ADA hal menarik yang terjadi di balik kesuksesan Pol PP Kota Padang dalam memberantas penyakit masyarakat. Terutama dalam menyikat pelaku maksiat yang berindehoi di hotel-hotel kelas melati. Contoh paling dekat adalah penangkapan terhadap 4 pasangan ilegal di "Hotel Rifa" pada 15 November 2005 lalu. Kasus penggerebekan 4 pasangan ilegal itu cukup menghebohkan.
Pasalnya dari 4 pasangan itu, "EW" (20) dan "TR" (23), "MN" (23) dan "JW" (27), "RE" (21) dan "YK" (23), pasangan "HW" (25) dan "BA" (21) yang bikin geleng kepala. Mereka tidak sekedar tidur seranjang di hotel itu, tapi juga mengabadikan perbuatannya melalui fasilitas kamera yang ada di hand phone-nya. Kontan, perbuatan mereka ini menjadi headline di koran-koran, karena memang jarang terungkap dan tertangkap pasangan senekat mereka.
Dan yang lebih menghebohkan, 4 pasangan yang bukan muhrim itu akhirnya dilepas begitu saja oleh Pol PP Padang setelah terlebih dahulu dibuat surat perjanjian agar mereka tidak melakukan perbuatan serupa di kemudian hari. Maka hebohlah semua kalangan, terutama anggota dewan. Mengapa?
Wajar bila anggota dewan heboh atas pelepasan mereka itu. Karena para wakil rakyat tersebut sebelumnya telah mengesahkan Perda No 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat yang salah satu pasalnya, mengatur soal tuna sosial itu. Pada Pasal 10 ayat (2) Perda ini diatur bahwa "setiap orang dilarang menjajakan diri sebagai pelacur dan atau berupaya mengadakan transaksi seks". Jika dilanggar, maka sesuai dengan Bab XI Pasal 14 tentang Kententuan Pidana, pelanggaran atas ketentuan Pasal 10 ini, diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta. "Kenapa ini tidak diterapkan?" demikian tanya mereka.
Bagi yang melek hukum, pasti paham benar dengan keputusan Pol PP untuk melepas 4 pasangan ilegal. Karena secara hukum, Pasal 10 itu lemah untuk kasus 4 pasangan tersebut. Karena mereka tidak terbukti pelacur atau melakukan transaksi seks. Bahasa "transaksi" di sini, "jika dikonversikan ke bahasa ekonomi" identik dengan ada uang ada barang. Dalam bahasa simpelnya, sebuah transaksi adalah sebuah aktivitas yang melibatkan dua pihak atau lebih, untuk mempertukarkan sesuatu milik yang satu dengan sesuatu yang lain, milik pihak lain.
Kecuali bila, bahasanya diubah menjadi melakukan kegiatan seks, maka cukup kuat alasan untuk meneruskan kasus ini sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 14 tersebut.
Nah, jika dipelajari lagi dengan seksama Perda No 11 Tahun 2005 ini, maka kesalahan sepatutnya kita tumpukan ke DPRD sebagai legislator. DPRD sepertinya tidak serius dan asal jadi dalam menyusun pasal per pasal. Bahkan kelewat hemat dalam mengatur pelanggaran-pelanggaran yang kerap dilakukan masyarakat. Sehingga banyak hal-hal krusial yang terlewatkan begitu saja, dan gagal menjerat pelaku Pekat (penyakit masyarakat).
Disamping lemahnya subtansi hukum, Perda No 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, khususnya pada Pasal 10 tentang Tuna Sosial, juga terdapat ketidakadilan gender.
Jika dicermati baik-baik bunyi pasal itu, perempuan --dalam hal ini pelacur-- masih menjadi subjek hukum, sementara si hidung belang sepertinya sulit untuk dijerat. Inilah dampak dari kurang njelimet-nya Pemko dan DPRD Padang dalam menelurkan Perda ini.
Sebenarnya ada pembelaan di balik kelemahan pelaksanaan Perda itu. Dalih pertamanya, "kekurangan-kekurangan" Perda itu bisa ditutup dengan diterbitkannya SK Walikota Padang yang mengatur teknis pelaksanaan Perda. Tapi kenapa itu baru diwacanakan sekarang, padahal Perdanya sendiri sudah lumayan lama disahkan Pemko. Padahal kita sama-sama tahu, yang namanya penyakit masyarakat, ketidaktertiban umum dan ketidaktentraman masyarakat terjadi hampir tiap hari, pra dan pasca disahkannya Perda itu. Sehingga terjadilah kasus pelepasan 4 pasangan ilegal tersebut, karena telatnya Pemko bergerak.
Tidak hanya soal Tuna Sosial, berbagai fenomena ketidaktertiban umum dan ketidaktentraman masyarakat juga diatur dalam Perda ini. Seperti tertib jalan dan angkutan jalan yang mengatur berbagai larangan seperti soal tanggul jalan (polisi tidur), parkir sembarang tempat, memasang reklame di jalan atau trotoar, menumpuk bahan bangunan di jalan, bongkar muat di badan jalan, sound system di Angkot dan buskota, kaca film, sirine, dan sebagainya. Semua larangan itu, hampir tiap hari dilakukan warga, tanpa ada sanksi hukum dari Pemko.
Demikian juga dalam hal tertib jalur hijau, taman dan tempat umum. Mulai dari larangan menebang tanaman di jalur hijau, taman dan tempat umum, membuang sampah, larangan memasang reklame di pohon peneduh, mendirikan bangunan, merokok di tempat-tempat tertentu, dan sebagainya juga diatur secara detail. Tapi controlling-nya sampai saat ini wallahu alam. Belum lagi soal PKL, pengamen, gelandangan, pengemis, Anjal, dan sebagainya.
Semua hal yang diatur dalam Perda ini, boleh kita katakan bagus. Tapi soal teknis pelaksanaannya, kalau saja masih seperti ini, maka nasibnya tidak jauh beda dengan Perda-perda lain, yang hanya sebatas naskah di atas kertas, yang hanya dipakai untuk pelengkap pembuatan keputusan pada diktum menimbang, mengingat dan memperhatikan. Dengan kata lain, Perda itu akan tetap melempem dan dilanggar secara kolektif, termasuk oleh pembuat Perda itu sendiri. (***)
* Tulisan ini pernah dimuat di POSMETRO Padang edisi 21-22 November 2005 |