu, pemilik kendaraan saling berebut dan saling mendahului untuk lalu di jalan itu.

Itu baru gambaran secara umum kondisi Kota Padang terkini. Tapi kenapa tetap saja pemerintah pusat memberi WTN? Dagelankah atau memang tidak ada kota lain yang lebih baik dari Kota Padang. Kalau memang begitu kondisinya, wajarlah Kota Padang dapat WTN...Selamatlah.... (***)
* Tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO PADANG edisi 9 Januari 2006.

Read more!
posted by Maryulis Max @ 1:00 PM   2 comments
Naif, Putusan Hukum Mau Dipolitisir
Image hosting by PhotobucketPUTUSAN Mahkamah Agung RI menolak kasasi yang diajukan 33 mantan DPRD Sumbar dan berujung bakal dieksekusinya wakil rakyat periode 1999-2004 itu, ternyata disikapi berbeda oleh sejumlah organisasi mahasiswa dan underbouw partai. Mereka, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Sumbar, Pemuda Bulan Bintang dan Masyarakat Anti Ketidakadilan (MAK) mendatangi Kejaksaan Tinggi Sumbar, Senin (02/01/06) lalu.

"Perjuangan" mereka, melalui aksi demo, berlanjut pula keesokan harinya, Selasa (03/01/06). KAMMI menggelar aksi demo ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Padang, bersama Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Sumbar. Aksi demo ini menjadi menarik lantaran jauh hari sebelum kasasi ditolak atau ketika sidang kasus tindak pidana korupsi sebesar Rp 5,9 miliar tersebut masih berjalan, mereka --khususnya KAMMI-- justru yang paling getol agar para tersangka segera "dikandangsitumbinkan". Tapi kini, kenapa mereka berbalik arah? Jawabannya ada udang di balik bakwan!!!

Yang patut disesalkan adalah, mengapa putusan MA yang notabene diambil dengan perhitungan matang dan kajian mendalam tersebut, mesti diusik-usik lagi. Justru hal serupa ini bisa dikatakan sebagai upaya "melumpuhkan" kekuatan hukum dengan memobilisasi massa --walau jumlahnya segelintir-- untuk sebuah kepentingan maju tak gentar membela yang bayar.

Asumsi seperti ini wajar, mengingat perubahan sikap 180 derajat yang ditunjukkan KAMMI itu. Ironisnya, sepertinya mereka tidak mempertimbangkan dampak di balik sikap mereka tersebut. Salah satunya, sinisme masyarakat awam terhadap mereka, yang tentu saja mempertanyakan "ada apa dengan KAMMI".

Sikap kita, biarkanlah hukum bicara. Jangan lagi "dicikaraui" sesuatu yang telah menjadi keputusan hukum tetap. Toh, mereka --para tersangka yang dibela KAMMI-- masih punya peluang untuk mengajukan PK ke MA. Tapi ingat, yang namanya proses hukum harus dihormati. (***)

Padang, 04 Januari 2006

Read more!
posted by Maryulis Max @ 12:22 PM   0 comments
Macet Jalan M Yamin
Image hosting by Photobucket JALAN M Yamin, begitu nama jalan sepanjang 2 km itu disebutkan, yang terbayang adalah kemacetan dan kesemrawutan. Semua warga Kota Padang ataupun kaum pendatang yang singgah ke Padang --dan lewat jalan tersebut--, pastilah tahu betul dengan kondisi ini. Bagi mereka. lebih baik memilih jalan alternatif, ketimbang harus terjebak macet di lokasi tersebut.

Sejauh ini, belum ada solusi yang bernas dari Pemko Padang untuk mengantisipasi macet atau sekedar mengurangi kemacetan di ruas jalan itu. Terlebih lagi pasca dialihfungsikannya Terminal Lintas Andalas (TLA) menjadi Plasa Andalas dan Terminal Goan Hoat (TGH) menjadi pasar modern Sentral Pasar Raya, sama sekali belum ada penanganan serius dari pengambil kebijakan kota.

Paling yang sempat dilakukan adalah dengan melontarkan sebuah keyakinan --yang akhirnya tidak terbukti-- bahwa kemacetan M Yamin akan teratasi apabila Plasa Andalas telah beroperasi. Kenyataannya kita sama-sama tahu, pasca plasa itu dioperasikan di awal September 2005 lalu, hingga kini yang namanya macet tak pernah berkurang, tapi malah bertambah.

Solusi lain yang juga pernah dilakukan dan masih diterapkan adalah membangun median jalan di depan eks TGH dengan membagi badan jalan menjadi dua jalur. Jalur kiri untuk angkutan umum, lajur kanan untuk kendaraan pribadi. Hasilnya, kita pun sama-sama tahu, macet tak pernah berhenti, kecuali di malam hari!

Kebijakan itu, dilanjutkan pula dengan pemasangan tanda larangan berbelok ke kiri masuk ruas Jalan Pasar Raya Barat. Hasilnya pun kita sama-sama tahu, macet dan semrawut semakin akut. Buahnya, pedagang pun komplain karena akses pengunjung untuk masuk ke kawasan Pasar Raya Barat tersebut dihilangkan menyusul dilenyapkan fungsi TGH.

Itulah bukti kebijakan trial and error yang diterapkan Pemko Padang. Kebijakan baru diambil bukannya menyelesaikan masalah tanpa masalah (seperti motto Perum Pegadaian), tapi menyelesaikan masalah dengan masalah.
Kini, langkah baru akan dicoba pula oleh Pemko. Dalam waktu dekat, akan dilakukan perubahan rute trayek Angkot dari arah timur kota, seperti Indaruang, Lubuk Begalung, Gadut dan sebagainya. Angkot jurusan itu "dilarang" masuk M Yamin dan dialihkan ke Jalan Imam Bonjol. Alasannya, mengurangi intensitas kemacetan dengan membatasi kuantitas kendaraan yang masuk ke ruas jalan tersebut.

Hasilnya, --bukannya mau mendahului apa yang akan terjadi--, kita tidak hanya pesimis tapi optimis bahwa kebijakan tersebut bakal memunculkan masalah baru. Alias sami mawon dengan yang sudah-sudah, yaitu menyelesaikan masalah dengan membuat masalah. Logika awamnya --melongok ke yang sudah-sudah juga--, kebijakan itu justru hanya memindahkan kemacetan dari M Yamin ke Imam Bonjol. Bahkan kalau bisa dikatakan, M Yamin tetap macet, Imam Bonjol-nya pun menjadi macet!

Kenapa? Kita sama-sama tahu, perilaku ketidaktertiban para pengguna jalan, khususnya supir-supir angkutan umum. Mereka akan seenak perutnya menaikturunkan penumpang di Imam Bonjol dan ngetem di sana tanpa khawatir bakal ditertibkan petugas. Pasalnya, petugas pun melegalisasi keberadaan mereka di lokasi tersebut melalui Pungli-pungli yang ditarik dari mereka. Ingat, hal seperti ini kini terjadi di depan eks TGH yang menjadi lokasi ngetem angkutan umum pasca lenyapnya TGH.

Lantas apa solusinya? Selama Kota Padang tidak memiliki terminal Angkot pengganti TGH untuk lokasi ngetem angkutan umum tersebut, maka kemacetan tak akan pernah hilang atau minimal dikurangi. Solusinya, harus ada terminal baru! Dimana? Silahkan pengambil kebijakan menentukan lokasi. Tapi patut juga di dengar ide nyeleneh pedagang yang menginginkan lokasi RTH Imam Bonjol menjadi terminal.
Apakah mungkin? Tentu saja mungkin. Sama mungkinnya dengan menyulap TGH menjadi mall. Dan bukan tak mungkin RTH menjadi terminal. (***)
* tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 7 Desember 2005

Read more!
posted by Maryulis Max @ 12:01 PM   2 comments
Perda Melempem
Image hosting by Photobucket
ADA hal menarik yang terjadi di balik kesuksesan Pol PP Kota Padang dalam memberantas penyakit masyarakat. Terutama dalam menyikat pelaku maksiat yang berindehoi di hotel-hotel kelas melati. Contoh paling dekat adalah penangkapan terhadap 4 pasangan ilegal di "Hotel Rifa" pada 15 November 2005 lalu.
Kasus penggerebekan 4 pasangan ilegal itu cukup menghebohkan.

Pasalnya dari 4 pasangan itu, "EW" (20) dan "TR" (23), "MN" (23) dan "JW" (27), "RE" (21) dan "YK" (23), pasangan "HW" (25) dan "BA" (21) yang bikin geleng kepala. Mereka tidak sekedar tidur seranjang di hotel itu, tapi juga mengabadikan perbuatannya melalui fasilitas kamera yang ada di hand phone-nya. Kontan, perbuatan mereka ini menjadi headline di koran-koran, karena memang jarang terungkap dan tertangkap pasangan senekat mereka.

Dan yang lebih menghebohkan, 4 pasangan yang bukan muhrim itu akhirnya dilepas begitu saja oleh Pol PP Padang setelah terlebih dahulu dibuat surat perjanjian agar mereka tidak melakukan perbuatan serupa di kemudian hari. Maka hebohlah semua kalangan, terutama anggota dewan. Mengapa?

Wajar bila anggota dewan heboh atas pelepasan mereka itu. Karena para wakil rakyat tersebut sebelumnya telah mengesahkan Perda No 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat yang salah satu pasalnya, mengatur soal tuna sosial itu. Pada Pasal 10 ayat (2) Perda ini diatur bahwa "setiap orang dilarang menjajakan diri sebagai pelacur dan atau berupaya mengadakan transaksi seks". Jika dilanggar, maka sesuai dengan Bab XI Pasal 14 tentang Kententuan Pidana, pelanggaran atas ketentuan Pasal 10 ini, diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta. "Kenapa ini tidak diterapkan?" demikian tanya mereka.

