It's Me

Name: Maryulis Max
Home: Padang, Sumatera Barat, Indonesia
About Me: Saya mencoba untuk menuliskan apa yang saya lihat, dengar dan rasakan. Insya Allah bermanfaat bagi kemanusiaan...
See my curiculum vitae
Komunitas Kampuang

Photobucket - Video and Image Hosting

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Ketik: sumbar dan kirim ke 7505, dari semua operator cellular di Indonesia. Dengan begini anda sudah menyumbang sebesar Rp. 6000.

Jejak Blogger

Free Web Counter

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Penghargaan

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Pernah Sato Sakaki

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Lomba Hut ke-3 Blogfam

Lomba Blogfam HUT Kemerdekaan RI ke 

61

Peserta Lomba Hari Kartini 2006

MyBlogLOG


Komen Terbaru


Banner Ambo

Maryulis Max Blog

 


24 July 2006
R e i n k a r n a s i
Photobucket - Video and Image Hosting

JIKA saja hidup ini memang ada reinkarnasi, saya ingin betul untuk terlahir kembali. Lha, kenapa? Saya ingin unjuk gigi (dalam artian sebenarnya; cengengesan) dan unjuk prestasi, tanpa harus susah-susah seperti yang telah saya jalani selama ini.

Keinginan reinkarnasi itu terbersit di pikiran saya setelah menyimak kasus ujian nasional (UN) dan penyelenggaraan ujian Paket C bagi yang tak lulus UN. Dengan terlahir kembali, saya ingin menjajal kemampuan otak saya dalam belajar Matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dengan mengabaikan seluruh pelajaran lainnya seperti Fisika, Geografi, Biologi, Agama, Sejarah dan sebagainya. Karena memang hanya 3 mata pelajaran itu, yang menentukan nasib saya lulus atau tidak sebagai siswa SMA.

"Kenapa harus susah-susah belajar mata pelajaran lain, kalau toh akhirnya ketika UN, pelajaran itu tidak diujikan. Lebih baik, fokus pada 3 mata pelajaran yang diistimewakan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) itu, sehingga nilai UN saya bisa 10 semua dan jadi siswa terbaik se-Indonesia," begitu yang terpikir di dalam kepala saya yang mulai botak ini.

Pun bila ketika saya dilahirkan kembali melalui reinkarnasi, ternyata gen malas dan badung saya lebih mendominasi ketimbang menjadi siswa berprestasi, saya juga tak perlu khawatir. Semalas-malasnya saya dan tak lulus UN nantinya, masih ada senjata pamungkas melalui ujian Paket C untuk menyelamatkan muka agar dapat mengenyam bangku kuliah atau pun sekedar punya ijazah.

Saya tidak akan malu ikut ujian Paket C, karena dengan begitu saya dianggap setara dengan politikus atau pun PNS yang tak pernah punya ijazah SMA, kecuali ijazah Paket C!

Dan saya tentu tidak akan rugi ikut ujian Paket C, karena biayanya --katanya konon-- digratiskan oleh pemerintah. Hmm.., enaknya. Tak perlu bayar uang sekolah dari kelas I sampai III, karena saya sudah keburu memutuskan berhenti sekolah dengan pertimbangan bisa ikut ujian Paket C di kemudian hari seperti halnya politikus atau pun PNS yang ingin menaikkan pangkat dan gaji dengan mempertinggi status pendidikan melalui ujian Paket C itu.

Itulah buah pikir yang bersemayam di benak kepala saya yang sudah penuh dengan berbagai pikiran dan ingatan yang sebenarnya lebih penting, ketimbang memikirkan keinginan reinkarnasi lantaran sistem pendidikan kita saat ini.

Reinkarnasi itu takkan pernah menjadi pemikiran saya, bila saja pemerintah dalam hal ini Depdiknas berpijak dan berpedoman kepada UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terutama dalam hal pelaksanaan UN yang secara tersirat dan tersurat menyebutkan di Pasal 58 Ayat 1 bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Bukan Depdiknas dengan badan standar pendidikan nasionalnya.

