Bagi sebagian warga kota yang kotanya menerima Piala Adipura, pastilah bertanya-tanya, kenapa kotanya yang tidak begitu bersih, masih ada sampah di sana-sini, yang masih banyak pemukiman kumuh, yang daerah pinggirannya tak terperhatikan, yang kerap banjir lantaran selokan disumbat sampah, bisa-bisanya dikasih Piala Adipura. Sehingga muncul sikap apriori dan skeptis yang menganggap Piala Adipura lebih pantas disebut Adipura-pura.
Sikap warga seperti itu memang tidak bisa disalahkan. Karena fakta sosial yang mereka lihat sehari-hari, memang begitulah potret buram dari kotanya. Di benak mereka, Piala Adipura itu hanya pantas untuk kota yang benar-benar bersih luar dalam, bersih pusat kota dan pinggirannya, tidak ada sampah di mana-mana, ada tindakan tegas terhadap pembuang sampah sembarangan, kota yang dilengkapi dengan fasilitas kebersihan serupa tong sampah dan sebagainya. Itulah idealnya.
Tapi sekali lagi, kok bisa kota mereka mendapat Piala Adipura? Jawab itu yang tak pernah mereka terima, baik dari penyelenggara Adipura --dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)--, maupun dari Pemko/Pemkab yang meraih Adipura. Sampai-sampai di Kota Padang sendiri, ketua DPRD-nya mengaku tidak bangga kotanya mendapat piala ini dan juga jenuh dengan penghargaan-penghargaan lain dari pemerintahan pusat. Bagi dia, penghargaan serupa itu tidak kelewat penting karena tidak jelas dampaknya bagi warga kota. Yang paling krusial, menurut dia, adalah pengentasan kemiskinan dapat berjalan yang dampaknya jelas-jelas dirasakan warga miskin perkotaan. Itu tidak salah, dan wajar pula, menurut saya.
Sebagai salah seorang Tim Penilai Adipura, saya sendiri mengakui bahwa pelaksanaan penilaian kota bersih dan teduh (hijau) itu, masih diliputi kekurangan di sana-sini. Belum seideal yang dipikirkan banyak orang. Belum mencakup segala aspek dan seluruh ruang perkotaan. Masih ada tambal sulam; masih ada lubang-lubang yang tak tersulam, dan ada sulam yang berlubang-lubang.
Patut diketahui, untuk Adipura ini, ada penilaian non fisik dan fisik. Non fisik mencakup dokumen administrasi pengelolaan kebersihan kota yang penilaiannya dilakukan terpisah dengan penilaian fisik. Sementara penilaian fisik (ke lapangan) yang dinilai tim penilai hanyalah objek lokasi yang telah ditentukan, meliputi perumahan (perumahan menengah dan sederhana, serta --kalau ada-- perumahan pasang surut), sarana kota (jalan arteri dan kolektor, pasar, pertokoan, perkantoran, sekolah, rumah sakit, Puskesmas, taman kota, hutan kota), sarana transportasi (terminal bus/Angkot, pelabuhan sungai dan terminal penumpang, stasiun kereta api), sarana kebersihan (TPA dan komposting), perairan terbuka (sungai/saluran terbuka/danau/situ) dan pantai wisata. Semua objek lokasi itu, berbeda-beda jumlah titik pantaunya di masing-masing kota, tergantung pada kategori kota (besar, kecil, sedang atau metropolitan), peserta baru dan lama, serta pernah tidaknya mendapat Adipura.
Dari seluruh titik pantau itu, seluruhnya ditentukan Pemko/Pemkab setempat sebelum tim penilai turun ke lapangan untuk menilai. Kalaupun ada titik pantau yang ditentukan KLH, itu hanya melengkapi jumlah titik pantau yang masih kurang. Sebelum tim turun ke lapangan pun, Pemko/Pemkab pun telah menerima "bocoran" soal kehadiran tim penilai. Sehingga titik pantau yang akan dinilai, langsung dipermak habis-habisan biar bersih guna mendapatkan penilaian tertinggi atas objek yang telah ditentukan. Maka jangan heran bila suatu lokasi benar-benar rapi jali saat tim penilai turun ke lapangan.
Biasanya, tim turun 3 kali dalam setahun, yaitu penilaian tahap I, tahap II dan tahap verifikasi bila nilai suatu kota pada tahap I dan II dianggap tinggi untuk menentukan hidup mati layak tak layaknya menerima Piala Adipura ini. Dengan begitu, tim penilai menilai lokasi yang telah dipermak sedemikian rupa menjadi indah.
Di sinilah letak kewajaran kenapa sebuah kota mendapat Piala Adipura dan mengalahkan ratusan kota lainnya. Dengan ditentukannya titik pantau dan didapatnya bocoran kedatangan tim penilai, terlihatlah betapa keseriusan Pemkab/Pemko untuk sekedar mempermak --kendati temporer saja-- titik pantau yang akan dinilai. Bagi yang serius, maka mereka mendapat Adipura, walaupun untuk sekedar prestise. Yang tidak serius --atau memang tidak minat Adipura--, terpaksa gigit jari dan tidak bisa berbesar hati.
Mungkin banyak alasan kenapa ada Pemkab/Pemko yang serius dan ada yang tak serius. Bisa jadi masalah anggaran. Tidak sedikit dana yang dibutuhkan untuk menciptakan bersih ini. Mulai dari infrastrukturnya, sampai masalah gaji dan tetek bengek lainnya. Terlebih lagi bila anggaran kebersihan yang diajukan, ternyata tidak pula disetujui dewan. "Mau ngapain juga, mending bikin proyek yang lain," mungkin begitu alasannya.
Dengan dasar itu, mungkin wajar pula bila ketua DPRD Padang tidak begitu antusias dengan Piala Adipura, dan malah menyorot soal kemiskinan yang belum terentaskan. Melihat alasan yang bersangkutan, saya pribadi lebih setuju bila pemerintah pusat (juga) mengadakan lomba pengentasan kemiskinan ini daripada Piala Adipura. Karena bukti nyatanya tampak dan manfaatnya dirasakan benar oleh masyarakat banyak. Selain itu, bila derajat kesejahteraan warga telah terangkat, maka menjaga dan membudayakan hidup bersih akan tercipta dengan sendirinya. Tapi, apa mungkin? Entahlah...
Postingan terkait:
- Jangan Kelewat Bangga Dapat Adipura
(***)