It's Me

Name: Maryulis Max
Home: Padang, Sumatera Barat, Indonesia
About Me: Saya mencoba untuk menuliskan apa yang saya lihat, dengar dan rasakan. Insya Allah bermanfaat bagi kemanusiaan...
See my curiculum vitae
Komunitas Kampuang

Photobucket - Video and Image Hosting

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Ketik: sumbar dan kirim ke 7505, dari semua operator cellular di Indonesia. Dengan begini anda sudah menyumbang sebesar Rp. 6000.

Jejak Blogger

Free Web Counter

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Penghargaan

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Pernah Sato Sakaki

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Lomba Hut ke-3 Blogfam

Lomba Blogfam HUT Kemerdekaan RI ke 

61

Peserta Lomba Hari Kartini 2006

MyBlogLOG


Komen Terbaru


Banner Ambo

Maryulis Max Blog

 


27 November 2006
Resensi Buku
Photobucket - Video and Image Hosting

Ada Hidayah di Cerita Cinta

CINTA itu universal. Hal itu yang mungkin di angkat Habiburrahman El Shirazy dalam buku Di Atas Sajadah Cinta-nya ini.

Semula, saya sempat kecele. Karena begitu melihat buku bercover menarik ini terpampang di rak buku Gramedia, saya sempat mengira isinya akan idem dito dengan buku sejenis lainnya. Terlebih saya juga pernah membaca buku Gadis di Ujung Sajadah karya Izzatul Jannah terbitan FBA Press-2003 yang juga memuat karya Shinta Yudisia. Perkiraan saya, isi buku ini akan sama dengan buku Izzatul Jannah yang benar-benar mengangkat kisah cinta yang terjadi sehari-hari.

Ternyata saya salah, buku Habiburrahman yang pertama kali terbit Mei 2004 dan hingga September 2006 sudah masuk cetakan ke-10 itu, justru beda. Sebuah beda yang memang telah diakui Habiburrahman sendiri, bahwa buku ini, selain memuat karya-karyanya, juga memuat kisah-kisah teladan Islami. Dalam bahasa saya, bukunya itu adalah sebuah ikhtiar "mahimpun nan taserak" untuk para pembaca.

Karena "mahimpun nan taserak", maka wajar, embel-embel cinta yang diusung, bukanlah kisah percintaan dua sedjoli semata. Lebih dari itu, buku ini juga mengangkat cerita cinta manusia kepada Rabbnya, kepada Rasulnya, pemimpinnya, sahabatnya, keluarganya, bahkan kecintaan pada diri sendiri. Semua itu dapat kita baca dan rasakan dari 38 cerita yang disajikan (di awal terbitnya, buku ini hanya memuat 25 cerita-red).

Di balik cerita yang diusung, ada banyak hidayah yang ditebar. Menelisik hati pembacanya untuk kembali mengobok-obok nuraninya, agar kembali kepada percintaan Illahiah, cinta Lillahi Taala yang meneropong ke persoalan ukhrawi yang telah dikalahkan pada cinta duniawi, cinta yang memuja hedonisme. Subhannallah...

Meski mengangkat cerita Di Atas Sajadah Cinta sebagai judul buku, namun menurut saya sebenarnya ada cerita lain yang lebih kuat dari seluruh cerita yang ada. Yaitu Ketika Derita Mengabadikan Cinta (hal.37) yang mengangkat kisah cinta nyata antara Prof Dr Mamduh Hasan Al Ganzouri dengan Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz, istrinya.

Mamduh, seorang aristokrat keturunan Pasha, jatuh cinta kepada seorang gadis yang memesonanya lahir batin. Gadis yang penuh kesederhanaan, kesahajaan, dan mulia akhlaknya, setia, lembut, cantik dan kecerdasannya sangat menakjubkan. Kepadanya dia menambatkan hati dan yakin telah menemukan pasangan hidup yang tepat untuk sama-sama menempatkan cinta mereka dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan.

Namun sosok si gadis ditolak mentah-mentah oleh ayah Mamduh hanya karena orangtua si gadis seorang tukang cukur. Mamduh dianggap telah memilih pasangan yang salah dari strata sosial yang jauh berbeda dengan keluarganya.

