SELAMA seminggu, pada 27 September-2 Oktober lalu, tim pemantau Adipura yang terdiri dari unsur Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sumatera, Bapedalda Sumbar, akademisi dan pers serta LSM melakukan pemantauan pertama ke sejumlah kota. Sebanyak 13 kota di Sumbar, dipantau secara serentak di sejumlah lokasi titik pantau yang telah ditentukan sesuai dengan kategori masing-masing kota.
Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (1) 13 Kota Dinilai Kebersihannya
ADIPURA merupakan salah satu program nasional di bidang lingkungan hidup, bertujuan mendorong pemerintah daerah (kabupaten/kota) untuk mewujudkan kota bersih dan teduh (clean and green city) dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Program ini di Indonesia sudah diberlakukan sejak 1986 lalu. Namun pada 1997-2001, sempat terhenti akibat adanya krisis multidimensi yang dialami negara ini. Program itu baru digerakkan kembali pada 2002-Juni 2005 dengan perubahan nama menjadi Bangun Praja.
Berdasarkan evaluasi terakhir, penyelenggaraan Bangun Praja tersebut belum banyak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan kualitas lingkungan hidup perkotaan. Kebersihan dan kesehatan lingkungan perkotaan cenderung mengalami penurunan. Karena itu, dalam rangka mendorong kembali peran masing-masing stake holders untuk memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaannya, maka sejalan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia tingkat Nasional pada 5 Juni 2005 lalu, dicanangkan kembali program Adipura dengan berbagai penyempurnaan.
Penyempurnaan itu, di antaranya keikutsertaan kabupaten/kota dalam program ini tak lagi bersifat sukarela, melainkan wajib pantau dan dibina pemerintah pusat dan provinsi masing-masing. Kabupaten/kota yang dipantau, harus memenuhi kriteria memiliki jumlah penduduk minimal 20 ribu jiwa dan terdapat fasilitas perkotaan yang akan dijadikan objek penilaian.
Di Sumatera Barat, untuk Adipura 2005-2006 ini, 13 kota yang dipantau adalah Kota Padang untuk kategori kota besar, Kota Payakumbuh untuk kategori kota sedang, dan 11 kota kecil, yaitu Padangpanjang, Pariaman, Bukittinggi, Lubuk Sikaping, Lubuk Basung, Solok, Sawahlunto, Painan, Muaro Sijunjung, Batusangkar dan Simpang IV. Pemantauan dilakukan pada objek lokasi yang telah ditentukan, meliputi perumahan (perumahan menengah dan sederhana, serta --kalau ada-- perumahan pasang surut), sarana kota (jalan arteri dan kolektor, pasar, pertokoan, perkantoran, sekolah, rumah sakit, Puskesmas, taman kota, hutan kota), sarana transportasi (terminal bus/Angkot, pelabuhan sungai dan terminal penumpang, stasiun kereta api), sarana kebersihan (TPA dan komposting), perairan terbuka (sungai/saluran terbuka/danau/situ) dan pantai wisata. Semua objek lokasi itu, berbeda-beda jumlah titik pantaunya pada masing-masing kota, tergantung pada kategori kota, peserta baru dan lama, serta pernah tidaknya mendapat Adipura.
Dari 13 kota itu, 3 kota di antaranya adalah penerima Adipura 2005, yaitu Kota Padang, Solok, dan Padangpanjang. Praktis titik pantau untuk tiga kota itu bertambah, 80 titik di Kota Padang dan 50 titik di Solok dan Padangpanjang. (bersambung) *Tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 15 Oktober 2005
Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (2) Di Pariaman, Perkantoran Kurang Teduh, Pasar pun Kumuh
SEBANYAK 13 Kota di Sumbar dilakukan pemantauan untuk tahap pertama. Tim pemantau Adipura yang terdiri dari unsur Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera, Bapedalda Sumbar, akademisi dan pers serta LSM memantau dan memberi nilai terhadap titik pantau sesuai dengan fakta dan realita yang ditemukan saat pemantauan. Pemberian nilai, didasari pada kriteria yang berlaku secara nasional dengan standar range penilaian yang juga telah ditentukan.
Di Kota Pariaman, tim pemantau memantau 29 titik pantau. Hasil temuan mereka, beberapa lokasi patut dibenahi dan diperbaiki agar lebih baik dari yang ada kini. Misalnya, untuk perkantoran yang dipantau seperti kantor Bawasda, kantor walikota, BRI dan kantor BKCKB , khusus untuk 3 kantor pertama semuanya kurang teduh karena minimnya pohon peneduh baik dari segi sebaran maupun fungsi. Sudahlah pohon peneduh minim, upaya penghijauan tidak pula maksimal. Khusus balaikota yang merupakan pusat administrasi daerah setempat, belum bisa dijadikan contoh yang baik dalam hal peneduh dan penghijauan ini, karena sebaran dan fungsinya masih kurang.
Yang menarik di perkantoran itu, sebagian besar tidak punya Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS). Yang gawatnya, di samping kantor BKCKB ada TPS liar yang sampahnya menumpuk. Sedangkan BRI, bisa dikatakan cukup baik. Sebenarnya, untuk TPS ini akan mendapat nilai tertinggi apabila kontainernya tertutup dan terawat serta tidak ada sampah yang berserakan di luar kontainer. Tapi dari temuan di hampir seluruh kota di Sumbar, kontainer TPS-nya rata-rata terbuka dan terawat, sehingga hanya layak mendapat nilai sedang.
Lokasi yang patut diperhatikan Pemko Pariaman adalah pasar. Dari dua pasar yang dipantau, Pasar Pariaman dan Pasar Kuraitaji, bisa dikatakan kumuh dan tidak tertata dengan baik. Di Pasar Pariaman, pasar bertumpuk dan berserakan, tempat sampah tidak terawat, kios dan lapak PKL tidak tertata baik, pohon peneduh dan penghijauan tidak pula ada. "Sementara di Pasar Kuraitaji serba kotor. Drainasenya kotor, lapak PKL kotor dan tidak tertata. Mungkin karena tempat sampahnya tidak ada. Mirisnya, WC tidak pula ada di pasar ini," sebut Rina Ariani SE, salah seorang pemantau.