Bagi yang melek hukum, pasti paham benar dengan keputusan Pol PP untuk melepas 4 pasangan ilegal. Karena secara hukum, Pasal 10 itu lemah untuk kasus 4 pasangan tersebut. Karena mereka tidak terbukti pelacur atau melakukan transaksi seks. Bahasa "transaksi" di sini, "jika dikonversikan ke bahasa ekonomi" identik dengan ada uang ada barang. Dalam bahasa simpelnya, sebuah transaksi adalah sebuah aktivitas yang melibatkan dua pihak atau lebih, untuk mempertukarkan sesuatu milik yang satu dengan sesuatu yang lain, milik pihak lain.

Kecuali bila, bahasanya diubah menjadi melakukan kegiatan seks, maka cukup kuat alasan untuk meneruskan kasus ini sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 14 tersebut.

Nah, jika dipelajari lagi dengan seksama Perda No 11 Tahun 2005 ini, maka kesalahan sepatutnya kita tumpukan ke DPRD sebagai legislator. DPRD sepertinya tidak serius dan asal jadi dalam menyusun pasal per pasal. Bahkan kelewat hemat dalam mengatur pelanggaran-pelanggaran yang kerap dilakukan masyarakat. Sehingga banyak hal-hal krusial yang terlewatkan begitu saja, dan gagal menjerat pelaku Pekat (penyakit masyarakat).

Disamping lemahnya subtansi hukum, Perda No 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, khususnya pada Pasal 10 tentang Tuna Sosial, juga terdapat ketidakadilan gender.

Jika dicermati baik-baik bunyi pasal itu, perempuan --dalam hal ini pelacur-- masih menjadi subjek hukum, sementara si hidung belang sepertinya sulit untuk dijerat. Inilah dampak dari kurang njelimet-nya Pemko dan DPRD Padang dalam menelurkan Perda ini.

Sebenarnya ada pembelaan di balik kelemahan pelaksanaan Perda itu. Dalih pertamanya, "kekurangan-kekurangan" Perda itu bisa ditutup dengan diterbitkannya SK Walikota Padang yang mengatur teknis pelaksanaan Perda. Tapi kenapa itu baru diwacanakan sekarang, padahal Perdanya sendiri sudah lumayan lama disahkan Pemko. Padahal kita sama-sama tahu, yang namanya penyakit masyarakat, ketidaktertiban umum dan ketidaktentraman masyarakat terjadi hampir tiap hari, pra dan pasca disahkannya Perda itu. Sehingga terjadilah kasus pelepasan 4 pasangan ilegal tersebut, karena telatnya Pemko bergerak.

Tidak hanya soal Tuna Sosial, berbagai fenomena ketidaktertiban umum dan ketidaktentraman masyarakat juga diatur dalam Perda ini. Seperti tertib jalan dan angkutan jalan yang mengatur berbagai larangan seperti soal tanggul jalan (polisi tidur), parkir sembarang tempat, memasang reklame di jalan atau trotoar, menumpuk bahan bangunan di jalan, bongkar muat di badan jalan, sound system di Angkot dan buskota, kaca film, sirine, dan sebagainya. Semua larangan itu, hampir tiap hari dilakukan warga, tanpa ada sanksi hukum dari Pemko.

Demikian juga dalam hal tertib jalur hijau, taman dan tempat umum. Mulai dari larangan menebang tanaman di jalur hijau, taman dan tempat umum, membuang sampah, larangan memasang reklame di pohon peneduh, mendirikan bangunan, merokok di tempat-tempat tertentu, dan sebagainya juga diatur secara detail. Tapi controlling-nya sampai saat ini wallahu alam. Belum lagi soal PKL, pengamen, gelandangan, pengemis, Anjal, dan sebagainya.

Semua hal yang diatur dalam Perda ini, boleh kita katakan bagus. Tapi soal teknis pelaksanaannya, kalau saja masih seperti ini, maka nasibnya tidak jauh beda dengan Perda-perda lain, yang hanya sebatas naskah di atas kertas, yang hanya dipakai untuk pelengkap pembuatan keputusan pada diktum menimbang, mengingat dan memperhatikan. Dengan kata lain, Perda itu akan tetap melempem dan dilanggar secara kolektif, termasuk oleh pembuat Perda itu sendiri. (***)

* Tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 21-22 November 2005

Read more!
posted by Maryulis Max @ 11:46 AM   0 comments
Penilaian Adipura Tahap I (2005-2006)
Image hosting by Photobucket
SELAMA seminggu, pada 27 September-2 Oktober lalu, tim pemantau Adipura yang terdiri dari unsur Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sumatera, Bapedalda Sumbar, akademisi dan pers serta LSM melakukan pemantauan pertama ke sejumlah kota. Sebanyak 13 kota di Sumbar, dipantau secara serentak di sejumlah lokasi titik pantau yang telah ditentukan sesuai dengan kategori masing-masing kota.

Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (1)
13 Kota Dinilai Kebersihannya

ADIPURA merupakan salah satu program nasional di bidang lingkungan hidup, bertujuan mendorong pemerintah daerah (kabupaten/kota) untuk mewujudkan kota bersih dan teduh (clean and green city) dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Program ini di Indonesia sudah diberlakukan sejak 1986 lalu. Namun pada 1997-2001, sempat terhenti akibat adanya krisis multidimensi yang dialami negara ini. Program itu baru digerakkan kembali pada 2002-Juni 2005 dengan perubahan nama menjadi Bangun Praja.

Berdasarkan evaluasi terakhir, penyelenggaraan Bangun Praja tersebut belum banyak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan kualitas lingkungan hidup perkotaan. Kebersihan dan kesehatan lingkungan perkotaan cenderung mengalami penurunan. Karena itu, dalam rangka mendorong kembali peran masing-masing stake holders untuk memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaannya, maka sejalan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia tingkat Nasional pada 5 Juni 2005 lalu, dicanangkan kembali program Adipura dengan berbagai penyempurnaan.

Penyempurnaan itu, di antaranya keikutsertaan kabupaten/kota dalam program ini tak lagi bersifat sukarela, melainkan wajib pantau dan dibina pemerintah pusat dan provinsi masing-masing. Kabupaten/kota yang dipantau, harus memenuhi kriteria memiliki jumlah penduduk minimal 20 ribu jiwa dan terdapat fasilitas perkotaan yang akan dijadikan objek penilaian.

Di Sumatera Barat, untuk Adipura 2005-2006 ini, 13 kota yang dipantau adalah Kota Padang untuk kategori kota besar, Kota Payakumbuh untuk kategori kota sedang, dan 11 kota kecil, yaitu Padangpanjang, Pariaman, Bukittinggi, Lubuk Sikaping, Lubuk Basung, Solok, Sawahlunto, Painan, Muaro Sijunjung, Batusangkar dan Simpang IV.
Pemantauan dilakukan pada objek lokasi yang telah ditentukan, meliputi perumahan (perumahan menengah dan sederhana, serta --kalau ada-- perumahan pasang surut), sarana kota (jalan arteri dan kolektor, pasar, pertokoan, perkantoran, sekolah, rumah sakit, Puskesmas, taman kota, hutan kota), sarana transportasi (terminal bus/Angkot, pelabuhan sungai dan terminal penumpang, stasiun kereta api), sarana kebersihan (TPA dan komposting), perairan terbuka (sungai/saluran terbuka/danau/situ) dan pantai wisata. Semua objek lokasi itu, berbeda-beda jumlah titik pantaunya pada masing-masing kota, tergantung pada kategori kota, peserta baru dan lama, serta pernah tidaknya mendapat Adipura.

Dari 13 kota itu, 3 kota di antaranya adalah penerima Adipura 2005, yaitu Kota Padang, Solok, dan Padangpanjang. Praktis titik pantau untuk tiga kota itu bertambah, 80 titik di Kota Padang dan 50 titik di Solok dan Padangpanjang. (bersambung)
*Tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 15 Oktober 2005


Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (2)
Di Pariaman, Perkantoran Kurang Teduh, Pasar pun Kumuh

SEBANYAK 13 Kota di Sumbar dilakukan pemantauan untuk tahap pertama. Tim pemantau Adipura yang terdiri dari unsur Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera, Bapedalda Sumbar, akademisi dan pers serta LSM memantau dan memberi nilai terhadap titik pantau sesuai dengan fakta dan realita yang ditemukan saat pemantauan. Pemberian nilai, didasari pada kriteria yang berlaku secara nasional dengan standar range penilaian yang juga telah ditentukan.

Di Kota Pariaman, tim pemantau memantau 29 titik pantau. Hasil temuan mereka, beberapa lokasi patut dibenahi dan diperbaiki agar lebih baik dari yang ada kini. Misalnya, untuk perkantoran yang dipantau seperti kantor Bawasda, kantor walikota, BRI dan kantor BKCKB , khusus untuk 3 kantor pertama semuanya kurang teduh karena minimnya pohon peneduh baik dari segi sebaran maupun fungsi. Sudahlah pohon peneduh minim, upaya penghijauan tidak pula maksimal. Khusus balaikota yang merupakan pusat administrasi daerah setempat, belum bisa dijadikan contoh yang baik dalam hal peneduh dan penghijauan ini, karena sebaran dan fungsinya masih kurang.

Yang menarik di perkantoran itu, sebagian besar tidak punya Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS). Yang gawatnya, di samping kantor BKCKB ada TPS liar yang sampahnya menumpuk. Sedangkan BRI, bisa dikatakan cukup baik. Sebenarnya, untuk TPS ini akan mendapat nilai tertinggi apabila kontainernya tertutup dan terawat serta tidak ada sampah yang berserakan di luar kontainer. Tapi dari temuan di hampir seluruh kota di Sumbar, kontainer TPS-nya rata-rata terbuka dan terawat, sehingga hanya layak mendapat nilai sedang.