Penolakan sang ayah, tentu saja melukai hati Mamduh. Namun dia tetap menghormati orangtuanya dan tentu saja tetap yakin dengan cintanya kepada sang gadis. Hingga akhirnya mereka memutuskan menikah --walau tanpa restu-- dan hidup serba kekurangan sebagai calon dokter di daerah kumuh. Kenikmatan hidup sebagai orang kaya, ditinggalkannya. Dia yakin jalan yang ditempuhnya diridhai Allah. Kendati demi itu, dia selalu dirongrong oleh kedhaliman sang ayah yang tetap menyetuji pernikahannya itu.

"...Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta. Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga...
Jika percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang paling nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saat Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak menikmati indahnya wajah Allah SWT. Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak memperoleh segala cinta di surga.Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepada-Nya..." (hal.46)

Tekad yang bulat dan percaya berada dalam lindungan Lillahi Rabbi, secara perlahan merubah hidup mereka. Tahun berbilang, waktu berganti, mereka akhirnya hidup sukses setelah 9 tahun menderita. Mamduh menjadi dokter spesialis syaraf dan istrinya spesialis jantung. Allahu Akbar...

Di cerita Ketika Derita Mengabadikan Cinta ini, termaktub semua cerita cinta, yaitu cinta manusia kepada Rabbnya, kepada Rasulnya, pemimpinnya, sahabatnya, keluarga bahkan kecintaan pada diri sendiri. Membacanya, bertebar hikmah yang dapat ditarik untuk dijalani dalam kehidupan ini.

Pantaslah bila buku ini --sebagaimana wasiat penulis dan penerbitnya-- dijadikan sebagai cenderamata pernikahan, atau kado buat sahabat guna berbagi hidayah, hikmah dan manfaat dari membaca buku yang kini diangkatkan ke layar kaca sebagai sinetron religius itu. (***)


Read more!
posted by Maryulis Max @ 2:04 PM   4 comments
20 November 2006
Mental Razia
Photobucket - Video and Image Hosting

SAYA baru saja kena tampar. Tapi tidak perih karenanya. Justru saya tertawa menyikapinya. Peristiwa aneh bin ajaib ini, terjadi setelah saya melihat iklan sebuah merek rokok di TV swasta yang menyindir banget.

"Cuma taat kalo ada yang liat", begitu bunyi iklan yang benar-benar menampar kesadaran saya agar sadar sesadar-sadarnya. Tanyaken apa? (bukan tanya kenapa).

Mungkin tak hanya saya yang patut merasa ditampar oleh iklan nyeleneh yang menampilkan klip seorang cewek yang melanggar rambu-rambu lalu lintas itu. Kita semua patut merasa "sakit" atas sindiran yang tepat sasaran tersebut. Jika tidak, itu artinya ada di antara kita yang "sakit jiwa" dan pantas konsultasi ke psiakater untuk mencari tahu diri kita ini manusia apa tidak.

Jika begitu adanya, pantas dan wajar bila kita sebagai manusia yang hidup di atas norma, hukum, hak dan kewajiban, tanggung jawab dan kepedulian, serta hal-hal berprikemanusiaan lainnya, selalu tak pernah mencapai tatanan ideal. Semrawut; lamak di awak, alun tantu katuju di urang; main hantam kromo; dan anti sosial. Itu terjadi karena kemanusiaan kita tidak terpelihara dan tidak pernah diasah untuk menjadi manusia benaran yang telah dibekali akal oleh Yang Maha Kuasa.

Sekarang baru boleh tanya kenapa (bukan tanyaken apa?). Lha iya, coba ingat-ingat lagi, berapa banyak kesalahan yang telah kita lakukan dan berapa banyak kebetulan (bukan kebenaran) yang terjadi pada kita yang dijadikan alasan untuk melakukan kesalahan. Memplintir kata-kata Bang Napi, "kesalahan dilakukan bukan karena kebetulan, tapi karena ada kesempatan untuk melakukannya". Mumpung tak ada yang lihat, kenapa harus taat bukan?

Kita lepas dulu soal ketaatan padaNya, pada aturan yang dibuat manusia saja, kita belum taat. Bahkan tragisnya, ada pula yang lebih taat ketika dipelototi manusia ketimbang taat kepadaNya Yang Maha Melihat (Al Basir). Termasuk saya. Memakai bahasa SMS selamat lebaran yang saya terima yang berbunyi "dengan hati seputih kokain, sebening vodca dan seharum ganja", saya patut berjujur diri bahwa saya sendiri belum kaffah.