Kondisi yang sama, sebenarnya juga terjadi pada pertokoan di depan terminal Pariaman. Di sana, sampah bertumpuk pada tempat tertentu, tempat sampah kurang, drainase sebagiannya tersumbat oleh sampah dan gulma. Selain itu pohon peneduh dan penghijauan sangat kurang. Di terminal bus AKDP dan Angkot pun seperti itu, termasuk terminal penumpang (ruang tunggu). Di terminal AKDP, meskipun ada kontainer sampah (TPS-red), sampah tetap saja berserakan, drainasenya tersumbat, pohon peneduh dan penghijauan tidak ada. WC pun tak ada. Sementara itu di RSUD Pariaman dan Puskesmas Kuraitaji yang dipantau, tim juga melihat kenyataan bahwa sampah berserakan di sebagian lokasi dan tempat sampat kurang terawat. Bahkan di RSUD, sebagian drainasenya tersumbat, wc bersih tapi kurang terawat dan airnya di sebagian kamar mandi tidak bersih.
Kondisi RSUD itu, sebenarnya lebih mendingan ketimbang SMPN 1 Pariaman. Di sana, wc bau dan kotor, air bersihnya pun kurang. Selain SMPN 1 yang dipantau tim Adipura, sekolah lainnya adalah SD 17, SMA 2, SMA 1, SMK 2 dan SD 29 Kampung Baru. Kecuali SMA 1, hampir sebagian besar WC di sekolah-sekolah itu kotor.
Lokasi-lokasi lain yang dipantau adalah perumahan asrama Polri Kampung Baru yang penghijauannya perlu ditambah dan perumahan Kampung Keling yang sebagian drainasenya tersumbat. Sedangkan untuk jalan, jalan utama atau arteri A Yani dan Sudirman bisa dikatakan bersih, sedangkan di Jalan Syech Burhanuddin masih ditemukan tumpukan sampah di sebagian lokasi dan pohon peneduh masih kurang di Jalan St Syahrir. Sementara untuk jalan kolektor, Jalan Adipura termasuk bersih, sedangkan Jalan M Yamin tidak ada tempat sampah.
Sementara itu, perairan terbuka Batang Air Pampan, masih ditemukan sedikit sampah oleh tim pemantau. Sedangkan untuk lokasi pantai wisata, Pantai Cermin termasuk sudah bagus. Pantai itu, sebaran dan fungsi pohon peneduhnya sudah baik, lokasi pantai cukup bersih walaupun tempat sampah tidak ada.
Yang paling jelek adalah ketika tim memantau Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tiram-Tapakis. Jalan masuk jelek, lokasi hanya sedikit dipagar --harusnya dipagar seluruhnya--, drainase jelek, ada genangan lindi. Sudahlah begitu, pengolahan sampah dan sumur pantau di TPA itu tidak pula ada.
Dengan fakta riil itu, sudah semestinya Pemko Pariaman segera melakukan langkah cepat dan tepat untuk memperbaiki kondisi yang masih kurang dan meningkatkan yang telah baik. Dengan begitu niat untuk menjadikan Kota Pariaman sebagai kota bersih bisa terwujud dan Adipura bisa digenggam. (bersambung) * tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 17 Oktober 2005
Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (3) Di Lubuk Basung, WC Sekolah Banyak yang Bau
SEANDAINYA saja masyarakat tahu, dalam melakukan pemantauan tim Adipura selalu keluar masuk WC, terutama di sekolah-sekolah, pasar, rumah sakit, Puskesmas, taman kota, dan terminal. Tujuannya, tentu saja mau melihat apakah tempat buang hajat itu bersih, terawat dan air bersihnya cukup tersedia atau tidak. Tapi yang paling banyak ditemukan adalah WC-nya bau dan kotor.
Di Kota Lubuk Basung, tim Adipura memantau 8 sekolah dari berbagai tingkatan yang ada di kota itu. Yaitu STIKES Ceria Buana, SD Inpres 63, SMA 2, SMP 4, SMP 1, SMA 1, SD 01 dan SD 13 Sangkir. Dari 8 sekolah itu, hampi sebagian besar WC-nya bau. Meskipun bersih, tapi fisik bangunannya kurang terawat. Yang bisa dikatakan cukup baik adalah SMP 1 dan SD Inpres 63. Cuma sayangnya di SD itu, meski WC-nya cukup baik, tapi kurang terawat.
Soal sampah, di semua sekolah tersebut ditemukan sedikit sampah, namun begitu nilainya bisa dikategorikan baik dengan range penilaian 71-85. Yang bisa dikatakan sangat bersih --ketika itu-- adalah SMA 1 dan SD Inpres 63.
Sedikit sampah, juga ditemukan pada lokasi titik pantau lain seperti perumahan Talago, kantor bupati Agam, terminal penumpang, RSUD Lubuk Basung, perairan terbuka Batang Antokan, dan taman kota. Sedangkan lokasi yang sampahnya ditemukan menumpuk pada tempat tertentu dan bahkan berserakan adalah perumahan Cendana Jalan Kartini dan pertokoan Jalan Tujuh Suku yang sampahnya berserakan di luar kontainer, Pasar Inpres yang sampahnya berserakan hampir di seluruh lokasi pasar, Pasar Lubuk Basung yang sampahnya bertumpuk pada tempat tertentu, di terminal bus Pasar Lubuk Basung Lama sampahnya juga berserakan, dan di Puskesmas Lubuk Basung Jalan Rasuna Said sampahnya bertumpuk pada tempat tertentu.