Kalaupun Depdiknas --yang tiap berganti menteri selalu berganti kurikulum dan kebijakan-- ingin tetap melaksanakan ujian nasional, mungkin sebaiknya mengakomodir kembali "potensi" dan kemampuan para siswa di bidang lain. Jangan hanya mengistimewakan Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Saya, misalnya, lebih jago dan menyukai Geografi serta Sosiologi, masak dianggap tidak penting-penting amat dan tak perlu diuji. Padahal kalo diuji, saya yakin dapat nilai tinggi dan bisa lulus serta melangkah ke perguruan tinggi.

Untuk yang satu ini, saya tak ingin reinkarnasi, karena di era saya dulu ada EBTA/EBTANAS yang mengakui potensi dan kemampuan lain anak baru gede berseragam abu-abu itu. Kalau sekarang, masak yang lulus atau tak lulus ditentukan oleh UN yang hanya menyediakan 3 X 2 jam dan mengabaikan proses pembelajaran di dalam kelas selama 3 tahun.

Kini, sistem UN yang terbukti error dan mengakibatkan 3.660 siswa se-Sumbar dari 53.134 peserta yang mengikuti UN dan ribuan lainnya se-Indonesia tak lulus sekolah, menjadi senjata untuk melabrak tataran ranah pendidikan lainnya, yaitu Paket C untuk mengatasi gejolak. Pasalnya Paket C adalah pendidikan kesetaraan bagi seseorang yang tidak pernah menamatkan atau bahkan tak pernah mengenyam bangku SMA.

Kalau sudah begini dan akan terus begini, mending saya tak usah reinkarnasi...Nah, bingungkan? (***)


Read more!
posted by Maryulis Max @ 10:23 AM   7 comments
17 July 2006
tsunami pangandaran

alam kembali murka
hempaskan semua asa
tinggalkan ratap tangis anak bangsa

luka lalu belum lagi terobati
hari ini kami dipaksa menangis lagi
atas kehendak Illahi


Read more!
posted by Maryulis Max @ 10:28 PM   3 comments
11 July 2006
Kalo Bisa Mempeloroti, Ngapa Gak Dilakuin?
Photobucket - Video and Image Hosting

INGAT iklan produk rokok yang berbunyi "kalo gampang, ngapain dibikin susah"? Itulah gambaran sebenarnya tentang pelayanan publik di negeri kita ini. Di sini, pemberi pelayanan lebih cenderung berparadigma "kalo bisa mlorotin, ngapa gak dilakuin?" --walau pun tidak semuanya seperti itu.

Kebiasaan mempeloroti tersebut, bukan lagi rahasia umum. Saya sendiri mengalami hal serupa ini beberapa minggu lalu. Itu terjadi saat harus memperpanjang STNK sepeda motor saya ke Samsat Sumbar.

Dengan membawa uang sedikit lebih --buat jaga-jaga kalo kurang--, saya langsung datangi petugas pelayanannya. Sengaja itu saya lakukan, guna menghindari jasa layanan calo yang biasanya udah mengincar "mangsanya" begitu memasuki halaman Kantor Dispenda Sumbar yang berada di bilangan Jalan Khatib Sulaiman.

Dengan style pede, saya serahkan STNK lama yang akan kadaluarsa. Tanpa banyak cincong, petugas lantas mengoret-ngoret sejumlah angka di kertas buram. Hasilnya, muncul angka Rp 175.000 untuk sepeda motor 4 tak 110 cc milik saya. Kaget juga melihat hasil kalkulasi yang entah darimana hitung-hitungannya itu. Kaget bukan karena tidak sanggup bayar, tapi terkejut lantaran angkanya jauh lebih tinggi dari yang tertera di STNK lama.

Tahu itu, saya coba bernegosiasi. "Kok mahal betul pak?" tanya saya pura-pura bego.

"Memang segitu," jawabnya bodoh.

"Gak bisa kurang lagi?"