Diakui atau tidak, kita ini --baik rakyat jelata, penguasa, penegak hukum, dan status apa saja yang melekat pada diri-- punya mental razia. Baru takut saat ada razia (bagi rakyat biasa), atau baru tegas bila disuruh razia (bagi yang punya kekuasaan dan diberi kuasa untuk mengatur rakyat biasa). Contoh paling faktual adalah berlalu lintas (saya menyukai topik ini dan sering keceplosan di rubrik ceplas-ceplos soal ini). Karena berlalu lintas menunjukkan kemanusiaan kita sebenarnya.

Lihatlah mental razia yang ada pada diri supir bus AKDP yang keenakan ngetem di Minang Plaza dan mental razia pada aparat kepolisian dan Dinas Perhubungan (Dishub) yang ditugasi mengawasi ketertiban berlalu lintas di lokasi itu. Kalau ada aparat yang razia untuk melarang mereka agar tidak berlama-lama di tempat tersebut, maka mereka taatnya minta ampun. Jalanan lancar, arus lalu lintas tak semrawut.

Coba saat tidak ada razia, tak hanya supir yang tidak taat, aparatur pun demikian, ikutan tidak taat atas tugas yang dibebankan kepadanya. Supir dibiarkan memarkirkan busnya yang jelas-jelas dilarang karena ada letter S dan terbukti benar bikin macet jalanan, karena ketidaktaatan aparat. Alasannya, karena tidak disuruh razia dan bukan waktunya buat razia, kenapa harus susah-susah. Toh... atasan tidak pula melihat, untuk apa harus taat?

Itu baru satu contoh, tapi imbasnya memunculkan ketidaktaatan-ketidaktaatan lainnya. Seperti PKL di sana, dilarang jualan di trotoar, mereka tetap berjualan dengan harapan begitu besarnya pangsa pasar dari kalangan calon penumpang --yang juga tidak taat-- menunggu bus di lokasi itu. Mereka baru taat, kalau Pol PP disuruh atasannya merazia mereka.

Makanya, terhadap contoh soal lalu lintas ini saja, kita semua patut merasa tertampar juga atas iklan "cuma taat kalo ada yang liat" tersebut. Kalau tidak, hati-hati kena razia!!! (***)


Read more!
posted by Maryulis Max @ 1:06 PM   8 comments
09 November 2006
Resensi Buku
Photobucket - Video and Image Hosting

Diktat Wajib (Calon) Petualang

KENDATI penuh tantangan dan resiko yang bahkan nyawa sebagai taruhannya, dunia petualangan tak pernah mati. Para petualang atau tepatnya penggiat alam bebas terus tumbuh bagaikan jamur, ada yang datang dan ada yang pergi.

Berbagai aktivitas, mulai dari pendakian gunung, panjat tebing, arung jeram, sampai ke penelusuran gua, menarik minat berbagai kalangan yang umumnya didominasi kaum muda. Dari semua kegiatan itu, mendaki gunung menjadi kegiatan yang paling banyak menarik minat para petualang pemula. Alasan mereka, untuk mendaki gunung tidak kelewat butuh skill maupun peralatan yang memadai. Cukup bermodal keberanian dan modal nekad doang, mereka yakin bisa sampai di puncak gunung.

Persepsi serupa itu, sudah bukan rahasia umum lagi. Coba lihat, setiap malam Minggu di Koto Baru, kaki Gunung Marapi. Betapa banyak anak muda yang pergi naik gunung hanya dengan membawa tas sandang (bukan carrier), dan bahkan ada yang tanpa bawa apa-apa sama sekali lantaran nebeng dengan teman-temannya. Bagi mereka, mendaki gunung adalah kegiatan hura-hura, dan huru hara tanpa memikirkan keselamatan jiwanya.

Maka jangan heran, selalu saja ada korban berjatuhan saat melakukan pendakian. Mulai hanya sebatas diserang mountain sickness, kesasar, sampai yang harus kehilangan nyawanya akibat kelalaian dan ketidaktahuan mereka soal seluk beluk pendakian.

Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Hendri Agustin menulis buku Panduan Teknis Pendakian Gunung. Sebagai pendaki kawakan yang telah melakukan pendakian ke hampir seluruh gunung di Indonesia dan beberapa pegunungan di mancanegara, lelaki kelahiran Padangpanjang, 19 Agustus 1968 ini merasa miris benar dengan fenomena itu.