"Sementara yang bisa dikatakan bersih dari sampah adalah komplek Polri, jalan arteri seperti Jl Soekarno Hatta, Sudirman, Gajahmada dan jalan kolektor seperti Jl A Yani dan Piliang Limo, kantor Dinas Parsenibud, dan Mapolres Agam," ungkap Rina Ariani SE, seorang anggota tim Adipura yang memantau Kota Lubuk Basung.
Untuk lokasi pasar, Pasar Inpres dan Pasar Lubuk Basung, pohon peneduh dan penghijauan tidak ada. Kondisi ini, sebenarnya juga ditemukan hampir seluruh pasar di Sumbar bahkan di Indonesia. Kalau pun ada penghijauan, paling hanya sebatas menanam bunga dalam pot. Di dua pasar itu, tempat sampah tidak terawat dan jumlahnya kurang, drainase sebagian tersumbat. Di komplek pertokoan Jalan Tujuh Suku juga tidak ada pohon peneduh dan penghijauan. Berbeda dengan pertokoan di Pasar Lubuk Basung, meski tidak ada pohon peneduh, tapi disana ada penghijauan di seperempat lokasi.
Pohon peneduh juga tidak ada di perumahan Cendana --namun ada penghijauan di sebagian lokasi--, di Jalan Gajahmada, Jalan A Yani, di terminal bus Pasar Lubuk Basung Lama dan terminal penumpang. Sementara di Mapolres Agam, kantor bupati Agam, SMP 4, SMA 1 dan Puskesmas Lubuk Basung, pohon peneduh sebarannya hanya ada di seperempat lokasi. Sementara fungsi peneduhnya, tergantung rindang atau tidaknya pohon itu. Semakin rindang, maka nilainya akan baik, tapi bila tidak memenuhi fungsi sebagai peneduh, maka nilainya sangat jelek. Sedangkan lokasi yang sebagian arealnya dipenuhi pohon peneduh adalah Jalan Soekarno Hatta, Jl Sudirman, Jl Piliang Limo, kantor Dinas Parsenibud, STIKES Ceria Buana, SD Inpres 63, SMA 2, SD 01, dan SD 13 Sangkir.
Sementara penilaian terhadap TPA di daerah ini, jalan masuknya tidak rata, pos jaga tidak berfungsi dan tidak terawat, TPA tidak berpagar, penanganan gas tidak ada,dan cara penutupan jelek. Namun begitu, alat berat beroperasi efektif di TPA itu, ada pencatatan sampah, truk sampah terbuka dan terawat, dan drainase bagus sehingga lindi tidak berserakan.
Dari hasil pantauan itu, Pemkab Agam tentu sudah tahu kira-kira apa saja yang patut dibenahi dan ditingkatkan lagi kalau sudah baik. Soal detilnya, bakal ada rekomendasi dan saran dari Kementerian Lingkungan Hidup pasca pemantauan I ini. (bersambung) * tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 20 Oktober 2005
Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (4) Lubuk Sikaping Bersih, Simpang Ampek Kumuh
MESKI dulu tergabung dalam satu kabupaten yang sama, kondisi Kota Lubuk Sikaping dan Kota Simpang Ampek pasca pemekaran jelas berbeda. Lubuk Sikaping sebagai ibukota Kabupaten Pasaman ternyata jauh lebih bersih ketimbang Simpang Ampek yang dijadikan sebagai ibukota Kabupaten Pasaman Barat.
Kondisi berbeda ini, mungkin bisa dimaklumi sebagian orang dengan pertimbangan bahwa Simpang Ampek adalah "kota baru" yang masih dalam pembenahan dan pengembangan. Tapi itu bukanlah alasan, justru dengan status "kota baru" itu, Simpang Ampek sebenarnya sudah bisa mulai dari kini untuk membangun konsep kota clean and green city (kota bersih dan teduh) dan menyusun dengan baik dan benar RTRW yang berpijak pada pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan.
Di Simpang Ampek, sampah masih berserakan di sejumlah tempat, mulai dari perumahan, jalan, pasar, perkantoran, sekolah, dan terminal. Dari pantauan tim Adipura, di perumahan Pasaman Permai, sampahnya bertumpuk pada tempat tertentu, pohon peneduh minim, penghijauan lumayan, drainase ada sebagian yang tersumbat, TPS tidak ada sehingga sampah berserakan di lokasi pembuangan. Kondisi lebih baik, justru ada pada perumahan Polri Pasaman. Namun begitu, di Aspol ini pohon peneduhnya masih kurang dan TPS-nya walaupun tertutup, tapi tidak terawat. Sehingga mengurangi nilai.
Di ruas Jalan Simpang Ampek-Sasak, Jalan KH Dewantara dan Jalan Simpang Ampek Talu-Kampung Pasir, sampah ditemukan berserakan. Kecuali di Jalan Aur Kuning Suka Menanti. Di jalan-jalan itu, pohon peneduh masih minim dan drainasenya sebagian tersumbat.
Kekumuhan yang paling nyata di Simpang Ampek bisa dilihat di Pasar Simpang Ampek dan Pasar Padang Tujuah. Di kedua pasar itu, sampah berserakan, pohon peneduh dan penghijauan tidak ada, tempat sampah kurang dan tidak terawat, sebagian drainase tersumbat, TPS tidak ada, WC pun juga tidak. Disamping itu, PKL tidak tertata dengan baik, sampah yang mereka "produksi" berserakan lantaran memang tidak adanya tempat sampah yang disediakan.
Di Simpang Ampek ini, lokasi lain yang patut dibenahi lagi adalah kantor bupati yang sampahnya bertumpuk pada tempat tertentu karena tidak adanya TPS. Di SD 26, SMP 1 dan SD 16 yang sampahnya berserakan dan bertumpuk pada tempat tertentu, WC bau dan kotor, serta pohon peneduh kurang. Demikian juga dengan terminalnya yang masih jauh dari ideal karena kurangnya sarana dan prasarana. Contohnya, TPS di terminal itu tidak ada sehingga sampah berserakan, drainase tersumbat sampah dan pohon peneduhnya tidak pula ada.