Lokasi yang patut diperhatikan Pemko Pariaman adalah pasar. Dari dua pasar yang dipantau, Pasar Pariaman dan Pasar Kuraitaji, bisa dikatakan kumuh dan tidak tertata dengan baik. Di Pasar Pariaman, pasar bertumpuk dan berserakan, tempat sampah tidak terawat, kios dan lapak PKL tidak tertata baik, pohon peneduh dan penghijauan tidak pula ada. "Sementara di Pasar Kuraitaji serba kotor. Drainasenya kotor, lapak PKL kotor dan tidak tertata. Mungkin karena tempat sampahnya tidak ada. Mirisnya, WC tidak pula ada di pasar ini," sebut Rina Ariani SE, salah seorang pemantau.

Kondisi yang sama, sebenarnya juga terjadi pada pertokoan di depan terminal Pariaman. Di sana, sampah bertumpuk pada tempat tertentu, tempat sampah kurang, drainase sebagiannya tersumbat oleh sampah dan gulma. Selain itu pohon peneduh dan penghijauan sangat kurang. Di terminal bus AKDP dan Angkot pun seperti itu, termasuk terminal penumpang (ruang tunggu). Di terminal AKDP, meskipun ada kontainer sampah (TPS-red), sampah tetap saja berserakan, drainasenya tersumbat, pohon peneduh dan penghijauan tidak ada. WC pun tak ada. Sementara itu di RSUD Pariaman dan Puskesmas Kuraitaji yang dipantau, tim juga melihat kenyataan bahwa sampah berserakan di sebagian lokasi dan tempat sampat kurang terawat. Bahkan di RSUD, sebagian drainasenya tersumbat, wc bersih tapi kurang terawat dan airnya di sebagian kamar mandi tidak bersih.

Kondisi RSUD itu, sebenarnya lebih mendingan ketimbang SMPN 1 Pariaman. Di sana, wc bau dan kotor, air bersihnya pun kurang. Selain SMPN 1 yang dipantau tim Adipura, sekolah lainnya adalah SD 17, SMA 2, SMA 1, SMK 2 dan SD 29 Kampung Baru. Kecuali SMA 1, hampir sebagian besar WC di sekolah-sekolah itu kotor.

Lokasi-lokasi lain yang dipantau adalah perumahan asrama Polri Kampung Baru yang penghijauannya perlu ditambah dan perumahan Kampung Keling yang sebagian drainasenya tersumbat. Sedangkan untuk jalan, jalan utama atau arteri A Yani dan Sudirman bisa dikatakan bersih, sedangkan di Jalan Syech Burhanuddin masih ditemukan tumpukan sampah di sebagian lokasi dan pohon peneduh masih kurang di Jalan St Syahrir. Sementara untuk jalan kolektor, Jalan Adipura termasuk bersih, sedangkan Jalan M Yamin tidak ada tempat sampah.

Sementara itu, perairan terbuka Batang Air Pampan, masih ditemukan sedikit sampah oleh tim pemantau. Sedangkan untuk lokasi pantai wisata, Pantai Cermin termasuk sudah bagus. Pantai itu, sebaran dan fungsi pohon peneduhnya sudah baik, lokasi pantai cukup bersih walaupun tempat sampah tidak ada.

Yang paling jelek adalah ketika tim memantau Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tiram-Tapakis. Jalan masuk jelek, lokasi hanya sedikit dipagar --harusnya dipagar seluruhnya--, drainase jelek, ada genangan lindi. Sudahlah begitu, pengolahan sampah dan sumur pantau di TPA itu tidak pula ada.

Dengan fakta riil itu, sudah semestinya Pemko Pariaman segera melakukan langkah cepat dan tepat untuk memperbaiki kondisi yang masih kurang dan meningkatkan yang telah baik. Dengan begitu niat untuk menjadikan Kota Pariaman sebagai kota bersih bisa terwujud dan Adipura bisa digenggam. (bersambung)
* tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 17 Oktober 2005


Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (3)
Di Lubuk Basung, WC Sekolah Banyak yang Bau

SEANDAINYA saja masyarakat tahu, dalam melakukan pemantauan tim Adipura selalu keluar masuk WC, terutama di sekolah-sekolah, pasar, rumah sakit, Puskesmas, taman kota, dan terminal. Tujuannya, tentu saja mau melihat apakah tempat buang hajat itu bersih, terawat dan air bersihnya cukup tersedia atau tidak. Tapi yang paling banyak ditemukan adalah WC-nya bau dan kotor.

Di Kota Lubuk Basung, tim Adipura memantau 8 sekolah dari berbagai tingkatan yang ada di kota itu. Yaitu STIKES Ceria Buana, SD Inpres 63, SMA 2, SMP 4, SMP 1, SMA 1, SD 01 dan SD 13 Sangkir. Dari 8 sekolah itu, hampi sebagian besar WC-nya bau. Meskipun bersih, tapi fisik bangunannya kurang terawat. Yang bisa dikatakan cukup baik adalah SMP 1 dan SD Inpres 63. Cuma sayangnya di SD itu, meski WC-nya cukup baik, tapi kurang terawat.

Soal sampah, di semua sekolah tersebut ditemukan sedikit sampah, namun begitu nilainya bisa dikategorikan baik dengan range penilaian 71-85. Yang bisa dikatakan sangat bersih --ketika itu-- adalah SMA 1 dan SD Inpres 63.

Sedikit sampah, juga ditemukan pada lokasi titik pantau lain seperti perumahan Talago, kantor bupati Agam, terminal penumpang, RSUD Lubuk Basung, perairan terbuka Batang Antokan, dan taman kota. Sedangkan lokasi yang sampahnya ditemukan menumpuk pada tempat tertentu dan bahkan berserakan adalah perumahan Cendana Jalan Kartini dan pertokoan Jalan Tujuh Suku yang sampahnya berserakan di luar kontainer, Pasar Inpres yang sampahnya berserakan hampir di seluruh lokasi pasar, Pasar Lubuk Basung yang sampahnya bertumpuk pada tempat tertentu, di terminal bus Pasar Lubuk Basung Lama sampahnya juga berserakan, dan di Puskesmas Lubuk Basung Jalan Rasuna Said sampahnya bertumpuk pada tempat tertentu.

"Sementara yang bisa dikatakan bersih dari sampah adalah komplek Polri, jalan arteri seperti Jl Soekarno Hatta, Sudirman, Gajahmada dan jalan kolektor seperti Jl A Yani dan Piliang Limo, kantor Dinas Parsenibud, dan Mapolres Agam," ungkap Rina Ariani SE, seorang anggota tim Adipura yang memantau Kota Lubuk Basung.

Untuk lokasi pasar, Pasar Inpres dan Pasar Lubuk Basung, pohon peneduh dan penghijauan tidak ada. Kondisi ini, sebenarnya juga ditemukan hampir seluruh pasar di Sumbar bahkan di Indonesia. Kalau pun ada penghijauan, paling hanya sebatas menanam bunga dalam pot. Di dua pasar itu, tempat sampah tidak terawat dan jumlahnya kurang, drainase sebagian tersumbat. Di komplek pertokoan Jalan Tujuh Suku juga tidak ada pohon peneduh dan penghijauan. Berbeda dengan pertokoan di Pasar Lubuk Basung, meski tidak ada pohon peneduh, tapi disana ada penghijauan di seperempat lokasi.

Pohon peneduh juga tidak ada di perumahan Cendana --namun ada penghijauan di sebagian lokasi--, di Jalan Gajahmada, Jalan A Yani, di terminal bus Pasar Lubuk Basung Lama dan terminal penumpang. Sementara di Mapolres Agam, kantor bupati Agam, SMP 4, SMA 1 dan Puskesmas Lubuk Basung, pohon peneduh sebarannya hanya ada di seperempat lokasi. Sementara fungsi peneduhnya, tergantung rindang atau tidaknya pohon itu. Semakin rindang, maka nilainya akan baik, tapi bila tidak memenuhi fungsi sebagai peneduh, maka nilainya sangat jelek. Sedangkan lokasi yang sebagian arealnya dipenuhi pohon peneduh adalah Jalan Soekarno Hatta, Jl Sudirman, Jl Piliang Limo, kantor Dinas Parsenibud, STIKES Ceria Buana, SD Inpres 63, SMA 2, SD 01, dan SD 13 Sangkir.

Sementara penilaian terhadap TPA di daerah ini, jalan masuknya tidak rata, pos jaga tidak berfungsi dan tidak terawat, TPA tidak berpagar, penanganan gas tidak ada,dan cara penutupan jelek. Namun begitu, alat berat beroperasi efektif di TPA itu, ada pencatatan sampah, truk sampah terbuka dan terawat, dan drainase bagus sehingga lindi tidak berserakan.

Dari hasil pantauan itu, Pemkab Agam tentu sudah tahu kira-kira apa saja yang patut dibenahi dan ditingkatkan lagi kalau sudah baik. Soal detilnya, bakal ada rekomendasi dan saran dari Kementerian Lingkungan Hidup pasca pemantauan I ini. (bersambung)
* tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 20 Oktober 2005


Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (4)
Lubuk Sikaping Bersih, Simpang Ampek Kumuh

MESKI dulu tergabung dalam satu kabupaten yang sama, kondisi Kota Lubuk Sikaping dan Kota Simpang Ampek pasca pemekaran jelas berbeda. Lubuk Sikaping sebagai ibukota Kabupaten Pasaman ternyata jauh lebih bersih ketimbang Simpang Ampek yang dijadikan sebagai ibukota Kabupaten Pasaman Barat.

Kondisi berbeda ini, mungkin bisa dimaklumi sebagian orang dengan pertimbangan bahwa Simpang Ampek adalah "kota baru" yang masih dalam pembenahan dan pengembangan. Tapi itu bukanlah alasan, justru dengan status "kota baru" itu, Simpang Ampek sebenarnya sudah bisa mulai dari kini untuk membangun konsep kota clean and green city (kota bersih dan teduh) dan menyusun dengan baik dan benar RTRW yang berpijak pada pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan.