Sebuah kepedulian yang patut diacungi jempol, mengingat sangat minimnya buku sejenis yang secara detail menulis teknis-teknis pendakian dan segala tetek bengeknya. Selama ini, kalaupun ada buku serupa, hanya sebatas diktat yang biasanya beredar untuk kalangan sendiri di kelompok-kelompok pecinta alam. Itupun isinya tak sedetail isi buku setebal 264 halaman yang diterbitkan Penerbit Andi ini.

Pengalamannya yang bejibun dalam beraktivitas di alam bebas, tidak membuat Hendri harus pelit berbagi ilmu. Dia tak mau tanggung-tanggung mengupas tuntas A sampai Z soal mendaki. Mulai dari ilmu pengetahuan yang ilmiah banget dan teoritis, sampai ke aplikasi teknis di lapangan yang memang akan dilalui seorang pendaki dalam berkegiatan.

Cakrawala pendaki pemula, akan terbuka lebar begitu membaca buku langka ini. Mereka akan tahu banyak bahwa mendaki tidak semata bagaimana menjejakkan kaki di puncak. Lebih dari itu, kegiatan mendaki jauh lebih menyenangkan saat menjalani prosesnya --seperti yang pernah diutarakan Gola Gong dalam serial Balada Si Roy-nya. Mereka akan menjadi tahu, safety procedureadalah hal yang paling utama dalam berkecimpung di kegiatan ini.

Kelebihan lain yang dimiliki buku karya Hendri yang tercatat sebagai pendiri situs petualangan www.highcamp.info dan perintis mailing list Highcamp The Adventures yang beranggotakan sekitar 890 orang ini, adalah disertakannya kumpulan tip yang notabene diangkatkan dari pengalaman yang dia dapat sejak menggeluti dunia petualangan semasa SMA dulu. Belum lagi dengan adanya lampiran yang memuat data gunung-gunung di Indonesia berketinggian di atas 1.000 Mdpl (hal.243), yang di peta Atlas saja belum tentu selengkap itu. Serta adanya check list perlengkapan (hal. 257) dan perencanaan logistik (hal.258) yang dapat menjadi panduan mempersiapkan sebuah pendakian.

Tidak itu saja, buku ini menjadi berbobot dengan adanya bab yang membahas Leave No Trace (hal. 195) yang sering diabaikan para pendaki sebagai prinsip utama dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Prinsip ini, di kalangan petualang dikonsep ringan menjadi "jangan mengambil sesuatu, selain foto dan jangan meninggalkan sesuatu, selain jejak".

Dengan kelebihan serupa itu, jadilah buku ini sebagai diktat wajib tidak hanya bagi pendaki pemula, tapi juga buat petualang senior sebagai pembanding dan rujukan tambahan bagi mereka.

Sayangnya, buku sebagus ini, tidak semua petualang maupun pendaki pemula yang mengetahui keberadaannya. Karena buku ini dijual di toko-toko besar yang belum tentu menjadi "lokasi bermain" mereka. Justru alangkah lebih baiknya, buku ini dijual di toko outdoor yang menjual perlengkapan alam bebas, karena di situlah biasanya para petualang ini biasanya bermain.

Selain itu, ada mubazir yang tidak begitu mengganggu di buku ini. Yaitu pemuatan foto-foto hasil jepretan Hendri yang yahud punya, namun ditampilkan hitam putih. Coba kalau foto-foto ini dicetak di kertas lux berwarna, woww kereenn.. Pastilah para pembacanya akan mengakui bahwa mendaki itu memang indah!!!. (***)


Read more!
posted by Maryulis Max @ 10:36 PM   7 comments
Blog Valdisya
Photobucket - Video and Image Hosting

Singgah ke My Baby Blog Klik disini Ngeliat Foto Disya Klik Ini

Tulisan Sebelumnya
Brankas Arsip
Singkap Blog
Mitra Blog

Free Blogger Templates

BLOGGER

BlogFam Community

Free Shoutbox Technology Pioneer

Photobucket

Image hosting by Photobucket

Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

Linda

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Photobucket

AddThis Social Bookmark Button

Sedang Dibaca

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Lihat koleksi buku saya disini

Asal Pengunjung

Copyright © Kumpulan Tulisan & Pemikiran | Editor - Maryulis Max | Disain : Yonaldi