Mungkin yang bisa dikatakan lumayan baik dari beberapa lokasi titik pantau di Simpang Ampek adalah Jalan Aur Kuning Suka Menanti, Mapolres Pasaman Barat, kantor Bappeda, SMU 1, STIT YAPTIP, SD El Maarif, RSU Yarsi, Puskesmas Suka Menanti, RSUD Simpang Manggopoh Jambak, Batang Haluan dan Batang Toman. Namun begitu, lokasi itu tetap saja harus ditingkatkan lagi kebersihannya sesuai dengan kriteria yang ditentukan.
Sementara itu di Lubuk Sikaping, yang patut dibenahi adalah Pasar Lama dan Pasar Benteng serta terminal Benteng yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan pasar dan terminal di Simpang Ampek. SDN 010, sampahnya berserakan, minim pohon peneduh dan penghijauan, tempat sampah kurang dan tidak terawat, serta WC-nya bau dan kotor sekali. Penghijauan dan pohon peneduh patut ditingkatkan di TK Kemala Bhayangkari, STAI, kantor DPRD dan kantor bupati, Auditorium. RSUD Lubuk Sikaping harus serius melakukan pemisahan limbah domestik dan limbah medis. (bersambung) * tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 21 Oktober 2005
Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (5) Kota Sawahlunto Lebih Baik Dari Kota Solok
INI adalah peringatan bagi Pemko Solok. Jangan pernah puas dengan Adipura yang diraih pada Juni 2005 lalu. Karena, dibanding Kota Sawahlunto, Kota Solok sudah mulai tertinggal dalam beberapa kriteria penilaian yang ditentukan. Jika tidak segera berbenah, jangan pernah berharap untuk dapat mempertahankan Adipura. Ingat, Kota Sawahlunto merupakan penerima penghargaan Kota Bersih Sumbar, sedang Solok lebih dinaungi dewi fortuna (keberuntungan-red) dalam mendapat Adipura.
Dari beberapa titik pantau yang ditentukan, kebersihan, keteduhan, kerapian, pengelolaan lingkungan hidup, ketersediaan sarana dan prasarana yang ada di Kota Sawahlunto bisa dikatakan "di atas angin" dibanding Solok. Namun bukan berarti Solok tidak mungkin mengejar ketertinggalannya, karena secara umum di kota itu pun sudah cukup baik, cuma saja mungkin intensitas dan kualitas harus terus diperbaiki.
Perbandingan pertama yang bisa dilihat adalah titik pantau berupa jalan arteri dan jalan kolektor. Di jalan arteri Sawahlunto seperti Jalan Sudirman, Jalan A Yani, Jalan Soekarno Hatta nilainya sangat baik dibanding jalan arteri di Solok seperti Jalan Sudirman, Jalan A Yani, Jalan St Pamuncak, Jalan KH Ahmad Dahlan. Dua jalan pertama, masih kurang dari segi penghijauan dan pohon peneduh. Sementara Jalan ST Pamuncak, drainasenya sedikit tersumbat.
Begitu juga untuk titik pantau berupa jalan kolektor. Di Sawahlunto, Jalan Yos Sudarso dan Jalan Kampung Teleng jauh lebih baik dibanding Jalan Tembok Raya, Jalan Dt Perpatih, Jalan Proklamasi dan Jalan Bahar Amad yang ada di Solok. Baik itu penghijauannya, maupun kondisi drainasenya.
Untuk perumahan, di perumahan Lembah Sanur, komplek PLN dan komplek Tanah Lapang di Sawahlunto, juga bisa dikatakan lebih baik ketimbang perumahan Pemda, komplek PLN dan komplek Nusa Indah di Solok. Perumahan di Solok, perlu ditambah lagi penghijauannya, TPS, dan perbaikan drainase.
"Kalau pasarnya, Pasar Sawahlunto dan Silungkang juga sedikit lebih baik dibanding Pasar Raya Solok. Namun untuk pertokoan di Sawahlunto, seperti di pertokoan Pasar Remaja dan Pasar Keling sebenarnya tidak jauh beda dengan pertokoan di Jalan Dt Perpatih, Jalan St Pamuncak, Jalan By Pass, dan Jalan KH Ahmad Dahlan di Kota Solok. Di dua daerah itu, harus digalakkan lagi penghijauan dan pembenahan drainase serta ketersediaan tempat sampah," ungkap Noveri SE, salah seorang tim penilai Adipura.
Di Solok yang patut dibanggakan adalah kondisi perkantorannya, seperti balaikota, kantor PBB, dan BRI yang bisa dikatakan cukup baik ketimbang kantor Dinas Lingkungan Hidup Sawahlunto dan selevel dengan kantor TBA-UPO serta nyaris menyamai kebersihan dan keteduhan balaikota Sawahlunto. Dan yang paling patut diacungi jempol adalah TPA Pulau Belibis yang cukup baik dibanding daerah lain, apalagi dibanding TPA di Sawahlunto yang bisa dikatakan belum layak.
Tapi untuk persekolahan, sekolah-sekolah di Sawahlunto jauh lebik baik. Sekolah yang dipantau ketika itu adalah SD 03, SD 23 Kolok, SD 03 Aur Tajungkang, SMP 1, SMP 2, SMA 1 dan SMK 1 yang pada umumnya sangat bagus meski ada beberapa WC-nya yang sedang dalam perbaikan. Berbeda dengan di Solok, sekolah yang bisa dikatakan cukup baik adalah SD 14 Laing dan SMK 1. Sementara di SD 02 Aur Mati TPS-nya tidak permanen, SD 17 dan STAI penghijauannya kurang, SMP 1 WC-nya bau dan rusak, SMP 2 drainase agak tersumbat serta UMMY WC-nya tidak layak pakai.
