YANG namanya berutang, tidak melulu identik dengan orang miskin yang lagi (dan selalu) bokek, atau perusahaan konglomerasi yang kehabisan modal karena ditilep owner atau manajemennya. Pemerintah RI pun punya utang, yang katanya baru bisa lunas selama tujuh turunan bangsa Indonesia. Dalam konteks lokal, itupun terjadi. Menyusul terungkapnya ke khalayak umum bahwa Pemko Padang punya utang. Sebenarnya secara kasat mata tidak ada yang menarik soal utang-piutang seperti itu. Wajar, karena Indonesia saja punya utang yang begitu bejibun. Cuma utang yang satu ini, ditenggarai karena Pemko kelewat foya-foya, sehingga dana yang telah dianggarkan pada APBD 2005 di pos pengeluaran masing-masing menjadi tidak mencukupi untuk menutup kebutuhannya.
Adalah Fraksi PKS (F-KS) DPRD Kota Padang yang mengungkap kasus ini ke media, kendati sebelumnya hal ini menjadi pembicaraan hangat di tingkat Panitia Anggaran (Panggar) --namun tidak pernah terekspos di awal-awal pembahasan RAPBD 2006, lantaran tidak ada niat mereka mengeksposnya ke luar.
Disebutkan Ketua FKS, Budiman SAg didampingi Djunaidy Hendri ST pada Selasa lalu (21/02/06), Pemko Padang menghabiskan uang melebihi pagu dana yang telah ditetapkan dalam APBD Padang 2005. Kemudian, kelebihan itu dicantumkan sebagai tagihan pihak III dalam RAPBD Padang 2006. Total, kelebihan dana yang telah dihabiskan Pemko Padang Rp 703.645.325. Hal itu dianggap telah terjadi kesalahan dalam pengelolaan keuangan negara.
Terdapat 8 unit kerja di Pemko Padang yang menghabiskan uang melebihi pagu dana yang telah ditetapkan. Yakni, Kantor Kesbang Linmas sebanyak Rp 99 juta yang dipergunakan untuk pengadaan baju kaos Hansip. Departemen Pendidikan Padang (SMAN 8) sebesar Rp 1,162 juta yang telah dipergunakan untuk biaya listrik dan air. Bagian Umum sebanyak Rp 296.661.065 yang digunakan untuk tagihan telepon dan Rp 34.954.753 untuk pembayaran tagihan ke Toko Aneka Ria serta Rp 261.706.312 yang dihabiskan untuk biaya makan, minum, service kendaraan dan tamu Pemko Padang.
Selain itu, pada pos Kepala Daerah, juga terdapat dana sebesar Rp 12.050.000 yang digunakan untuk biaya makan dan minum. Kemudian pada Dinas Kesejahteraan Sosial terdapat dana sebesar Rp 39.796.980 yang merupakan tunggakan Pemko Padang pada PD Dinamika, akibat melakukan service dan penggantian spare part kendaraan operasional milik Pemko pada tahun-tahun lalu. Di RSUD Padang juga terdapat kelebihan pemakaian dana sebanyak Rp 6.630.000, yang diakibatkan banyaknya pasien yang mengalami rawat inap, sehingga terjadi kekurangan makanan pasien.
Pada Bagian Bina Sosial terdapat dana Rp 230 juta yang tidak jelas rinciannya telah dipergunakan untuk apa, Rp 170 juta yang dipergunakan untuk pembayaran honor guru TPA tahap II dan Rp 60 juta yang merupakan kekurangan biaya pelaksanaan Pesantren Ramadhan 2005. Pada Dinas Perhubungan juga terdapat Rp 18.345.280 yang diakibatkan tunggakan listrik di Terminal Regional Bingkuang.
Lalu muncullah tanggapan yang cukup nyelekit soal utang ini. Salah satunya dari anggota Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB), Oktavianus Rizwa SH. Katanya, Pemko Padang tidak bisa menganggarkan begitu saja di RAPBD 2006, dana-dana yang telah dipakai di tahun anggaran 2005 tanpa ada payung hukum yang jelas. Apalagi, dana yang telah terlanjur dipakai itu juga tidak mendapat persetujuan dewan terlebih dahulu. Dengan begitu, eksekutif Padang tidak taat pada anggaran yang telah ditetapkan.
