JALAN M Yamin, begitu nama jalan sepanjang 2 km itu disebutkan, yang terbayang adalah kemacetan dan kesemrawutan. Semua warga Kota Padang ataupun kaum pendatang yang singgah ke Padang --dan lewat jalan tersebut--, pastilah tahu betul dengan kondisi ini. Bagi mereka. lebih baik memilih jalan alternatif, ketimbang harus terjebak macet di lokasi tersebut.
Sejauh ini, belum ada solusi yang bernas dari Pemko Padang untuk mengantisipasi macet atau sekedar mengurangi kemacetan di ruas jalan itu. Terlebih lagi pasca dialihfungsikannya Terminal Lintas Andalas (TLA) menjadi Plasa Andalas dan Terminal Goan Hoat (TGH) menjadi pasar modern Sentral Pasar Raya, sama sekali belum ada penanganan serius dari pengambil kebijakan kota.
Paling yang sempat dilakukan adalah dengan melontarkan sebuah keyakinan --yang akhirnya tidak terbukti-- bahwa kemacetan M Yamin akan teratasi apabila Plasa Andalas telah beroperasi. Kenyataannya kita sama-sama tahu, pasca plasa itu dioperasikan di awal September 2005 lalu, hingga kini yang namanya macet tak pernah berkurang, tapi malah bertambah.
Solusi lain yang juga pernah dilakukan dan masih diterapkan adalah membangun median jalan di depan eks TGH dengan membagi badan jalan menjadi dua jalur. Jalur kiri untuk angkutan umum, lajur kanan untuk kendaraan pribadi. Hasilnya, kita pun sama-sama tahu, macet tak pernah berhenti, kecuali di malam hari!
Kebijakan itu, dilanjutkan pula dengan pemasangan tanda larangan berbelok ke kiri masuk ruas Jalan Pasar Raya Barat. Hasilnya pun kita sama-sama tahu, macet dan semrawut semakin akut. Buahnya, pedagang pun komplain karena akses pengunjung untuk masuk ke kawasan Pasar Raya Barat tersebut dihilangkan menyusul dilenyapkan fungsi TGH.
Itulah bukti kebijakan trial and error yang diterapkan Pemko Padang. Kebijakan baru diambil bukannya menyelesaikan masalah tanpa masalah (seperti motto Perum Pegadaian), tapi menyelesaikan masalah dengan masalah. Kini, langkah baru akan dicoba pula oleh Pemko. Dalam waktu dekat, akan dilakukan perubahan rute trayek Angkot dari arah timur kota, seperti Indaruang, Lubuk Begalung, Gadut dan sebagainya. Angkot jurusan itu "dilarang" masuk M Yamin dan dialihkan ke Jalan Imam Bonjol. Alasannya, mengurangi intensitas kemacetan dengan membatasi kuantitas kendaraan yang masuk ke ruas jalan tersebut.
Hasilnya, --bukannya mau mendahului apa yang akan terjadi--, kita tidak hanya pesimis tapi optimis bahwa kebijakan tersebut bakal memunculkan masalah baru. Alias sami mawon dengan yang sudah-sudah, yaitu menyelesaikan masalah dengan membuat masalah. Logika awamnya --melongok ke yang sudah-sudah juga--, kebijakan itu justru hanya memindahkan kemacetan dari M Yamin ke Imam Bonjol. Bahkan kalau bisa dikatakan, M Yamin tetap macet, Imam Bonjol-nya pun menjadi macet!
Kenapa? Kita sama-sama tahu, perilaku ketidaktertiban para pengguna jalan, khususnya supir-supir angkutan umum. Mereka akan seenak perutnya menaikturunkan penumpang di Imam Bonjol dan ngetem di sana tanpa khawatir bakal ditertibkan petugas. Pasalnya, petugas pun melegalisasi keberadaan mereka di lokasi tersebut melalui Pungli-pungli yang ditarik dari mereka. Ingat, hal seperti ini kini terjadi di depan eks TGH yang menjadi lokasi ngetem angkutan umum pasca lenyapnya TGH.
Lantas apa solusinya? Selama Kota Padang tidak memiliki terminal Angkot pengganti TGH untuk lokasi ngetem angkutan umum tersebut, maka kemacetan tak akan pernah hilang atau minimal dikurangi. Solusinya, harus ada terminal baru! Dimana? Silahkan pengambil kebijakan menentukan lokasi. Tapi patut juga di dengar ide nyeleneh pedagang yang menginginkan lokasi RTH Imam Bonjol menjadi terminal. Apakah mungkin? Tentu saja mungkin. Sama mungkinnya dengan menyulap TGH menjadi mall. Dan bukan tak mungkin RTH menjadi terminal. (***) * tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 7 Desember 2005 |