Di Simpang Ampek, sampah masih berserakan di sejumlah tempat, mulai dari perumahan, jalan, pasar, perkantoran, sekolah, dan terminal. Dari pantauan tim Adipura, di perumahan Pasaman Permai, sampahnya bertumpuk pada tempat tertentu, pohon peneduh minim, penghijauan lumayan, drainase ada sebagian yang tersumbat, TPS tidak ada sehingga sampah berserakan di lokasi pembuangan. Kondisi lebih baik, justru ada pada perumahan Polri Pasaman. Namun begitu, di Aspol ini pohon peneduhnya masih kurang dan TPS-nya walaupun tertutup, tapi tidak terawat. Sehingga mengurangi nilai.

Di ruas Jalan Simpang Ampek-Sasak, Jalan KH Dewantara dan Jalan Simpang Ampek Talu-Kampung Pasir, sampah ditemukan berserakan. Kecuali di Jalan Aur Kuning Suka Menanti. Di jalan-jalan itu, pohon peneduh masih minim dan drainasenya sebagian tersumbat.

Kekumuhan yang paling nyata di Simpang Ampek bisa dilihat di Pasar Simpang Ampek dan Pasar Padang Tujuah. Di kedua pasar itu, sampah berserakan, pohon peneduh dan penghijauan tidak ada, tempat sampah kurang dan tidak terawat, sebagian drainase tersumbat, TPS tidak ada, WC pun juga tidak. Disamping itu, PKL tidak tertata dengan baik, sampah yang mereka "produksi" berserakan lantaran memang tidak adanya tempat sampah yang disediakan.

Di Simpang Ampek ini, lokasi lain yang patut dibenahi lagi adalah kantor bupati yang sampahnya bertumpuk pada tempat tertentu karena tidak adanya TPS. Di SD 26, SMP 1 dan SD 16 yang sampahnya berserakan dan bertumpuk pada tempat tertentu, WC bau dan kotor, serta pohon peneduh kurang. Demikian juga dengan terminalnya yang masih jauh dari ideal karena kurangnya sarana dan prasarana. Contohnya, TPS di terminal itu tidak ada sehingga sampah berserakan, drainase tersumbat sampah dan pohon peneduhnya tidak pula ada.

Mungkin yang bisa dikatakan lumayan baik dari beberapa lokasi titik pantau di Simpang Ampek adalah Jalan Aur Kuning Suka Menanti, Mapolres Pasaman Barat, kantor Bappeda, SMU 1, STIT YAPTIP, SD El Maarif, RSU Yarsi, Puskesmas Suka Menanti, RSUD Simpang Manggopoh Jambak, Batang Haluan dan Batang Toman. Namun begitu, lokasi itu tetap saja harus ditingkatkan lagi kebersihannya sesuai dengan kriteria yang ditentukan.

Sementara itu di Lubuk Sikaping, yang patut dibenahi adalah Pasar Lama dan Pasar Benteng serta terminal Benteng yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan pasar dan terminal di Simpang Ampek. SDN 010, sampahnya berserakan, minim pohon peneduh dan penghijauan, tempat sampah kurang dan tidak terawat, serta WC-nya bau dan kotor sekali. Penghijauan dan pohon peneduh patut ditingkatkan di TK Kemala Bhayangkari, STAI, kantor DPRD dan kantor bupati, Auditorium. RSUD Lubuk Sikaping harus serius melakukan pemisahan limbah domestik dan limbah medis. (bersambung)
* tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 21 Oktober 2005


Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (5)
Kota Sawahlunto Lebih Baik Dari Kota Solok

INI adalah peringatan bagi Pemko Solok. Jangan pernah puas dengan Adipura yang diraih pada Juni 2005 lalu. Karena, dibanding Kota Sawahlunto, Kota Solok sudah mulai tertinggal dalam beberapa kriteria penilaian yang ditentukan. Jika tidak segera berbenah, jangan pernah berharap untuk dapat mempertahankan Adipura. Ingat, Kota Sawahlunto merupakan penerima penghargaan Kota Bersih Sumbar, sedang Solok lebih dinaungi dewi fortuna (keberuntungan-red) dalam mendapat Adipura.

Dari beberapa titik pantau yang ditentukan, kebersihan, keteduhan, kerapian, pengelolaan lingkungan hidup, ketersediaan sarana dan prasarana yang ada di Kota Sawahlunto bisa dikatakan "di atas angin" dibanding Solok. Namun bukan berarti Solok tidak mungkin mengejar ketertinggalannya, karena secara umum di kota itu pun sudah cukup baik, cuma saja mungkin intensitas dan kualitas harus terus diperbaiki.

Perbandingan pertama yang bisa dilihat adalah titik pantau berupa jalan arteri dan jalan kolektor. Di jalan arteri Sawahlunto seperti Jalan Sudirman, Jalan A Yani, Jalan Soekarno Hatta nilainya sangat baik dibanding jalan arteri di Solok seperti Jalan Sudirman, Jalan A Yani, Jalan St Pamuncak, Jalan KH Ahmad Dahlan. Dua jalan pertama, masih kurang dari segi penghijauan dan pohon peneduh. Sementara Jalan ST Pamuncak, drainasenya sedikit tersumbat.

Begitu juga untuk titik pantau berupa jalan kolektor. Di Sawahlunto, Jalan Yos Sudarso dan Jalan Kampung Teleng jauh lebih baik dibanding Jalan Tembok Raya, Jalan Dt Perpatih, Jalan Proklamasi dan Jalan Bahar Amad yang ada di Solok. Baik itu penghijauannya, maupun kondisi drainasenya.

Untuk perumahan, di perumahan Lembah Sanur, komplek PLN dan komplek Tanah Lapang di Sawahlunto, juga bisa dikatakan lebih baik ketimbang perumahan Pemda, komplek PLN dan komplek Nusa Indah di Solok. Perumahan di Solok, perlu ditambah lagi penghijauannya, TPS, dan perbaikan drainase.

"Kalau pasarnya, Pasar Sawahlunto dan Silungkang juga sedikit lebih baik dibanding Pasar Raya Solok. Namun untuk pertokoan di Sawahlunto, seperti di pertokoan Pasar Remaja dan Pasar Keling sebenarnya tidak jauh beda dengan pertokoan di Jalan Dt Perpatih, Jalan St Pamuncak, Jalan By Pass, dan Jalan KH Ahmad Dahlan di Kota Solok. Di dua daerah itu, harus digalakkan lagi penghijauan dan pembenahan drainase serta ketersediaan tempat sampah," ungkap Noveri SE, salah seorang tim penilai Adipura.

Di Solok yang patut dibanggakan adalah kondisi perkantorannya, seperti balaikota, kantor PBB, dan BRI yang bisa dikatakan cukup baik ketimbang kantor Dinas Lingkungan Hidup Sawahlunto dan selevel dengan kantor TBA-UPO serta nyaris menyamai kebersihan dan keteduhan balaikota Sawahlunto. Dan yang paling patut diacungi jempol adalah TPA Pulau Belibis yang cukup baik dibanding daerah lain, apalagi dibanding TPA di Sawahlunto yang bisa dikatakan belum layak.

Tapi untuk persekolahan, sekolah-sekolah di Sawahlunto jauh lebik baik. Sekolah yang dipantau ketika itu adalah SD 03, SD 23 Kolok, SD 03 Aur Tajungkang, SMP 1, SMP 2, SMA 1 dan SMK 1 yang pada umumnya sangat bagus meski ada beberapa WC-nya yang sedang dalam perbaikan. Berbeda dengan di Solok, sekolah yang bisa dikatakan cukup baik adalah SD 14 Laing dan SMK 1. Sementara di SD 02 Aur Mati TPS-nya tidak permanen, SD 17 dan STAI penghijauannya kurang, SMP 1 WC-nya bau dan rusak, SMP 2 drainase agak tersumbat serta UMMY WC-nya tidak layak pakai.

Dibanding dua kota itu, mungkin Kota Muaro Sijunjung belum ada apa-apanya. Namun begitu, terlihat juga keseriusan pemerintah daerah setempat untuk mulai serius menggarap kebersihan, keteduhan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik. Dari temuan tim Adipura, perumahan di Muaro Sijunjung seperti asrama Polri dan Perumnas tidak mempunyai TPS, sedangkan perumahan Pemda drainasenya sebagian tersumbat. Kawasan Pasar Sijunjung juga masih jauh dari baik. Dimana TPS-nya tidak memadai, WC umum bau dan tidakk layak pakai, lapak PKL tidak teratur, sampah berserakan.

Sejumlah lokasi yang juga tidak mempunyai TPS adalah kantor Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, SMP 14 Sijunjung, dan terminal Angkot. Sementara TPA-nya yang ada di jalan lintas Sumatera belum bisa dikatakan sebagai TPA karena belum ada sistem pengelolaan sampah di lokasi itu.

Hal lain yang patut dibenahi adalah penghijauan di Jalan Sudirman dan di kantor Dinas Transmigrasi serta di terminal, drainase di Jalan M Syafei, dan WC SMA 1 Muaro yang kurang terawat. (bersambung)
* tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 22 Oktober 2005


Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (6)
Padang Panjang Pantas Dapat Adipura

PADA Juni 2005 lalu, Kota Padang Panjang adalah salah satu penerima piala Adipura untuk kategori kota kecil terbersih. Jika melihat realitas lapangan, kota ini memang pantas menerimanya. Karena selain bersih dan teduh, kota ini bisa dikatakan cukup serius dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Tapi apakah kota ini bakal mendapat Adipura pada 2006 mendatang, tidak ada yang tahu. Karena selain banyak kota-kota lain di Indonesia yang juga kepincut dan berupaya sebisanya mendapatkan Adipura, Padang Panjang juga punya beban berat.
Pasalnya, sebagai kota penerima Adipura, lokasi titik pantau di Padang Panjang menjadi bertambah 50 lokasi dari sebelumnya hanya sekitar 30-an titik pantau. Itu artinya, pemerintah setempat harus mulai menangani kebersihan dan kehijauan kotanya di seluruh kawasan, tanpa lagi membedakan daerah pusat kota dan pinggiran kota. Semua kawasan harus bersih dan hijau secara merata serta mendapat sarana dan prasarana kebersihan yang layak dari sebelumnya.

