It's Me

Name: Maryulis Max
Home: Padang, Sumatera Barat, Indonesia
About Me: Saya mencoba untuk menuliskan apa yang saya lihat, dengar dan rasakan. Insya Allah bermanfaat bagi kemanusiaan...
See my curiculum vitae
Komunitas Kampuang

Photobucket - Video and Image Hosting

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Ketik: sumbar dan kirim ke 7505, dari semua operator cellular di Indonesia. Dengan begini anda sudah menyumbang sebesar Rp. 6000.

Jejak Blogger

Free Web Counter

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Penghargaan

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Pernah Sato Sakaki

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Lomba Hut ke-3 Blogfam

Lomba Blogfam HUT Kemerdekaan RI ke 

61

Peserta Lomba Hari Kartini 2006

MyBlogLOG


Komen Terbaru


Banner Ambo

Maryulis Max Blog

 


22 June 2007
Adipura-pura
Photobucket - Video and Image HostingWAJAR. Hanya kalimat itu yang bisa saya ucapkan menyusul banyaknya kontroversi atas diterimanya Piala Adipura oleh beberapa kota pada peringatan Hari Lingkungan Hidup 6 Juni 2007 lalu. Dan juga wajar, kota-kota penerima Piala Adipura itu berhak menerimanya dari tangan Presiden SBY. Lho kok?

Iya, memang wajar ada pro dan kontra atas piala yang diberikan untuk kota-kota yang dianggap bersih dan teduh setelah menjalani serangkaian penilaian itu. Kenapa begitu?


Bagi sebagian warga kota yang kotanya menerima Piala Adipura, pastilah bertanya-tanya, kenapa kotanya yang tidak begitu bersih, masih ada sampah di sana-sini, yang masih banyak pemukiman kumuh, yang daerah pinggirannya tak terperhatikan, yang kerap banjir lantaran selokan disumbat sampah, bisa-bisanya dikasih Piala Adipura. Sehingga muncul sikap apriori dan skeptis yang menganggap Piala Adipura lebih pantas disebut Adipura-pura.

Sikap warga seperti itu memang tidak bisa disalahkan. Karena fakta sosial yang mereka lihat sehari-hari, memang begitulah potret buram dari kotanya. Di benak mereka, Piala Adipura itu hanya pantas untuk kota yang benar-benar bersih luar dalam, bersih pusat kota dan pinggirannya, tidak ada sampah di mana-mana, ada tindakan tegas terhadap pembuang sampah sembarangan, kota yang dilengkapi dengan fasilitas kebersihan serupa tong sampah dan sebagainya. Itulah idealnya.

Tapi sekali lagi, kok bisa kota mereka mendapat Piala Adipura? Jawab itu yang tak pernah mereka terima, baik dari penyelenggara Adipura --dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)--, maupun dari Pemko/Pemkab yang meraih Adipura. Sampai-sampai di Kota Padang sendiri, ketua DPRD-nya mengaku tidak bangga kotanya mendapat piala ini dan juga jenuh dengan penghargaan-penghargaan lain dari pemerintahan pusat. Bagi dia, penghargaan serupa itu tidak kelewat penting karena tidak jelas dampaknya bagi warga kota. Yang paling krusial, menurut dia, adalah pengentasan kemiskinan dapat berjalan yang dampaknya jelas-jelas dirasakan warga miskin perkotaan. Itu tidak salah, dan wajar pula, menurut saya.

Sebagai salah seorang Tim Penilai Adipura, saya sendiri mengakui bahwa pelaksanaan penilaian kota bersih dan teduh (hijau) itu, masih diliputi kekurangan di sana-sini. Belum seideal yang dipikirkan banyak orang. Belum mencakup segala aspek dan seluruh ruang perkotaan. Masih ada tambal sulam; masih ada lubang-lubang yang tak tersulam, dan ada sulam yang berlubang-lubang.

Patut diketahui, untuk Adipura ini, ada penilaian non fisik dan fisik. Non fisik mencakup dokumen administrasi pengelolaan kebersihan kota yang penilaiannya dilakukan terpisah dengan penilaian fisik. Sementara penilaian fisik (ke lapangan) yang dinilai tim penilai hanyalah objek lokasi yang telah ditentukan, meliputi perumahan (perumahan menengah dan sederhana, serta --kalau ada-- perumahan pasang surut), sarana kota (jalan arteri dan kolektor, pasar, pertokoan, perkantoran, sekolah, rumah sakit, Puskesmas, taman kota, hutan kota), sarana transportasi (terminal bus/Angkot, pelabuhan sungai dan terminal penumpang, stasiun kereta api), sarana kebersihan (TPA dan komposting), perairan terbuka (sungai/saluran terbuka/danau/situ) dan pantai wisata. Semua objek lokasi itu, berbeda-beda jumlah titik pantaunya di masing-masing kota, tergantung pada kategori kota (besar, kecil, sedang atau metropolitan), peserta baru dan lama, serta pernah tidaknya mendapat Adipura.