"Ya gak bisa, karena saya harus menaikkannya ke atas segitu. Lagian saudara kan tidak bawa BPKB sebagai salah satu persyaratan untuk mengurus perpanjangan STNK" tegasnya dengan bahasa yang sedikit lunak.

Sebenarnya, saya mau saja menjemput BPKB yang ketinggalan di rumah. Tapi mengingat jarak yang akan saya tempuh cukup jauh, akhirnya saya harus mengalah. Terlebih lagi waktu sudah mepet bener, karena masa berlaku STNK saya habis hari itu juga. Kalo terlambat bayar sehari, kudu bayar denda sekian-sekian rupiah.

Duit Rp 170.000 --kurang Rp 5.000 dari yang diminta petugas--, saya keluarkan dari dompet dan menyerahkannya ke yang bersangkutan. Kendati kurang, tetap saja diterimanya. Sembari memberikan kwitansi, dia ngasih tahu STNK bisa diambil sore harinya. Namun lantaran sedang banyak tugas, saya menjanjikan akan mengambilnya keesokan harinya.

Besoknya, STNK baru itu saya terima dari yang bersangkutan. Lembaran pertama yang saya lihat lebih dulu adalah rincian pembayarannya. Ternyata yang tertera hanya Rp 128.500 dengan perincian Rp 106.500 buat PKB dan Rp 22.000 untuk SWDKLLJ. Lha sisa Rp 170.000 yang telah saya bayar, sekitar Rp 41.500 dikemanain?

Begitulah, saya memilih untuk mengikhlaskannya saja. Hitung-hitung sedekah, semoga berkah buat jajan anak istrinya.

Fenomena yang saya alami, pastilah dialami semua orang yang berhadapan dengan pelayanan publik. Kecenderungannya, pemberi pelayanan berprinsip pada motto "kalo bisa mlorotin, ngapa gak dilakuin?". Sedangkan yang diberi pelayanan cuma pengen urusannya gampang dan cepat.

Tapi, tahukah kita, kalo yang terjadi itu bagian dari korupsi? Kendati angkanya tak seberapa, tapi kalo korbannya ratusan, ribuan atau jutaan, seberapa kaya para pelakunya dibanding koruptor lainnya? Kejadian ini akan terus berlanjut, mengingat hingga kini memang belum ada niat dari Kantor Samsat untuk menerakan dengan jelas angka-angka yang harus dibayarkan warga yang ingin mengurus administrasi kendaraannya. Dan sekali lagi, kita harus menerima kenyataan bahwa negeri kita memang seperti ini!!! (***)

 


Read more!
posted by Maryulis Max @ 8:47 PM   6 comments
05 July 2006
Dokter juga Manusia?
Photobucket - Video and Image Hosting

SEBAGAI rumah sakit pemerintah, pelayanan RS Dr M Djamil Padang terus menjadi sorotan. Yang mengemuka tentu saja bentuk ketidakpuasan dari pasien maupun keluarganya atas pelayanan medis yang mereka terima.

Hal serupa juga saya alami seminggu yang lalu. Ketika memeriksakan perih yang menyerang dada kiri saya di Poliklinik Rawat Jalan rumah sakit terbesar Sumatera bagian tengah (Sumbagteng) itu. Sebagai penderita yang tersiksa perihnya sakit yang saya rasakan --dan begitu juga pasien lainnya-- wajar bila menginginkan pemeriksaan yang cepat dan tepat. Tapi apa yang terjadi?

Sedari pukul 07.45 WIB, saya sudah ngantri mengurus administrasi untuk diperiksa di bagian penyakit dalam. Hanya 10 menit rampung, lalu disuruh menunggu di depan ruangan pemeriksaan penyakit dalam. Waktu terus berjalan, pasien lain terus berdatangan.

Hingga pukul 10.00 WIB, dokter yang sedianya bertugas menangani keluhan pasiennya, belum juga menampakkan batang hidungnya. Saya gelisah, pasien lain resah, menunggu dalam ketidakpastian dengan menanggung perih sakit masing-masing.