Dari pemantauan Adipura tahap I yang baru lalu, memang masih banyak "PR" yang harus dikerjakan Pemko Padang Panjang. Yang paling mencolok adalah kawasan Pasar Baru. Pasar ini dalam hal kebersihan, dinilai sedang. Di sana tidak mempunyai pohon peneduh dan penghijauan, kios/lapak pedagang tidak tertata, semrawut dan kotor. Sebagian besar drainase tersumbat. Sudahlah begitu, WC umumnya kotor, bau dan tidak tersedia air bersih.

"Yang cukup baik di kawasan pasar ini adalah PKL-nya tertata dengan baik, tidak mengganggu lalu lintas. Mereka terlihat bersih dan mempunyai tempat sampah dengan jumlah yang mencukupi meski kurang terawat. Untuk menangani sampah pasar, terdapat TPS yang tidak tertutup tapi cukup terawat," sebut Fiman Abdullah SH MSi, salah seorang pemantau.

Di kawasan perniagaan/ pertokoan yang dipantau, di antaranya pertokoan Imam Bonjol, Khatib Sulaiman, M Syafei, Abdul Muis, dan M Yamin, hampir semuanya tidak memiliki pohon peneduh dan penghijauan. Saluran drainasenya pada umumnya tertutup, namun drainase di pertokoan M Yamin ternyata sampahnya menumpuk meski tidak menyumbat.
Selain itu yang patut dibenahi adalah kondisi perairan terbuka. Di Sungai Parit Rumpang dan Batang Bakarek-karek pada badan airnya masih terlihat sampah bertumpuk pada tempat tertentu. Sedangkan pada bantaran sungai terdapat ruang terbuka hijau yang didominasi tanaman perdu dan juga "diwarnai" dengan tumpukan sampah.

Di kawasan perkantoran, dari tiga lokasi yang dinilai yaitu kantor Dinas LH, BRI dan balaikota, hanya Dinas LH yang diberi nilai kurang. Pasalnya di kantor itu sempat ditemukan sampah yang bertumpuk pada tempat tertentu, pohon peneduh hanya ada di setengah lokasi dan belum memenuhi fungsi sebagai pohon peneduh. Di drainasenya, terdapat sampah yang bertumpuk di sebagian kecil selokan dan menyumbat.

Sementara untuk kawasan terminal, seperti kawasan Terminal Pasar Baru, Terminal AKAP, dan Terminal Kantin yang patut dibenahi adalah TPS, drainase, pohon peneduh dan penghijauan.

Hal serupa juga ditemukan di beberapa jalan kolektor seperti Jalan Perintis Kemerdekaan, Ahmad Dahlan, Hamid Hakim, Bahder Johan dan Agus Salim. Meski secara umum kawasan ini kebersihannya sangat baik, fisik trotoar tertata dengan baik --meski ada yang tidak menggunakan paving block--, tidak semua lokasi terdapat pohon peneduh, di beberapa lokasi ada gulma/sampah yang "mengisi" selokan. Bahkan di Jalan Agus Salim, sampah bertumpuk di sebagian drainase dan menyumbat.

Sementara untuk titik pantau lainnya, Padang Panjang bisa dikatakan lebih dari cukup penilaiannya. Perumahan di Silaing Bawah, komplek Meterologi, komplek Koto Panjang, Guguak Malintang dan Bukit Teduh, bisa dikatakan sangat baik. Jalan Arteri seperti Jalan Sudirman, Soekarbo Hatta, St Syahrir juga baik.

Kawasan pendidikan yang dipantau di antaranya SMUN 1, SDN 012, SDN 018 Silaing, SMK 1, SD 08, SMP2, SMA 2, STSI, TK Bhayangkari, juga bisa dikatakan baik. Kecuali di SMP 2 yang WC-nya bau dan kotor. Sebagian besar sekolah-sekolah itu diberi nilai sedang untuk sarana TPS, karena kontainernya terbuka.

Yang paling baik di Kota Padang Panjang dibanding daerah lain adalah TPA-nya. TPA di Sungai Andok itu, didukung jalan masuk yang rata dilengkapi dengan drainase dan sedikit pohon peneduh, terdapat pos jaga dan ada petugas yang mencatat masuknya sampah, pagar di sebagian besar lahan, garasi alat berat dan sarana pencucian, alat berat yang beroperasi dengan baik, tidak terdapat tetesan lindi dan sedikit berbau. Namun begitu, TPA ini tidak memiliki sumur pantau dan penanganan gas.

"Kondisi lingkungan TPA sangat baik, karena tidak ada lalat dan asap. Sampah terbuka kurang dari 40% lahan pembuangan dan ada pohon pelindungnya. Operasional TPA-nya berjalan baik, dimana ada pengaturan zona, blok dan sel. Sampah ditimbun pada sel yang benar disertai dengan perataan dan penutupan dengan tanah," kata DR Irsan Ryanto H, anggota pemantau Adipura lainnya.

Hal yang baik lainnya adalah adanya usaha pengomposan di daerah ini. Seperti di perumahan Meterologi, pengomposan kelompok Aster Kuba, dan RPH. Bahkan pengomposan yang dilakukan RPH dinilai sangat baik karena beroperasi rutin dan memiliki pangsa pasar yang luas. (bersambung)
* tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 26 Oktober 2005


Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (7)
TPA Bukittinggi Merusak Lingkungan dan Kurangi Nilai

DARI sekian banyak TPA di Sumbar, mungkin TPA milik Kota Bukittinggi di kawasan Panorama II yang paling jelek dan teramat sangat disayangkan keberadaannya. Pasalnya lokasi itu adalah kawasan wisata yang merupakan daerah patahan dan catchment area (daerah resapan air) dengan kemiringan 90 derajat yang sebenarnya patut dilindungi dan dilestarikan. Tapi oleh Pemko Bukittinggi, sampah dibuang begitu saja ke dalam jurang.

Pernah melihat orang membuang sampah ke sungai? Seperti itulah pola yang dilakukan Pemko Bukittinggi dalam membuang sampah ke TPA Panorama Baru itu. Dari daerah ketinggian sampah dijatuhkan ke dalam jurang ngarai. Bisa dibayangkan, sebelum mendarat, sampah-sampah ringan beterbangan dan lalu "hinggap" di lokasi yang tidak semestinya. Sementara yang mendarat tepat di sasaran, semakin lama semakin menumpuk (karena tidak ada dilakukan perataan sebagaimana dilakukan di TPA lain).

Lama kelamaan, tumpukan sampah ini menjadi polutan (pencemar) terbesar air bawah tanah. Tragisnya, di ngarai tersebut banyak mata air dan anak sungai yang mengalir terus ke hilir dengan membawa "cemaran" dari sampah itu.

Sementara dari sisi penilaian Adipura, kondisi TPA serba tak layak ini, membikin penilaian untuk seluruh kriteria di Kota Bukittinggi menjadi down (turun-red). Karena poin penilaian untuk TPA ini yang paling tinggi dan mempengaruhi nilai lain. Hampir seluruh kriteria untuk TPA dinilai sangat jelek oleh tim dengan range nilai 30-45. Seperti tidak adanya pagar TPA --wajar, karena memang Panorama II itu sebenarnya bukanlah TPA--, tidak ada alat berat dan garasinya, tidak ada drainase, tidak ada lindi yang keluar karena langsung meresap ke dalam tanah, tidak tersedia sumur pantau/monitoring, tidak ada fasilitas penanganan gas metan, banyak lalat, ada asap, sampah terbuka di seluruh permukaan lahan pembuangan, tidak ada pengaturan lahan atas zona, blok dan sel, pembuangan sampah di sembarang tempat, dan sebagainya.
"Dari segi penempatan lokasi, maka TPA di lokasi ini sangat tidak direkomendasikan berada di daerah ini," ujar Firman Abdullah SH MSi, seorang pemantau Adipura menanggapi kondisi TPA itu.

Sebenarnya, ada alternatif bagi Pemko Bukittinggi untuk membuka lahan TPA baru di kawasan lain. Caranya, sebut Kabid Pemulihan Lingkungan Bapedalda Sumbar, Ir Nasaruddin, melakukan kerjasama dengan Pemkab Agam untuk membangun TPA bersama di daerah perbatasan di kedua daerah. Misalnya, di daerah Baso dan tempat lain yang dianggap layak untuk itu. Kalau TPA Panorama II tetap saja dipertahankan, berarti Pemko Bukittinggi membiarkan terjadinya pencemaran dan malah ikut mencemari lingkungan.

Kalau saja kondisi TPA di Bukittinggi tidak seperti ini, bukan tidak mungkin kota wisata ini mendapat Adipura. Pasalnya untuk lokasi titik pantau lainnya di kota itu, bisa dikatakan sudah bagus, bersih dan teduh. Mulai dari kawasan perumahannya, jalan arteri dan kolektor, perkantoran, kawasan pendidikan, rumah sakit dan Puskesmas, dan bahkan pasar sekalipun bisa dikatakan baik.

Paling yang perlu dilakukan pembenahan adalah WC pasar, penanganan sampah pasar, ketersediaan TPS di Pasar Bawah, sampah di Batang Agam dan Batang Tambuo, penghijauan kawasan pertokoan, serta memperhatikan kondisi fisik SMP 3 dan SMP 4 yang sangat memprihatinkan, baik dari segi bangunan maupun lingkungannya.

Berbeda dengan Bukittinggi yang masuk sebagai kategori kota kecil, kondisi Kota Payakumbuh sebagai kota sedang sebenarnya tidak jauh beda dengan kota wisata itu. Cuma, Payakumbuh mungkin lebih beruntung punya TPA Kubu Gadang. TPA itu memang lebih baik, tapi tetap saja butuh perbaikan dan pembenahan serta peningkatan sarana dan prasarana.