Muncul sanggahan dari Kepala Bagian Keuangan Pemko Padang, Hj Corry Saidan SE Akt yang menyebutkan kegiatan yang dilaksanakan Pemko Padang tetap mengacu pada pagu dana yang telah ditetapkan. Namun lantaran banyaknya kegiatan yang dilaksanakan, terdapat beberapa unit kerja yang memakai uang melebihi pagu dana yang telah ditetapkan. Kemudian, dana itu dialokasikan dalam RAPBD Padang 2006 dengan memasukannya pada pos pembiayaan.
Kata dia, dengan adanya tagihan pada pihak III di berbagai unit kerja yang ada di Pemko Padang itu, terserah dewan untuk menindaklanjutinya. Apakah mau diakui sebagai pos pembiayaan atau tidak.
Puncaknya, kasus ini nyaris membuat RAPBD 2006 ditolak anggota DPRD Padang dalam sidang paripurna yang digelar Rabu (22/02/06). Sidang sempat diwarnai voting lantaran adanya dua item yang dinilai bisa memicu munculnya masalah di kemudian hari. Dua item itu adalah masalah PJU dan lampu taman, serta masalah tagihan pihak III sebesar Rp 703.645.325 pada daftar pinjaman daerah yang membuat sejumlah anggota dewan memilih sikap menolak menyetujui nota tersebut.
Seperti biasa, ada kelompok yang menolak untuk disahkan dan ada pula ada yang menerima dengan catatan. Kendati begitu, setelah dilakukan musyawarah pimpinan dewan dengan pimpinan 6 fraksi di DPRD Padang, akhirnya mereka bersepakat untuk fokus saja pada item anggaran yang masih dianggap tidak memiliki landasan hukum yang jelas itu. Setelah dilakukan voting terbuka terhadap dua item itu, akhirnya yang menolak berhasil dikalahkan yang menerima karena kalah suara secara signifikan.
Yang menjadi persoalan adalah, mengapa ada penolakan yang demikian kerasnya atas utang-piutang ini. Jawabnya, karena utang kepada pihak ketiga seperti itu, bertentangan dengan Kepmendagri No 29 Tahun 2002 Pasal 1 yang menyatakan “pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun tertentu, dan belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah". Selain itu, pada APBD 2005 lalu, belanja yang menghasilkan utang ini tidak tercantum sama sekali.
Bisakah ini dikatakan korupsi? Oktavianus Rizwa punya jawabnya. Kata dia, “Setiap item pengeluaran di berbagai unit kerja yang ada di pemerintahan, terlebih dahulu telah diprediksi dalam anggaran yang kemudian disahkan melalui APBD. Jika dalam perjalanan waktu terjadi kelebihan pembayaran, berarti eksekutif tidak cermat menyusun anggaran,” jelasnya.
Akibat ketidakcermatan itu, terangnya, eksekutif tidak bisa serta merta menganggarkannya dalam APBD di tahun berikutnya. Apalagi, kelebihan pembayaran yang kemudian dianggap sebagai tagihan pihak III tersebut, tidak pernah diketahui legislatif. “Ini bisa dikategorikan penyalahgunaan pengelolaan keuangan negara. Masuk ranah korupsi,” tandasnya.
Benarkah seperti itu? Jawabnya belum apabila dan bisa jikalau saja. Itu belum bisa dikatakan korupsi apabila APBD 2006 ini tidak disahkan setelah mendapat persetujuan dari gubernur Sumbar. Atau kata lain, dicoret penganggarannya dari tagihan pihak III. Dan akan bisa dikatakan korupsi jikalau APBD 2006 ini disahkan dan disetujui gubernur Sumbar.
Lalu bagaimana mengatasi Tipikor ini? Gampang, gubernur harus mencoret anggaran pihak III itu dari nota APBD 2006. Sementara soal pembayaran, terserah pihak yang telah berutang, mau diganti pakai duit pribadi, boleh. Mau diganti secara kolektif juga bagus. Yang tidak boleh bila memakai uang rakyat untuk membayar utang serupa itu. Ingat, rakyat telah terbebani dengan beragam utang, baik utang pribadi maupun utang negara. (***) Padang, 23 Februari 2006 |