Baru sekitar 30 menit kemudian, beberapa dokter muda berdatangan. Satu persatu pasien dipanggil, diperiksa lalu diberi resep untuk ditebus di apotik terdekat. Pun demikian dengan saya, ditanyakan keluhan yang terasa, diperiksa, lalu disimpulkanlah penyakit yang saya derita, dituliskan resepnya, selesai. Simpel memang. Tapi di balik itu apa?

Betapa lamanya waktu terbuang percuma hanya menunggu dokter tiba! Bayangan, setiap harinya sedari pagi sudah banyak pasien ngantri untuk mengurus administrasi lalu menunggu di ruang medis yang dituju. Tapi yang didapat adalah proses menunggu dan menunggu. Padahal yang namanya menunggu, adalah pekerjaan yang membosankan. Terlebih menunggu dalam perih yang tak terkirakan.

Yang menjadi pertanyaan, jika jam pelayanan medis ditetapkan pagi hari, kenapa sang dokter justru datang di siang hari. Inilah pertanyaan besar yang sampai saat ini belum didapat jawabannya. Idealnya, dokter telah ada sebelum pasien datang. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi ini jelas mengukuhkan pendapat umum, bahwa dokter itu makhluk istimewa dan sibuknya luar biasa. Pasien harus rela menunggu mereka, yang di saat bersamaan entah apa yang dilakukannya. Bisa jadi sibuk dengan urusan pribadi, atau memang menolong pasien lain di tempat tugasnya yang lain. Entahlah.

Tapi, di situlah naifnya. Dokter-dokter masih diberi kesempatan dan kebebasan untuk nyambi di tempat lain. Umumnya ini terjadi pada dokter RS pemerintah. Mereka bekerja pula di RS swasta. Walhasil pasiennya di RS pemerintah menjadi merana, karena "dokter juga manusia" yang mengejar pitih masuak (pendapatan lebih besar-red) untuk membiayai diri dan keluarganya.

Di sinilah letak masalahnya. Harus ada komitmen dari organisasi kedokteran semacam IDI ataupun pemerintah untuk bikin regulasi baru seputar profesi dokter ini. --Termasuk soal praktek dokter yang katanya, "minggu dan hari besar libur" itu. (Emangnya yang namanya sakit bisa libur juga ya?)

Karena korban telah berjatuhan dari hajat nyambi-menyambiini. Di RS Dr M Djamil sendiri pernah terjadi, demi operasi pasiennya di RS swasta, dokter tega mengundur penanganan medis bagi pasiennya di RS M Djamil.

Itu baru sepenggal contoh. Namun patut menjadi pelajaran. Karena seperti apa yang telah saya alami seminggu lalu itu, saya pribadi punya rencana nggak mau lagi berobat di poliklinik RS tersebut. Mending ke RS swasta --yang notabene dokternya juga dokter RS Dr M Djamil--, kendati harus bayar lebih mahal (dan tidak ditanggung Jamsostek), tapi mendapat pelayanan cepat dan tepat. Bukan tak mungkin, yang punya duit lebih, beralih berobat ke Singapura atau Malaysia yang pelayanan medisnya oke punya. (***)
 


Read more!
posted by Maryulis Max @ 10:41 AM   5 comments
Blog Valdisya
Photobucket - Video and Image Hosting

Singgah ke My Baby Blog Klik disini Ngeliat Foto Disya Klik Ini

Tulisan Sebelumnya
Brankas Arsip
Singkap Blog
Mitra Blog

Free Blogger Templates

BLOGGER

BlogFam Community

Free Shoutbox Technology Pioneer

Photobucket

Image hosting by Photobucket

Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

Linda

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Photobucket

AddThis Social Bookmark Button

Sedang Dibaca

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Lihat koleksi buku saya disini

Asal Pengunjung

Copyright © Kumpulan Tulisan & Pemikiran | Editor - Maryulis Max | Disain : Yonaldi