Jucelino Nobrega da Luz patut menutup wajahnya yang memerah karena malu. Kredibilitasnya sebagai peramal --yang kata orang ramalannya banyak betul daripada salahnya-- jatuh sudah. Semua itu gara-gara ramalannya soal gempa besar pada 23 Desember 2007 berkekuatan 8,5 SR yang disertai tsunami di pantai barat Sumatera tidak terbukti sama sekali. Maka, pasangilah topeng di wajahmu wahai Jucelino, biar malumu tertutupi sudah. Kendati ramalannya tak terbukti, kita patut juga berterima kasih kepada Jucelino. Karena ramalan yang dimunculkannya --yang atas pertolongan ekspos di media-media massa membikin isu ini merebak ke mana-mana-- menjadi penggerak mobilisasi yang lebih efektif ketimbang simulasi tsunami. Coba bandingkan ketika pemerintah Provinsi Sumbar mengadakan simulasi tsunami dan ujicoba sirine pada 17 Desember lalu, tak begitu banyak warga yang menanggapi. Malahan ditanggapi dingin.
Beda halnya dengan isu Jucelino, tanpa diperintah-perintah pun, warga sudah mengungsi menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman. Tak perlu ada pengumuman lewat pengeras suara, tak perlu ada iklan di media massa, warga yang telah trauma dampak tsunami aceh 2004 dengan sendirinya telah mengevakuasi diri mereka tanpa ada komando seperti ketika simulasi tsunami dilaksanakan.
Toko-toko tutup, pasar sepi, kota lengang, aktivitas ekonomi mati suri, lalu lintas kendaraan minim, hilir mudik warga kurang dari biasanya, semuanya hanya gara-gara isu tsunami. Suatu kondisi yang takkan bisa dikondisikan ketika simulasi tsunami dilaksanakan.
Inilah sebuah kewaspadaan yang dibungkus ketakutan. Dan semua itu telah berlalu seiring tidak terbuktinya ramalan Jucelino. Semua kembali ke aktivitas semula --kecuali bagi PNS dan anak sekolahan yang menikmati libur panjang bertajuk cuti bersama dari 20-26 Desember bahkan ada yang sampai 2 Januari 2008. Semua kembali kepada gerak hidup apa adanya, sementara bahaya dan bencana tetap mengancam.
Kewaspadaan semu yang muncul ketika isu merebak, memberi pelajaran kepada kita bahwa masyarakat lebih percaya kepada informasi irrasionalitas yang menyangkut keselamatan hidup mereka ketimbang infomasi rasional pemerintahan yang mencoba menenangkan mereka. Jucelino telah memberi pelajaran bahwa kadar rasionalitas sebuah masyarakat modern belum berkembang baik di daerah kita. Dan itu bisa menjadi alat ukur bahwa tingkat keimanan masyarakat pun belum sebaik seperti yang kita kira.
Yang pasti 23 Desember lewat sudah, ancaman keselamatan justru bermula dari sini. Di saat kita lengah, di saat kita tidak lagi "diingatkan" isu, sudah sejauhmanakah kita siap dan waspada? Bukankah bisa saja beberapa detik, semenit, sehari, seminggu, sebulan, setahun setelah baca tulisan ini, tiba-tiba bencana itu tiba? Maka, jangan sampai terlena dan jangan lupa untuk berdoa agar kita dijauhkan dari segala bencana. (max) |