Sementara untuk lokasi titik pantau lainnya seperti perumahan, jalan arteri dan jalan kolektor, kawasan perniagaan, perkantoran, kawasan pendidikan, rumah sakit dan Puskesmas bisa dikatakan sudah cukup baik. Tinggal lagi membenahi kawasan pasar, terminal dan perairan terbuka serta TPA. (bersambung)
* tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 27 Oktober 2005


Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (8)
Pasar, Masalah Pelik Kota Padang

HAMPIR seluruh daerah di Sumbar, persoalan penataan pasar menjadi masalah pelik yang sepertinya sangat sulit untuk ditata. Demikian pula di Padang yang memiliki 16 pasar satelit dengan kondisi kebersihan, keteduhan, dan ketersediaan sarana dan prasarananya yang sangat minim. Walhasil, kondisi ini menjadi catatan penting dan poin rekomendasi untuk segera dibenahi.

Pada pemantauan Adipura tahap I di Kota Padang, sedikitnya 12 pasar dijadikan lokasi titik pantau untuk dinilai Tim Adipura. Umumnya, pasar-pasar itu --Pasar Ulakkarang, Tanah Kongsi, Alai, Tabing, Lubuk Buaya, Siteba, Belimbing, Simpang Haru, Bandar Buat, Gaung, Pasar Raya dan pasar pagi Purus-- kondisinya sangat semrawut.
"Semua pasar yang ditinjau oleh tim, ternyata tidak ada yang ditanami dengan pohon peneduh. Kecuali hanya ada penghijauan pada sebagian Pasar Raya berupa tanaman hias dalam pot yang merupakan partisipasi dari beberapa sponsor," sebut Erdi Janur SH, salah seorang pemantau Adipura.

Tidak hanya itu, katanya, drainase pasar pada umumnya tersumbat. Sehingga pada musim hujan terjadi luapan air dari drainase tersebut yang sangat kotor sekali dan mengeluarkan bau yang menyengat. Sementara pada Pasar Pagi Purus (Raden Saleh), Pasar Simpang Tabing, Pasar Belimbing tidak memiliki drainase yang representatif. Khusus drainase bagian atas pada pasar Inpres Pasar Raya Padang juga tersumbat di bagian los ikan, ayam dan daging.

Selain itu kebersihan WC untuk semua pasar perlu mendapatkan perhatian yang serius. Malah ada pasar yang sama sekali tidak memiliki WC, seperti Pasar Pagi Purus dan Pasar Simpang Tabing.

Di semua pasar, TPS tidak berfungsi efektif, karena masih banyak sampah yang berserakan di dekat kontainer sampah tersebut. Sementara di Pasar Pagi, Pasar Tabing, dan Pasar Belimbing, lokasi kontainernya sangat jauh dari lokasi pasar.
"Disarankan kepada Dinas Pasar untuk dapat menyediakan kontainer sampah yang tertutup, karena bobot nilainya dalam penilaian Adipura sangat tinggi," kata Erdi lagi.

Di pasar-pasar itu, juga ditemukan masih kurangnya tong sampah atau karung untuk menampung sampah di toko dan lapak pedagang. Selain itu, sebagian besar lapak PKL tidak tertata rapi dan tidak pengelompokkan pedagang berdasarkan jenis dagangannya.
PKL juga disorot keberadaannya oleh tim Adipura di kawasan pertokoan yang ada di Kota Padang. Terutama di kawasan Hiligoo, Permindo dan M Yamin. Kawasan pertokoan itu, sampah juga berserakan, parkir semrawut, pohon peneduh dan penghijauan minus sekali.

Sementara untuk titik pantau jalan arteri, Jalan Khatib Sulaiman, Juanda, Rasuna Said, Sudirman, dan Hamka, tingkat kebersihannya bisa dikatakan baik, kecuali pada bagian tertentu seperti halte-halte yang sampahnya berserakan lantaran tidak tersedianya tempat sampah di lokasi itu. Fungsi dan sebaran pohon peneduh di Jalan Hamka dan Juanda masig sangat kurang dibanding jalan arteri lainnya. Trotoarnya pun tidak nyaman bagi pejalan kaki, termasuk di Jalan Sudirman.

Sedangkan jalan kolektor seperti Jalan Raden Saleh, Ujung Gurun, A Yani, Agus Salim, Sisingamangaraja dan Proklamasi, umumnya drainasenya terumbat oleh sampah dan sedimentasi. Selin itu, lapak PKL-nya patut ditata lagi agar tidak mengganggu pejalan kaki.

Untuk kawasan pendidikan, tim Adipura memantau lokasi Univ. Andalas (Unand), Univ. Bung Hatta (UBH), Univ. Putra Indonesia (UPI), SMAN 2, SMKN 6, SMP 1, SMPN 8, SD 05 Jaruai, SD 13 Surau Gadang, SD 22 Ujung Gurun, SD 35 Cendana Mata Air, dan SD Kartika I. Yang paling disorot adalah kebersihan WC dan ketersediaan air bersih di SD 05 Jaruai, SD 35 Cendana Mata Air, dan SD Kartika I yang drainasenya juga bermasalah. Untuk lingkungan pendidikan SD, tim Adipura menyarankan agar penghijauan digalakkan lagi mengingat minimnya pohon peneduh di lokasi itu.

Sebenarnya masih banyak lagi, rekomendasi-rekomendasi perbaikan yang patut dilakukan Kota Padang --dan juga kota-kota peserta Adipura di Sumbar--. Rekomendasi selengkapnya akan dilayangkan Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pedoman perbaikan menghadapi pemantauan Adipura tahap II pada triwulan pertama 2006 mendatang. (bersambung)
* tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 28 Oktober 2005


Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (9/habis)
Painan dan Batusangkar Harus Berbenah

KOTA Painan dan Kota Batusangkar sebagai ibukota Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Tanah Datar, harus lebih giat lagi untuk menciptakan kota bersih, sehat dan teduh. Karena dari beberapa titik pantau yang dinilai Tim Adipura, masih banyak yang patut dibenahi.

Hampir separuh lokasi pemantauan di dua kota itu, masih ditemukan kekurangannya. Seperti lokasi pantau jalan arteri di Kota Painan, yaitu Jalan Ilyas Yacub dan Jalan Sudirman serta jalan kolektor seperti Jl MHD Hatta, Jl St Syahrir, Jl Abdul Muis, dan Jl H Agus Salim umumnya drainasenya bermasalah. Meski drainase itu tertutup, begitu dibuka ternyata sedimentasi sudah cukup tinggi sehingga menyumbat aliran.
Disamping itu, keteduhannya pun masih kurang. Sementara di Batusangkar, Jalan Hamka, A Yani dan Bagagar Alamsyah serta jalan kolektor seperti Jl Pierre Tandean, Sutoyo dan M T Haryono, bisa dikatakan lebih teduh dibanding jalan di Painan. Cuma saja, trotoarnya masih patut dibenahi karena tidak dilengkapi marka dan belum memberi kenyamanan bagi pejalan kaki.

Untuk kawasan pasar, Pasar Harian Painan dan Pasar Sago di Kota Painan, serta Pasar Batusangkar, kondisinya sama. Cuma Batusangkar sedikit lebih baik lantaran drainasenya hanya sedikit yang tersumbat, WC umum bersih, dan lingkungan sedikit teduh dengan adanya beberapa pohon peneduh. Sedangkan untuk kawasan pertokoan di Kota Painan seperti di Jalan St Syahrir, Jl Sudirman, pertokoan Terminal Sago, sebenarnya tidak jauh beda dengan pertokoan Jl Soekarno Hatta dan Jl Pertiwi di Kota Batusangkar yang minus tempat sampah dan penghijauan.

Sementara kawasan pendidikan, di Kota Painan dipantau SMAN 2, SMK 1, SMK Kelautan, SMPN 2 Salido, SDN 08, SDN 23. Ternyata dibanding sekolah-sekolah di Batusangkar, seperti TK Pertiwi, SDN 06, SDN 08, SMP 2, SMP 3, SMAN 1 dan STAIN, kondisi lingkungan pendidikan di Painan jauh lebih buruk. Umumnya kebersihan WC dan ketersediaan sekolah disana masih rendah. Demikian pula dengan kondisi drainase dan pohon peneduh serta upaya penghijauan yang juga masih kalah dibanding di Batusangkar.
Namun untuk rumah sakit, RS M Zein Painan jauh lebih baik ketimbang RS Hanafiah Batusangkar. Di RS Batusangkar, sampah medis masih bercampur dengan sampah domestik, TPS tidak terawat, pohon peneduh dan penghijauan masih kurang. Puskesmas Salido di Painan juga jauh lebih baik dibanding Puskesmas Limo Kaum dan Puskesmas Tanjung Ameh di Batusangkar.

Tapi untuk taman kota, di Batusangkar Taman Cindua Mato dan Istana Pagaruyuang jauh lebih baik ketimbang Taman Lapangan Tenis di Painan. Wajar, karena di Batusangkar dua taman itu adalah lokasi kunjungan wisata.

Sedangkan untuk kawasan terminal, di Batusangkar terminal Angkot dan terminal AKDP Piliang kondisinya sama saja dengan terminal Angkot dan Terminal Salido di Painan. Mulai dari kondisi sampahnya yang berserakan, penghijauan yang kurang, penataan PKL kurang dan sebagainya.

Sementara untuk perairan terbuka di Batusangkar seperti Sungai Sigarungguang, anak Sungai Jati, Batang Selo kondisinya tidak lebih baik dari perairan terbuka di Kota Painan. Karena di perairan terbuka di Batusangkar itu banyak ditemukan sampah dan sepanjang bantarannya didominasi perdu dan ada juga perumahan penduduk. Sedangkan Batang Painan dan Batang Salido, badan airnya cukup bersih dan bantaran sungainya ditumbuhi pohon yang dapat berfungsi untuk menahan arus degradasi sungai.
Untuk TPA, Batusangkar harus segera melakukan relokasi. TPA Rambatan sudah sebaiknya dialihkan di lokasi Ladang Laweh sebagaimana direncanakan beberapa tahun ini. Pasalnya, TPA Rambatan bisa dikatakan tidak layak lagi sebagai TPA dengan kondisinya yang ada seperti sekarang. Sementara TPA di Kota Painan, yang patut dilakukan adalah perluasan lahan yang kini menyempit. Disamping juga melakukan pengelolaan sampah TPA yang lebih baik dibanding sekarang ini.