Dibanding dua kota itu, mungkin Kota Muaro Sijunjung belum ada apa-apanya. Namun begitu, terlihat juga keseriusan pemerintah daerah setempat untuk mulai serius menggarap kebersihan, keteduhan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik. Dari temuan tim Adipura, perumahan di Muaro Sijunjung seperti asrama Polri dan Perumnas tidak mempunyai TPS, sedangkan perumahan Pemda drainasenya sebagian tersumbat. Kawasan Pasar Sijunjung juga masih jauh dari baik. Dimana TPS-nya tidak memadai, WC umum bau dan tidakk layak pakai, lapak PKL tidak teratur, sampah berserakan.
Sejumlah lokasi yang juga tidak mempunyai TPS adalah kantor Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, SMP 14 Sijunjung, dan terminal Angkot. Sementara TPA-nya yang ada di jalan lintas Sumatera belum bisa dikatakan sebagai TPA karena belum ada sistem pengelolaan sampah di lokasi itu.
Hal lain yang patut dibenahi adalah penghijauan di Jalan Sudirman dan di kantor Dinas Transmigrasi serta di terminal, drainase di Jalan M Syafei, dan WC SMA 1 Muaro yang kurang terawat. (bersambung) * tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 22 Oktober 2005
Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (6) Padang Panjang Pantas Dapat Adipura
PADA Juni 2005 lalu, Kota Padang Panjang adalah salah satu penerima piala Adipura untuk kategori kota kecil terbersih. Jika melihat realitas lapangan, kota ini memang pantas menerimanya. Karena selain bersih dan teduh, kota ini bisa dikatakan cukup serius dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Tapi apakah kota ini bakal mendapat Adipura pada 2006 mendatang, tidak ada yang tahu. Karena selain banyak kota-kota lain di Indonesia yang juga kepincut dan berupaya sebisanya mendapatkan Adipura, Padang Panjang juga punya beban berat. Pasalnya, sebagai kota penerima Adipura, lokasi titik pantau di Padang Panjang menjadi bertambah 50 lokasi dari sebelumnya hanya sekitar 30-an titik pantau. Itu artinya, pemerintah setempat harus mulai menangani kebersihan dan kehijauan kotanya di seluruh kawasan, tanpa lagi membedakan daerah pusat kota dan pinggiran kota. Semua kawasan harus bersih dan hijau secara merata serta mendapat sarana dan prasarana kebersihan yang layak dari sebelumnya.
Dari pemantauan Adipura tahap I yang baru lalu, memang masih banyak "PR" yang harus dikerjakan Pemko Padang Panjang. Yang paling mencolok adalah kawasan Pasar Baru. Pasar ini dalam hal kebersihan, dinilai sedang. Di sana tidak mempunyai pohon peneduh dan penghijauan, kios/lapak pedagang tidak tertata, semrawut dan kotor. Sebagian besar drainase tersumbat. Sudahlah begitu, WC umumnya kotor, bau dan tidak tersedia air bersih.
"Yang cukup baik di kawasan pasar ini adalah PKL-nya tertata dengan baik, tidak mengganggu lalu lintas. Mereka terlihat bersih dan mempunyai tempat sampah dengan jumlah yang mencukupi meski kurang terawat. Untuk menangani sampah pasar, terdapat TPS yang tidak tertutup tapi cukup terawat," sebut Fiman Abdullah SH MSi, salah seorang pemantau.
Di kawasan perniagaan/ pertokoan yang dipantau, di antaranya pertokoan Imam Bonjol, Khatib Sulaiman, M Syafei, Abdul Muis, dan M Yamin, hampir semuanya tidak memiliki pohon peneduh dan penghijauan. Saluran drainasenya pada umumnya tertutup, namun drainase di pertokoan M Yamin ternyata sampahnya menumpuk meski tidak menyumbat. Selain itu yang patut dibenahi adalah kondisi perairan terbuka. Di Sungai Parit Rumpang dan Batang Bakarek-karek pada badan airnya masih terlihat sampah bertumpuk pada tempat tertentu. Sedangkan pada bantaran sungai terdapat ruang terbuka hijau yang didominasi tanaman perdu dan juga "diwarnai" dengan tumpukan sampah.
Di kawasan perkantoran, dari tiga lokasi yang dinilai yaitu kantor Dinas LH, BRI dan balaikota, hanya Dinas LH yang diberi nilai kurang. Pasalnya di kantor itu sempat ditemukan sampah yang bertumpuk pada tempat tertentu, pohon peneduh hanya ada di setengah lokasi dan belum memenuhi fungsi sebagai pohon peneduh. Di drainasenya, terdapat sampah yang bertumpuk di sebagian kecil selokan dan menyumbat.
Sementara untuk kawasan terminal, seperti kawasan Terminal Pasar Baru, Terminal AKAP, dan Terminal Kantin yang patut dibenahi adalah TPS, drainase, pohon peneduh dan penghijauan.
Hal serupa juga ditemukan di beberapa jalan kolektor seperti Jalan Perintis Kemerdekaan, Ahmad Dahlan, Hamid Hakim, Bahder Johan dan Agus Salim. Meski secara umum kawasan ini kebersihannya sangat baik, fisik trotoar tertata dengan baik --meski ada yang tidak menggunakan paving block--, tidak semua lokasi terdapat pohon peneduh, di beberapa lokasi ada gulma/sampah yang "mengisi" selokan. Bahkan di Jalan Agus Salim, sampah bertumpuk di sebagian drainase dan menyumbat.
Sementara untuk titik pantau lainnya, Padang Panjang bisa dikatakan lebih dari cukup penilaiannya. Perumahan di Silaing Bawah, komplek Meterologi, komplek Koto Panjang, Guguak Malintang dan Bukit Teduh, bisa dikatakan sangat baik. Jalan Arteri seperti Jalan Sudirman, Soekarbo Hatta, St Syahrir juga baik.