Dari seluruh titik pantau itu, seluruhnya ditentukan Pemko/Pemkab setempat sebelum tim penilai turun ke lapangan untuk menilai. Kalaupun ada titik pantau yang ditentukan KLH, itu hanya melengkapi jumlah titik pantau yang masih kurang. Sebelum tim turun ke lapangan pun, Pemko/Pemkab pun telah menerima "bocoran" soal kehadiran tim penilai. Sehingga titik pantau yang akan dinilai, langsung dipermak habis-habisan biar bersih guna mendapatkan penilaian tertinggi atas objek yang telah ditentukan. Maka jangan heran bila suatu lokasi benar-benar rapi jali saat tim penilai turun ke lapangan.

Biasanya, tim turun 3 kali dalam setahun, yaitu penilaian tahap I, tahap II dan tahap verifikasi bila nilai suatu kota pada tahap I dan II dianggap tinggi untuk menentukan hidup mati layak tak layaknya menerima Piala Adipura ini. Dengan begitu, tim penilai menilai lokasi yang telah dipermak sedemikian rupa menjadi indah.

Di sinilah letak kewajaran kenapa sebuah kota mendapat Piala Adipura dan mengalahkan ratusan kota lainnya. Dengan ditentukannya titik pantau dan didapatnya bocoran kedatangan tim penilai, terlihatlah betapa keseriusan Pemkab/Pemko untuk sekedar mempermak --kendati temporer saja-- titik pantau yang akan dinilai. Bagi yang serius, maka mereka mendapat Adipura, walaupun untuk sekedar prestise. Yang tidak serius --atau memang tidak minat Adipura--, terpaksa gigit jari dan tidak bisa berbesar hati.

Mungkin banyak alasan kenapa ada Pemkab/Pemko yang serius dan ada yang tak serius. Bisa jadi masalah anggaran. Tidak sedikit dana yang dibutuhkan untuk menciptakan bersih ini. Mulai dari infrastrukturnya, sampai masalah gaji dan tetek bengek lainnya. Terlebih lagi bila anggaran kebersihan yang diajukan, ternyata tidak pula disetujui dewan. "Mau ngapain juga, mending bikin proyek yang lain," mungkin begitu alasannya.

Dengan dasar itu, mungkin wajar pula bila ketua DPRD Padang tidak begitu antusias dengan Piala Adipura, dan malah menyorot soal kemiskinan yang belum terentaskan. Melihat alasan yang bersangkutan, saya pribadi lebih setuju bila pemerintah pusat (juga) mengadakan lomba pengentasan kemiskinan ini daripada Piala Adipura. Karena bukti nyatanya tampak dan manfaatnya dirasakan benar oleh masyarakat banyak. Selain itu, bila derajat kesejahteraan warga telah terangkat, maka menjaga dan membudayakan hidup bersih akan tercipta dengan sendirinya. Tapi, apa mungkin? Entahlah...

Postingan terkait:
- Jangan Kelewat Bangga Dapat Adipura
(***)

Read more!
posted by Maryulis Max @ 7:37 PM   6 comments
04 June 2007
Balada Bukuku; Kubutuh Waktu

AWALNYA, tak ada niatan untuk bikin blog ini. Namun akhirnya dibikin juga, setelah mendapat dukungan dari rekan yang juga mencintai buku. Terlebih setelah wara-wiri sana kemari, ketemu blog-blog resensi yang oke punya, maka keinginan untuk membuat hal serupa semakin menjadi-jadi.

Belum lagi, begitu banyaknya penanggap saat saya mencoba-coba membikin resensi dua buah buku di blog utama saya. Mereka menyarankan agar saya rutin meresensi buku yang telah saya baca. "Halah, mana sempat..," begitu alasan saya ketika itu, mengingat saya memang tidak punya banyak waktu, apalagi untuk membaca buku.

Saya benar-benar tidak punya waktu untuk rutin membaca buku. Karena luang waktu itu sendiri yang memang kurang, habis tersedot di pekerjaan sehari-hari. Jangankan untuk buku, untuk keluarga --istri dan anak-- saja, tak cukup waktu buat mereka.