Demikianlah kondisi 13 kota yang dipantau Tim Adipura untuk penilaian tahap I pada akhir September hingga awal Oktober lalu itu. Sebenarnya masih banyak rekomendasi-rekomendasi yang diberikan ke masing-masing pemerintah kota dan kabupaten bersangkutan, namun karena keterbatasan ruang, POSMETRO hanya menyampaikan secara garis besarnya saja. Sementara untuk selengkapnya, pihak Kementerian Lingkungan Hidup RI akan mengirimkan hasil pemantauan itu ke masing-masing kota sebagai evaluasi bagi mereka untuk lebih baik dari sekarang. (***)

* tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 29 Oktober 2005.

Read more!
posted by Maryulis Max @ 9:52 AM   2 comments
10 February 2006
Retribusi Sampah
Image hosting by Photobucket"SETIAP individu menghasilkan sampah". Realitas ini tak dapat dipungkiri lagi. Karena itu, selama masih ada kehidupan di atas dunia ini, maka sampah akan selalu ada.
Lantaran individu adalah produsen sampah, yang patut dipikirkan adalah bagaimana manajemen pengelolaan sampah itu. Baik dalam konteks individu --yang dituntut untuk membuang sampah pada tempatnya-- maupun dalam konteks pemerintah kota sebagai manajerial yang mengelola sampah yang dihasilkan warganya.

Di Kota Padang, beberapa upaya telah dan tengah ditempuh Pemko. Mulai dari penambahan sarana dan prasarana, hingga penyiapan sumberdaya manusia untuk mengelola sampah. Sejumlah TPS maupun bak sampah terus ditambah dan disediakan di beberapa lokasi dengan pola menyerahkan pengadaannya kepada masing-masing kelurahan. Pengangkut sampah seperti becak sampah dan truk sampah, juga turut ditambah. Tercatat sampai saat ini ada 40 becak sampah dari target 104 unit, dan puluhan truk sampah --yang sebagian di antaranya bermasalah.

Bahkan saking seriusnya untuk ngurusi sampah, Pemko pun melakukan kerjasama dengan pihak ketiga, PT Global Waste Manajemen Indonesia (GWMI) yang MoU-nya (Memorandum of Understanding-red) sudah ditandatangani walikota Padang pada 8 Juli 2005 lalu. Meski dari kerjasama yang berembel-embel "investor" itu, Pemko akan membayar atas pembiayaan pelaksanaan studi kelayakan yang dilakukan GWMI. Yaitu sebesar 400 ribu dolar yang dibayar dengan anggaran APBD 2006.

Begitu banyaknya dana yang terserap untuk penambahan sarana dan prasarana mengelola sampah ini, Pemko pun mencoba mencari pembiayaan sendiri --meski di APBD sebenarnya sudah ada anggarannya. Disamping mendapat porsi 30% dari kerjasama dengan GWMI berupa hasil penjualan olahan sampah setelah dikurangi biaya operasional, pengembalian biaya investasi dan biaya perawatan peralatan, Pemko coba melirik potensi lain.

Potensi sumber pendapatan itu, ternyata kembali lagi kepada warga sebagai penghasil sampah. Maka lahirlah kebijakan untuk memberlakukan retribusi sampah, acuannya --katanya-- berdasarkan Perda No 5 Tahun 2002.

Sebagai tindak lanjutnya, Pemko Padang mengeluarkan kebijakan mengenai wajib retribusi kebersihan Kota Padang melalui pengumuman Walikota No 018.3.66/DKP-V/2004. Seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pelaku usaha hingga masyarakat umum sekalipun, diwajibkan membayar retribusi berdasarkan kriteria yang ditentukan.
Adapun besar tarif retribusi untuk rumah tangga, tergantung luasnya. Antara lain, luas bangunan 250 M2 sebesar Rp 15.000/bulan, luas 200 M2-249 M2 membayar Rp 10.000/bulan, luas 150 M2-199 M2 dipungut Rp 7.500/bulan dan luas 71 M2-149 M2 termasuk luas 70 M2 sampai ukuran terkecil masing-masing Rp 5.000 dan Rp 2.500.

Dari penarikan retribusi itu akan timbul pertanyaan dimana letak pelayanan Pemko dalam hal retribusi sampah itu. Karena dari keterangan yang pernah diberikan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Padang, Afrizal Khaidir SE MM, pihaknya sama sekali tidak melakukan sistem "jemput bola" alias tidak akan menjemput sampah dari masing-masing rumah warga, meski mereka telah membayarkan retribusi nantinya.

Di sinilah letak persoalan retribusi sampah ini. Muncul pro kontra, penggunaan istilah retribusi dikhawatirkan hanya menjadi kamuflase, karena praktik yang terjadi adalah pungutan. Pemko harus memiliki defenisi operasional yang jelas tentang hal ini.

Menurut ketentuan, retribusi merupakan kontraprestasi yang dibayarkan individu atau kelompok karena menggunakan fasilitas publik. Salah satu contoh objek retribusi adalah pedagang kaki lima (PKL) yang menggunakan trotoar atau jalan tertentu sebagai lokasi berdagang mereka, atau contoh lainnya. Merujuk pada defenisi yang ada, retribusi adalah imbalan uang atas jasa pemerintah yang merupakan kepentingan perorangan pribadi atau badan-badan hukum.

Retribusi dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu Retribusi Jasa Umum dimana orang yang dikenai retribusi punya keuntungan langsung, Retribusi Jasa Usaha dimana jasa ini bersifat komersial dan dapat diadakan oleh sektor swasta, dan Retribusi Jasa Perizinan Tertentu yang merupakan kepentingan umum dimana pemerintah mengendalikan jumlah dan kualitas dari kegiatan tertentu atau barang dengan menerbitkan perizinan.

Dari defenisi itu, dapat disimpulkan ada karakter "menerima dan memberi" dari sebuah retribusi. Berbeda, misalnya, dengan pajak yang dibayar tanpa menerima keuntungan secara langsung yang sepadan. Mungkin patut juga kita merujuk pada UU No 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah diubah menjadi UU No 34 Tahun 2000 yang penjabarannya diatur dalam PP No 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.

Dalam PP itu dengan tegas-tegas disebutkan retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Di PP ini juga dijelaskan pengelompokan retribusi yang meliputi Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Objek Retribusi Jasa Umum, sebagaimana diatur Pasal 2 PP itu, adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Adapun jenis-jenis Retribusi Jasa Umum adalah Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil, dan sebagainya.

Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa retribusi sampah yang diberlakukan Pemko termasuk Retribusi Jasa Umum. Cuma yang jadi persoalan pelayanan yang diterima dari retribusi ini tidak jelas. Padahal di dalam Pasal 3 PP 66/2001 itu disebutkan subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan.

Kekhawatiran kita, bila retribusi ini tetap diberlakukan tanpa ada pelayanan yang jelas, itu sama artinya pepesan kosong. Warga diharuskan mengeluarkan uang untuk alasan yang tidak jelas. Kasus ini, mengingatkan kita ketika diberlakukannya pemungutan retribusi biaya parkir masuk kawasan Pasar Raya yang pengelolaannya diserahkan pada PT Karya Serumpun Insan Cemerlang (PT KSMC). Saat itu, semua kendaraan roda empat --tak peduli apakah supirnya bakal parkir di kawasan Pasar Raya itu-- diharuskan membayar Rp 1.000 kepada petugas yang telah standby di gardu pemungutan.

Dan akan sama kasusnya dengan PT KSMC itu, bila sampah yang "diproduksi" masyarakat harus dibayar ke Pemko, meski warga itu sendiri tidak pernah membuang sampah ke TPS. Walau sampah itu dibakar atau ditimbun sendiri oleh pemiliknya, tapi mereka tetap saja diwajibkan membayar retribusi, itu sama artinya Pemko melakukan PUNGLI!

Sebenarnya, kita tidak menolak diberlakukannya retribusi sampah ini, bila seandainya ada pelayanan yang didapatkan. Dalam hal ini, Pemko harus menerapkan pola sistem jemput sampah ke masing-masing rumah yang telah membayar retribusi. Alangkah menyenangkan bila secara berkala --dan sedapat mungkin setiap harinya-- ada petugas kebersihan dengan kendaraan operasionalnya datang menjemput limbah padat domestik warga. Dengan itu, tidak ada alasan lagi warga untuk menolak membayar retribusi.

Ingat, bukankah pengadaan kendaraan operasional pengangkut sampah semacam becak dan truk sampah itu memang digunakan untuk mengangkut sampah masyarakat? Bukankah truk sampah merek Kutama --yang kini bermasalah-- dibeli dengan alasan karena spesifikasinya bisa keluar masuk pemukiman warga?

Kenapa tidak itu dijadikan sebagai feedback dari pemberlakuan retribusi sampah ini? Kalau alasannya kendaraan operasional sampah itu masih kurang secara kuantitas, itu pun bukan alasan yang logis. Karena dari retribusi yang terkumpulkan nantinya, bisa dibeli ratusan truk atau ribuan becak sampah.
Masuk akal kan? (***)

* Tulisan ini pernah dimuat bersambung di POSMETRO PADANG edisi 20-23 September 2005

Read more!
posted by Maryulis Max @ 1:35 PM   1 comments
Menyoal Perubahan Motto Padang Kota Tercinta
Image hosting by Photobucket Berliku Jalan Mendapat Lambang dan Motto Kota
Pemko Padang, melalui Walikota Drs H Fauzi Bahar MSi terus berupaya agar motto Padang Kota Tercinta berganti. Dengan menambahi kata-kata "Kujaga dan Kubela", di depan kata "Padang Kota Tercinta", Pemko berniat agar ada penyemangat dalam derap pembangunan kota ini.

