Supir Untung, Penumpang Buntung
Pria itu bergegas menghampiri taksi yang baru distopnya. "Ka Bandara, bara da? (ke Bandara, berapa Bang?)," tanyanya ke supir taksi yang melongokkan wajahnya dari balik kaca mobil. "Tujuah puluah limo (Rp 75 ribu)," jawabnya singkat.
Tawar-menawar terus berlanjut. Hingga berakhir pada harga yang disepakati, Rp 60 ribu untuk jarak tempuh 15 kiloan dari Aia Tawa ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM) yang berada di Katapiang, Kabupaten Padangpariaman. Sebuah tarif yang cukup mahal bila saja sang penumpang lebih memilih untuk berpatokan pada argometer yang tersedia di dalam taksi itu.
Dari penelusuran yang saya lakukan, budaya tawar menawar antara penumpang dengan supir taksi, sebenarnya justru menguntungkan si supir. Padahal, awalnya niat si penumpang untuk menawar harga itu agar tidak membayar mahal. Tapi kenyataannya, justru mereka yang buntung dan ketiban pulung.
Seperti diakui Hendri (28), salah seorang supir taksi khusus BIM, semua supir taksi sebenarnya menyerahkan sepenuhnya kepada calon penumpang soal tarif yang akan digunakan. "Mau pakai argo atau tawar-menawar juga boleh, yang penting penumpang senang," ujarnya.
Hampir di seluruh armada taksi, katanya, dilengkapi dengan argometer. Namun keberadaannya seakan tak terpakai, lantaran pilihan penumpang sendiri yang lebih ingin tawar-menawar. Secara jujur dikatakannya, dibanding pakai argo, supir lebih suka bila calon penumpang menawar ongkos. Karena keuntungannya, bisa lebih besar dari tarif argo.
Sebagai contoh saja, untuk jarak tempuh Aia Tawa-BIM yang diperkirakan sekitar 15 km, untuk tarif yang telah ditentukan tertera harga Rp 77.000. Harga itu akan ditawar semati-mati angin oleh calon penumpang jadi Rp 50 ribu saja. Bandingkan bila pakai argo. Untuk sekali buka pintu Rp 4.000 ditambah Rp 1.500 untuk setiap 1 km. Paling banter, untuk jarak 15 km penumpang akan kena Rp 22.900. Bisa dibayangkan, sungguh sangat besar untung yang didapat supir dari tawar-menawar tarif tersebut.
Herannya, mengapa pengguna jasa taksi selalu lebih memilih untuk tawar-menawar ketimbang pakai argo. Entah karena kurang sosialisasi penggunaan argo atau karena menduga-duga bakal "tapakiak" dengan tarif argometer yang bisa diutak-atik itu. Tapi Hendri punya jawabannya. Kata dia, ini berkaitan erat dengan budaya orang Minang yang suka tawar-menawar. Apa benar? Semuanya terserah kita, mau buntung atau untung... (***)
Read more!
|