Kawasan pendidikan yang dipantau di antaranya SMUN 1, SDN 012, SDN 018 Silaing, SMK 1, SD 08, SMP2, SMA 2, STSI, TK Bhayangkari, juga bisa dikatakan baik. Kecuali di SMP 2 yang WC-nya bau dan kotor. Sebagian besar sekolah-sekolah itu diberi nilai sedang untuk sarana TPS, karena kontainernya terbuka.
Yang paling baik di Kota Padang Panjang dibanding daerah lain adalah TPA-nya. TPA di Sungai Andok itu, didukung jalan masuk yang rata dilengkapi dengan drainase dan sedikit pohon peneduh, terdapat pos jaga dan ada petugas yang mencatat masuknya sampah, pagar di sebagian besar lahan, garasi alat berat dan sarana pencucian, alat berat yang beroperasi dengan baik, tidak terdapat tetesan lindi dan sedikit berbau. Namun begitu, TPA ini tidak memiliki sumur pantau dan penanganan gas.
"Kondisi lingkungan TPA sangat baik, karena tidak ada lalat dan asap. Sampah terbuka kurang dari 40% lahan pembuangan dan ada pohon pelindungnya. Operasional TPA-nya berjalan baik, dimana ada pengaturan zona, blok dan sel. Sampah ditimbun pada sel yang benar disertai dengan perataan dan penutupan dengan tanah," kata DR Irsan Ryanto H, anggota pemantau Adipura lainnya.
Hal yang baik lainnya adalah adanya usaha pengomposan di daerah ini. Seperti di perumahan Meterologi, pengomposan kelompok Aster Kuba, dan RPH. Bahkan pengomposan yang dilakukan RPH dinilai sangat baik karena beroperasi rutin dan memiliki pangsa pasar yang luas. (bersambung) * tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 26 Oktober 2005
Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (7) TPA Bukittinggi Merusak Lingkungan dan Kurangi Nilai
DARI sekian banyak TPA di Sumbar, mungkin TPA milik Kota Bukittinggi di kawasan Panorama II yang paling jelek dan teramat sangat disayangkan keberadaannya. Pasalnya lokasi itu adalah kawasan wisata yang merupakan daerah patahan dan catchment area (daerah resapan air) dengan kemiringan 90 derajat yang sebenarnya patut dilindungi dan dilestarikan. Tapi oleh Pemko Bukittinggi, sampah dibuang begitu saja ke dalam jurang.
Pernah melihat orang membuang sampah ke sungai? Seperti itulah pola yang dilakukan Pemko Bukittinggi dalam membuang sampah ke TPA Panorama Baru itu. Dari daerah ketinggian sampah dijatuhkan ke dalam jurang ngarai. Bisa dibayangkan, sebelum mendarat, sampah-sampah ringan beterbangan dan lalu "hinggap" di lokasi yang tidak semestinya. Sementara yang mendarat tepat di sasaran, semakin lama semakin menumpuk (karena tidak ada dilakukan perataan sebagaimana dilakukan di TPA lain).
Lama kelamaan, tumpukan sampah ini menjadi polutan (pencemar) terbesar air bawah tanah. Tragisnya, di ngarai tersebut banyak mata air dan anak sungai yang mengalir terus ke hilir dengan membawa "cemaran" dari sampah itu.
Sementara dari sisi penilaian Adipura, kondisi TPA serba tak layak ini, membikin penilaian untuk seluruh kriteria di Kota Bukittinggi menjadi down (turun-red). Karena poin penilaian untuk TPA ini yang paling tinggi dan mempengaruhi nilai lain. Hampir seluruh kriteria untuk TPA dinilai sangat jelek oleh tim dengan range nilai 30-45. Seperti tidak adanya pagar TPA --wajar, karena memang Panorama II itu sebenarnya bukanlah TPA--, tidak ada alat berat dan garasinya, tidak ada drainase, tidak ada lindi yang keluar karena langsung meresap ke dalam tanah, tidak tersedia sumur pantau/monitoring, tidak ada fasilitas penanganan gas metan, banyak lalat, ada asap, sampah terbuka di seluruh permukaan lahan pembuangan, tidak ada pengaturan lahan atas zona, blok dan sel, pembuangan sampah di sembarang tempat, dan sebagainya. "Dari segi penempatan lokasi, maka TPA di lokasi ini sangat tidak direkomendasikan berada di daerah ini," ujar Firman Abdullah SH MSi, seorang pemantau Adipura menanggapi kondisi TPA itu.
Sebenarnya, ada alternatif bagi Pemko Bukittinggi untuk membuka lahan TPA baru di kawasan lain. Caranya, sebut Kabid Pemulihan Lingkungan Bapedalda Sumbar, Ir Nasaruddin, melakukan kerjasama dengan Pemkab Agam untuk membangun TPA bersama di daerah perbatasan di kedua daerah. Misalnya, di daerah Baso dan tempat lain yang dianggap layak untuk itu. Kalau TPA Panorama II tetap saja dipertahankan, berarti Pemko Bukittinggi membiarkan terjadinya pencemaran dan malah ikut mencemari lingkungan.
Kalau saja kondisi TPA di Bukittinggi tidak seperti ini, bukan tidak mungkin kota wisata ini mendapat Adipura. Pasalnya untuk lokasi titik pantau lainnya di kota itu, bisa dikatakan sudah bagus, bersih dan teduh. Mulai dari kawasan perumahannya, jalan arteri dan kolektor, perkantoran, kawasan pendidikan, rumah sakit dan Puskesmas, dan bahkan pasar sekalipun bisa dikatakan baik.
Paling yang perlu dilakukan pembenahan adalah WC pasar, penanganan sampah pasar, ketersediaan TPS di Pasar Bawah, sampah di Batang Agam dan Batang Tambuo, penghijauan kawasan pertokoan, serta memperhatikan kondisi fisik SMP 3 dan SMP 4 yang sangat memprihatinkan, baik dari segi bangunan maupun lingkungannya.