Tapi herannya, walau saya kekurangan waktu, tetap saja masih suka menambah bahan bacaan. Bayangkan, setiap minggu saya berlangganan koran Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo (khusus edisi Minggu saja). Yang 3 itu saja, belum tentu terbaca semuanya, kecuali untuk rubrik-rubrik tertentu yang wajib baca seperti Parodi-nya Samuel Mulia di Kompas, Editorial-nya Media Indonesia, Cari Angin-nya Putu Setia di Koran Tempo dan juga Cerpen-cerpen yang ada di masing-masing koran. Kalau ada artikel menarik, semisal resensi buku, dilahap habis.

Setelah itu, saya juga berlangganan majalah bulanan. Seperti Flona, Trubus, Ayahbunda dan Paras. Dua majalah pertama, menyangkut hobi saya bertaman dan memelihara ikan, sedangkan 2 majalah terakhir lebih ditujukan buat keluarga. Yakinlah, 4 majalah itu, tidak pernah tuntas saya baca, kecuali hanya ada rubrik menarik yang sesuai dengan ketertarikan saya saja.

Belum lagi di luar itu, saya sempat pula berlangganan —tapi beli secara eceran— majalah Hidayah, Ghaib, dan Nikah, yang kini jumlahnya cukup lumayan sebagai “bantal”. Di luar itu juga, saya tidak pula melewatkan diri untuk membeli majalah-majalah beredisi khusus seperti Tempo, Gatra, Intisari atau lainnya yang sedang mengupas tuntas sesuatu yang menarik bagi saya. Maka bertambahlah tumpukan bacaan yang belum tentu terbaca.

Busyetnya lagi, saya telah pula membiasakan diri minimal sekali 1 bulan untuk berbelanja buku di toko buku. Minimal 3-5 buku, harus saya bawa pulang untuk ditumpuk dulu, baru kemudian dibaca bila ada waktu. Parahnya, saya terkadang mendapat pula buku-buku gratis dari relasi-relasi yang sedang launching karya mereka. Katanya, "Untuk kenang-kenangan, buat Anda".

Maka semakin bejibunlah "dosa" saya terhadap bahan bacaan yang saya punya. Mereka ada, tapi tidak selamanya bisa dibaca, kecuali saya punya waktu untuk itu, yang kadang waktunya tidak pula menentu. Pulang kerja di larut malam; membaca untuk mengantar tidur, atau ketika libur di rumah; membaca setelah anak tidur dan atau saya tidak punya kegiatan apa-apa sebagai seorang bapak rumah tangga.

Tapi syukurlah. Sesungguhnya tak ada niat saya untuk menelantarkan buku-buku itu, koran-koran itu, majalah-majalah itu, hanya saja saya yang kekurangan waktu. Kata temanku, "kamu itu butuh 1 hari = 35 jam, agar punya waktu baca buku". Kalau begitu.., matilah aku!!

Dan syukurnya lagi, inspirasi itu muncul. Dari sebuah ide dengan rekan yang cinta buku untuk saling tukar daftar buku yang kami punya (lengkap dengan pengarangnya, penerbit, jumlah halaman, ukurannya dan kapan belinya), akhirnya niat untuk mendata ulang apa yang saya punya tercapai juga. Hasil akhirnya, saya lebih banyak punya koran dan majalah, ketimbang buku.

Saya bersyukur punya data itu. Hingga akhirnya, eureka, muncul juga ide untuk bikin blog ini. Isinya persis sama dengan data buku yang telah saya tulis dengan microsoft excel, tinggal lagi ditambahi dengan cover buku dan kalau bisa (harus bisa!!!) resensinya juga. Maka jadilah dia; maxbooks.wordpress.com.

Semoga keberadaan mainan baru ini, menjadi bermanfaat bagi siapa saja, terutama bagi saya sendiri. Karena sesuai dengan SMS rekan saya suatu waktu, "Scripta Manent Verba Volan" (yang tertulis akan mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin).

Begitulah.., akhirnya saya harus mengatur waktu untuk membaca buku dan menuliskan apa yang telah saya baca itu. (***)


Read more!
posted by Maryulis Max @ 12:07 PM   4 comments
Blog Valdisya
Photobucket - Video and Image Hosting

Singgah ke My Baby Blog Klik disini Ngeliat Foto Disya Klik Ini

Tulisan Sebelumnya
Brankas Arsip
Singkap Blog
Mitra Blog

Free Blogger Templates

BLOGGER

BlogFam Community

Free Shoutbox Technology Pioneer

Photobucket

Image hosting by Photobucket

Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

Linda

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket


Photobucket

AddThis Social Bookmark Button

Sedang Dibaca

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
Lihat koleksi buku saya disini

Asal Pengunjung

Copyright © Kumpulan Tulisan & Pemikiran | Editor - Maryulis Max | Disain : Yonaldi