Tapi, segampang itukah lambang dan motto kota ini berganti? Pasalnya, untuk menciptakan dan menetapkan motto yang telah ada, yaitu "Padang Kota Tercinta", perjalanan panjang penuh liku ditempuh pemimpin kota terdahulu.

Berawal dari kesepakatan DPRD Gotong Royong Sementara pada 1953, disepakati agar kota ini harus segera mempunyai lambang daerah. Baru 3 tahun kemudian, tepatnya 1956, dilakukan sayembara pembuatan lambang Kota Padang. Pesertanya membludak. Ratusan warga dari beragam kalangan ingin sekali berpartisipasi untuk menciptakan lambang tersebut.

"Akhirnya, dari sekian banyak peserta tersebut, yang terpilih sebagai pemenangnya adalah karya Ibenzani Usman, alumni SMA I Padang yang baru saja kuliah di jurusan Senirupa ITB Bandung," tutur Drs H Irawadi Uska BSc kepada penulis soal ikhwal sejarah lambang Kota Padang ini.

Ibenzani --yang kemudian hari menjadi seniman besar Kota Padang dan praktisi pendidikan dengan titel lengkap Prof DR Ibenzani Usman--, dalam lomba itu berhasil pula mengalahkan ayahandanya, Usman Kagami (Uska) yang merupakan Direktur SMA I Padang dan salah seorang pelukis gambar oeang (uang-red) republik.

Kemenangan Ibenzani, dengan karya lambang seperti yang kini dipakai Kota Padang, baru ditetapkan puluhan tahun berikutnya. Tepatnya pada 1973, kemenangan itu ditetapkan dalam Perda sebagai lambang kota. Saat itu, belum ditetapkan motto kota.

Pada 1983, di era pemerintahan Syahrul Udjud, Kota Padang dilakukan perluasan wilayah. Dari semula hanya 3 kecamatan, yaitu Padang Selatan, Padang Timur dan Padang Barat dengan 13 kepala kampung (lurah di era sekarang-red), menjadi 11 kecamatan seperti sekarang ini dengan 193 kelurahan. Sebagai daerah yang mengalami perluasan dengan masuknya beberapa wilayah milik Padangpariaman, kehidupan masyarakat didorong untuk mencintai Kota Padang sebagaimana layaknya kampung halaman mereka. Sejak itulah, Padang mulai dicintai warga...(bersambung)

Semuanya Ada Dalam Cinta
Pada 1983, di era pemerintahan Syahrul Udjud, Kota Padang dilakukan perluasan wilayah. Dari semula hanya 3 kecamatan, yaitu Padang Selatan, Padang Timur dan Padang Barat dengan 13 kepala kampung (lurah di era sekarang-red), menjadi 11 kecamatan seperti sekarang ini dengan 193 kelurahan.

Sebagai daerah yang mengalami perluasan dengan masuknya beberapa wilayah milik Padangpariaman, kehidupan masyarakat didorong untuk mencintai Kota Padang sebagaimana layaknya kampung halaman mereka. Sejak itulah, Padang mulai dicintai warga.

Sebagaimana dituturkan mantan anggota DPRD Padang periode 1987-1997, Drs H Irawadi Uska BSc, dalam usaha untuk menciptakan Kota Padang agar dicintai oleh warganya dan menumbuhkembangkan rasa memiliki sebuah kota, maka diambillah inisiatif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Maka lahirlah Perda No 1 Tahun 1992 tanggal 21 Maret 1992 tentang Lambang Daerah Kotamadya Padang yang sekaligus ditambah dengan motto Padang Kota Tercinta.

"Berbarengan dengan itu juga ditetapkan lagu Mars Padang Kota Tercinta yang juga diciptakan Prof DR Ibenzani Usman yang sebelumnya telah memenangkan sayembara logo Kota Padang pada 1956," kisahnya.

Dalam perobahan (penambahan motto Padang Kota Tercinta pada lambang karya Ibenzani-red) tersebut, Walikota Padang --ketika itu--, Syahrul Udjud SH menghubungi Ibenzani guna meminta persetujuannya. Setelah mendapat persetujuan, maka ditetapkanlah penambahan motto tersebut. Dan patut diketahui, motto Padang Kota Tercinta itu adalah hasil olah pikir berbagai kalangan seperti seniman, wartawan, dan komponen masyarakat yang dihimpun oleh dewan ketika itu. Bukan hasil olah pikir orang per orang.

Dan kini, di era kepemimpinan Drs H Fauzi Bahar MSi sebagai Walikota Padang, muncul wacana untuk menambahkan kata-kata "Kujaga dan Kubela". Alasan paling mendasar dari penambahan itu adalah mengobarkan semangat dan jiwa patriotisme masyarakat dalam menyukseskan pembangunan di kota ini. Dengan gencar dilakukan sosialisasi terhadap motto baru yang berbunyi "Padang Kota Tercinta Kujaga dan Kubela" ini.

Tanggapan awal dari berbagai kalangan adalah, "bukankah dalam cinta sudah ada segalanya?" Bila masyarakat sudah mencintai Kota Padang, berarti mereka akan siap untuk menjaga dan membela. Masyarakat siap untuk berbuat apa saja demi Kota Padang yang Tercinta ini. (bersambung)

Hanya di DPRD, Gelindingan Motto Itu Terhenti
Di era kepemimpinan Drs H Fauzi Bahar MSi sebagai Walikota Padang, muncul wacana untuk menambahkan kata-kata "Kujaga dan Kubela". Alasan paling mendasar dari penambahan itu adalah mengobarkan semangat dan jiwa patriotisme masyarakat dalam menyukseskan pembangunan di kota ini. Dengan gencar dilakukan sosialisasi terhadap motto baru yang berbunyi "Padang Kota Tercinta Ku Jaga dan Ku Bela" ini.

Sebagaimana diungkapkan Asisten I Pemko Padang, Drs Syafruddin Nur dalam hearing dengan Pansus I DPRD Padang beberapa waktu lalu, gagasan walikota merubah identitas kota ini, sudah dibahas sejak medio Agustus 2004 silam. Bahkan Pemko telah mengundang sejumlah nama untuk penambahan motto tersebut. Diantaranya DR Mestika Zed dari UNP, DR Damsar MA dari Unand, Zainuddin dari LKAAM Padang, dan Darman Moenir dari unsur seniman. Mereka itu, pada umumnya menyetujui ide penambahan motto tersebut. Alasannya dengan begitu akan memberi motivasi kepada masyarakat untuk lebih mencintai kota ini.

Sejak itu, makin gencarlah Ku Jaga dan Ku Bela digaungkan. Mulai di spanduk-spanduk, banner, koran, dan sebagainya, selalu ada kata-kata Padang Kota Tercinta Kujaga dan Kubela. Saking gencarnya, sampai-sampai masyarakat bertanya, "apa yang harus dijaga dan dibela?" Setelah dirasa sosialisasi cukup sukses, barulah Pemko mengajukan draft Ranperda perubahan Perda No 1 Tahun 1992 tentang lambang daerah Kotamadya Tingkat II Padang ke DPRD. Tanggapan dewan ketika itu, "alah jalan baru malapor".

Sempat tertunda pembahasannya, karena DPRD sibuk dengan agenda lain, akhirnya Ranperda itu ikut dibahas bersama-sama dengan 8 Ranperda lainnya. Dan sebagai lokomotifnya, dipercayakan kepada Pansus I.

Sebelum Pansus ini dibentuk, sempat disampaikan nota pengantar Ranperda itu oleh walikota yang kemudian ditanggapi dalam bentuk pandangan umum anggota dewan. Tanggapannya pun beragam, dan malah bikin panas walikota, sehingga yang bersangkutan sempat "keseleo lidah" dalam memberikan jawaban atas pandangan umum anggota dewan tersebut. Dan kecenderungan yang ada, hampir seluruh fraksi di DPRD Padang, ingin perubahan itu ditinjau kembali dengan meminta Pemko untuk melakukan pengkajian yang mendalam perlu tidaknya motto itu diganti.

Beban kini ada di Pansus I. Ketua Pansus I, Drs Mirkadri Miyar MPA --yang secara pribadi tidak setuju dengan perubahan ini-- mengatakan pihaknya hati-hati dalam pembahasan Ranperda tersebut. Bahkan ditegaskannya, belum tentu pembahasannya akan dilanjutkan, tergantung masukkan-masukkan yang akan diterima pihaknya.

Cuma yang pasti, mantan Walikota Padang, Syahrul Udjud SH yang ditanyai salah seorang anggota dewan seputar masalah ini, menunjukkan kekurangsetujuannya. Syahrul lebih ingin bila dibahas soal penataan Pasar Raya, pendidikan yang tengah merosot, dan lainnya, ketimbang membahas hal yang tak perlu serupa itu.

Nah, kalau sudah begitu, apakah DPRD Padang dan Pansus I akan terus menggelidingkan perubahan motto ini? Atau mereka akan menstop gelindingan motto tersebut, sehingga "skor" tetap bertahan dengan kalimat yang berbunyi " Padang Kota Tercinta" alias tanpa embel-embel "Kujaga dan Kubela". (***)

* Tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO PADANG edisi 6-8 Juli 2005

Read more!
posted by Maryulis Max @ 10:40 AM   0 comments
Blog Valdisya
Photobucket - Video and Image Hosting

Singgah ke My Baby Blog Klik disini Ngeliat Foto Disya Klik Ini

Tulisan Sebelumnya
Brankas Arsip
Singkap Blog
Mitra Blog

Free Blogger Templates

BLOGGER

BlogFam Community

Free Shoutbox Technology Pioneer

Photobucket

Image hosting by Photobucket

Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

Linda

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Photobucket

AddThis Social Bookmark Button

Sedang Dibaca

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Lihat koleksi buku saya disini

Asal Pengunjung

Copyright © Kumpulan Tulisan & Pemikiran | Editor - Maryulis Max | Disain : Yonaldi