Berbeda dengan Bukittinggi yang masuk sebagai kategori kota kecil, kondisi Kota Payakumbuh sebagai kota sedang sebenarnya tidak jauh beda dengan kota wisata itu. Cuma, Payakumbuh mungkin lebih beruntung punya TPA Kubu Gadang. TPA itu memang lebih baik, tapi tetap saja butuh perbaikan dan pembenahan serta peningkatan sarana dan prasarana.
Sementara untuk lokasi titik pantau lainnya seperti perumahan, jalan arteri dan jalan kolektor, kawasan perniagaan, perkantoran, kawasan pendidikan, rumah sakit dan Puskesmas bisa dikatakan sudah cukup baik. Tinggal lagi membenahi kawasan pasar, terminal dan perairan terbuka serta TPA. (bersambung) * tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 27 Oktober 2005
Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (8) Pasar, Masalah Pelik Kota Padang
HAMPIR seluruh daerah di Sumbar, persoalan penataan pasar menjadi masalah pelik yang sepertinya sangat sulit untuk ditata. Demikian pula di Padang yang memiliki 16 pasar satelit dengan kondisi kebersihan, keteduhan, dan ketersediaan sarana dan prasarananya yang sangat minim. Walhasil, kondisi ini menjadi catatan penting dan poin rekomendasi untuk segera dibenahi.
Pada pemantauan Adipura tahap I di Kota Padang, sedikitnya 12 pasar dijadikan lokasi titik pantau untuk dinilai Tim Adipura. Umumnya, pasar-pasar itu --Pasar Ulakkarang, Tanah Kongsi, Alai, Tabing, Lubuk Buaya, Siteba, Belimbing, Simpang Haru, Bandar Buat, Gaung, Pasar Raya dan pasar pagi Purus-- kondisinya sangat semrawut. "Semua pasar yang ditinjau oleh tim, ternyata tidak ada yang ditanami dengan pohon peneduh. Kecuali hanya ada penghijauan pada sebagian Pasar Raya berupa tanaman hias dalam pot yang merupakan partisipasi dari beberapa sponsor," sebut Erdi Janur SH, salah seorang pemantau Adipura.
Tidak hanya itu, katanya, drainase pasar pada umumnya tersumbat. Sehingga pada musim hujan terjadi luapan air dari drainase tersebut yang sangat kotor sekali dan mengeluarkan bau yang menyengat. Sementara pada Pasar Pagi Purus (Raden Saleh), Pasar Simpang Tabing, Pasar Belimbing tidak memiliki drainase yang representatif. Khusus drainase bagian atas pada pasar Inpres Pasar Raya Padang juga tersumbat di bagian los ikan, ayam dan daging.
Selain itu kebersihan WC untuk semua pasar perlu mendapatkan perhatian yang serius. Malah ada pasar yang sama sekali tidak memiliki WC, seperti Pasar Pagi Purus dan Pasar Simpang Tabing.
Di semua pasar, TPS tidak berfungsi efektif, karena masih banyak sampah yang berserakan di dekat kontainer sampah tersebut. Sementara di Pasar Pagi, Pasar Tabing, dan Pasar Belimbing, lokasi kontainernya sangat jauh dari lokasi pasar. "Disarankan kepada Dinas Pasar untuk dapat menyediakan kontainer sampah yang tertutup, karena bobot nilainya dalam penilaian Adipura sangat tinggi," kata Erdi lagi.
Di pasar-pasar itu, juga ditemukan masih kurangnya tong sampah atau karung untuk menampung sampah di toko dan lapak pedagang. Selain itu, sebagian besar lapak PKL tidak tertata rapi dan tidak pengelompokkan pedagang berdasarkan jenis dagangannya. PKL juga disorot keberadaannya oleh tim Adipura di kawasan pertokoan yang ada di Kota Padang. Terutama di kawasan Hiligoo, Permindo dan M Yamin. Kawasan pertokoan itu, sampah juga berserakan, parkir semrawut, pohon peneduh dan penghijauan minus sekali.
Sementara untuk titik pantau jalan arteri, Jalan Khatib Sulaiman, Juanda, Rasuna Said, Sudirman, dan Hamka, tingkat kebersihannya bisa dikatakan baik, kecuali pada bagian tertentu seperti halte-halte yang sampahnya berserakan lantaran tidak tersedianya tempat sampah di lokasi itu. Fungsi dan sebaran pohon peneduh di Jalan Hamka dan Juanda masig sangat kurang dibanding jalan arteri lainnya. Trotoarnya pun tidak nyaman bagi pejalan kaki, termasuk di Jalan Sudirman.
Sedangkan jalan kolektor seperti Jalan Raden Saleh, Ujung Gurun, A Yani, Agus Salim, Sisingamangaraja dan Proklamasi, umumnya drainasenya terumbat oleh sampah dan sedimentasi. Selin itu, lapak PKL-nya patut ditata lagi agar tidak mengganggu pejalan kaki.
Untuk kawasan pendidikan, tim Adipura memantau lokasi Univ. Andalas (Unand), Univ. Bung Hatta (UBH), Univ. Putra Indonesia (UPI), SMAN 2, SMKN 6, SMP 1, SMPN 8, SD 05 Jaruai, SD 13 Surau Gadang, SD 22 Ujung Gurun, SD 35 Cendana Mata Air, dan SD Kartika I. Yang paling disorot adalah kebersihan WC dan ketersediaan air bersih di SD 05 Jaruai, SD 35 Cendana Mata Air, dan SD Kartika I yang drainasenya juga bermasalah. Untuk lingkungan pendidikan SD, tim Adipura menyarankan agar penghijauan digalakkan lagi mengingat minimnya pohon peneduh di lokasi itu.
Sebenarnya masih banyak lagi, rekomendasi-rekomendasi perbaikan yang patut dilakukan Kota Padang --dan juga kota-kota peserta Adipura di Sumbar--. Rekomendasi selengkapnya akan dilayangkan Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pedoman perbaikan menghadapi pemantauan Adipura tahap II pada triwulan pertama 2006 mendatang. (bersambung) * tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 28 Oktober 2005
Dari Pemantauan I Adipura di Sumbar (9/habis) Painan dan Batusangkar Harus Berbenah
KOTA Painan dan Kota Batusangkar sebagai ibukota Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Tanah Datar, harus lebih giat lagi untuk menciptakan kota bersih, sehat dan teduh. Karena dari beberapa titik pantau yang dinilai Tim Adipura, masih banyak yang patut dibenahi.
Hampir separuh lokasi pemantauan di dua kota itu, masih ditemukan kekurangannya. Seperti lokasi pantau jalan arteri di Kota Painan, yaitu Jalan Ilyas Yacub dan Jalan Sudirman serta jalan kolektor seperti Jl MHD Hatta, Jl St Syahrir, Jl Abdul Muis, dan Jl H Agus Salim umumnya drainasenya bermasalah. Meski drainase itu tertutup, begitu dibuka ternyata sedimentasi sudah cukup tinggi sehingga menyumbat aliran. Disamping itu, keteduhannya pun masih kurang. Sementara di Batusangkar, Jalan Hamka, A Yani dan Bagagar Alamsyah serta jalan kolektor seperti Jl Pierre Tandean, Sutoyo dan M T Haryono, bisa dikatakan lebih teduh dibanding jalan di Painan. Cuma saja, trotoarnya masih patut dibenahi karena tidak dilengkapi marka dan belum memberi kenyamanan bagi pejalan kaki.
Untuk kawasan pasar, Pasar Harian Painan dan Pasar Sago di Kota Painan, serta Pasar Batusangkar, kondisinya sama. Cuma Batusangkar sedikit lebih baik lantaran drainasenya hanya sedikit yang tersumbat, WC umum bersih, dan lingkungan sedikit teduh dengan adanya beberapa pohon peneduh. Sedangkan untuk kawasan pertokoan di Kota Painan seperti di Jalan St Syahrir, Jl Sudirman, pertokoan Terminal Sago, sebenarnya tidak jauh beda dengan pertokoan Jl Soekarno Hatta dan Jl Pertiwi di Kota Batusangkar yang minus tempat sampah dan penghijauan.
Sementara kawasan pendidikan, di Kota Painan dipantau SMAN 2, SMK 1, SMK Kelautan, SMPN 2 Salido, SDN 08, SDN 23. Ternyata dibanding sekolah-sekolah di Batusangkar, seperti TK Pertiwi, SDN 06, SDN 08, SMP 2, SMP 3, SMAN 1 dan STAIN, kondisi lingkungan pendidikan di Painan jauh lebih buruk. Umumnya kebersihan WC dan ketersediaan sekolah disana masih rendah. Demikian pula dengan kondisi drainase dan pohon peneduh serta upaya penghijauan yang juga masih kalah dibanding di Batusangkar. Namun untuk rumah sakit, RS M Zein Painan jauh lebih baik ketimbang RS Hanafiah Batusangkar. Di RS Batusangkar, sampah medis masih bercampur dengan sampah domestik, TPS tidak terawat, pohon peneduh dan penghijauan masih kurang. Puskesmas Salido di Painan juga jauh lebih baik dibanding Puskesmas Limo Kaum dan Puskesmas Tanjung Ameh di Batusangkar.
Tapi untuk taman kota, di Batusangkar Taman Cindua Mato dan Istana Pagaruyuang jauh lebih baik ketimbang Taman Lapangan Tenis di Painan. Wajar, karena di Batusangkar dua taman itu adalah lokasi kunjungan wisata.
Sedangkan untuk kawasan terminal, di Batusangkar terminal Angkot dan terminal AKDP Piliang kondisinya sama saja dengan terminal Angkot dan Terminal Salido di Painan. Mulai dari kondisi sampahnya yang berserakan, penghijauan yang kurang, penataan PKL kurang dan sebagainya.
Sementara untuk perairan terbuka di Batusangkar seperti Sungai Sigarungguang, anak Sungai Jati, Batang Selo kondisinya tidak lebih baik dari perairan terbuka di Kota Painan. Karena di perairan terbuka di Batusangkar itu banyak ditemukan sampah dan sepanjang bantarannya didominasi perdu dan ada juga perumahan penduduk. Sedangkan Batang Painan dan Batang Salido, badan airnya cukup bersih dan bantaran sungainya ditumbuhi pohon yang dapat berfungsi untuk menahan arus degradasi sungai. Untuk TPA, Batusangkar harus segera melakukan relokasi. TPA Rambatan sudah sebaiknya dialihkan di lokasi Ladang Laweh sebagaimana direncanakan beberapa tahun ini. Pasalnya, TPA Rambatan bisa dikatakan tidak layak lagi sebagai TPA dengan kondisinya yang ada seperti sekarang. Sementara TPA di Kota Painan, yang patut dilakukan adalah perluasan lahan yang kini menyempit. Disamping juga melakukan pengelolaan sampah TPA yang lebih baik dibanding sekarang ini.
Demikianlah kondisi 13 kota yang dipantau Tim Adipura untuk penilaian tahap I pada akhir September hingga awal Oktober lalu itu. Sebenarnya masih banyak rekomendasi-rekomendasi yang diberikan ke masing-masing pemerintah kota dan kabupaten bersangkutan, namun karena keterbatasan ruang, POSMETRO hanya menyampaikan secara garis besarnya saja. Sementara untuk selengkapnya, pihak Kementerian Lingkungan Hidup RI akan mengirimkan hasil pemantauan itu ke masing-masing kota sebagai evaluasi bagi mereka untuk lebih baik dari sekarang. (***)
* tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 29 Oktober 2005. |