SEBANYAK 45 kota dari 381 kota di seluruh Tanah Air, dinyatakan Kementerian Lingkungan Hidup layak mendapat Piala Adipura. Dengan begitu, hanya ada 12% dari ratusan kota yang dianggap serius ngurusin kebersihan dan keteduhan kotanya. Lebihnya, wallahu alam. Khusus Sumatera Barat, hanya 3 kota mendapatkannya, yaitu Kota Padang untuk kategori kota besar terbersih, Kota Payakumbuh (kota sedang) dan Kota Padang Panjang (kota kecil).
Kendati begitu, jangan bangga dulu dapat Adipura.
Sebagai salah seorang tim penilai Adipura, yang turun langsung menilai kebersihan dan keteduhan beberapa kota peserta lomba ini, saya melihat masih banyak kekurangan di sana-di sini dalam pelaksanaan penilaian. Walau harus diakui, lomba Adipura saat ini adalah perbaikan dari lomba
sebelumnya. Tapi tetap saja ada kekurangan.
Salah satu yang paling krusial adalah, proses sebelum penilaian dilakukan. Sebelum tim diturunkan, Pemko dan Pemkab setempat telah terlebih dahulu mendapat "bocoran" kapan tim penilai akan turun ke kotanya. Sehingga mereka langsung berbenah; yang kotor disulap menjadi kinclong, yang buruk dipermak menjadi cantik. Dari tiada, dijadikan ada. Segala cara, daya dan upaya dilakukan demi mendapatkan trofi Adipura yang diserahkan presiden RI itu.
Jadilah lokasi pemantauan ini bersih temporer, bukan permanen. Bahkan ada sebuah kota, yang bela-belain menambah fasilitas kontainer sampah di sebuah perumahan hanya demi mendapatkan nilai yang tinggi. Walau untuk itu, mereka harus membayar sewa lokasi buat penempatan kontainer tersebut ke si pemilik tanah. Padahal di keseharian, tidak pernah ada penempatan TPS di lokasi perumahan ini.
Kekurangan kedua adalah, lokasi pantau yang akan dinilai tim penilai ditentukan oleh Pemko/Pemkab setempat. Kalaupun ada yang ditentukan Kementerian LH, itu hanya melengkapi jumlah titik pantau yang masih kurang. Dengan begitu, tim menilai lokasi yang telah dipermak sedemikian rupa menjadi indah.
Pemantauan dilakukan pada objek lokasi yang telah ditentukan, meliputi perumahan (perumahan menengah dan sederhana, serta --kalau ada-- perumahan pasang surut), sarana kota (jalan arteri dan kolektor, pasar,
pertokoan, perkantoran, sekolah, rumah sakit, Puskesmas, taman kota, hutan kota),
sarana transportasi (terminal bus/Angkot, pelabuhan sungai dan terminal penumpang, stasiun kereta api), sarana kebersihan (TPA dan komposting), perairan terbuka (sungai/saluran terbuka/danau/situ) dan pantai wisata. Semua objek lokasi itu, berbeda-beda jumlah titik pantaunya pada masing-masing kota, tergantung pada kategori kota, peserta baru dan lama, serta pernah tidaknya mendapat Adipura.
Oleh pemerintah kota yang serius, seluruh lokasi itu disulap habis-habisan --terlebih lagi menjelang turunnya tim penilai. Tak ada lagi sampah, tak ditemukan lagi rumput liar, tak tercium lagi bau, peneduh ditutupi dengan penghijauan, hanya demi mendapat nilai setinggi-tingginya. Karena itu wajar bila warga kota itu sendiri bertanya-tanya ketika kotanya mendapat Adipura. Kok bisa ya..., padahal banyak sampah di lokasi itu, di tempat ini, di sana, di sini, dan sebagainya. Dan kecenderungannya, yang bersih itu pusat kota, bukan pinggiran kota, karena lantaran lokasi yang dipantau memang terpusat di sana. Sampai-sampai warga yang skeptis dan apatis, menyebutkan Adipura ini sebagai Adipura-pura.
Kekurangan lain yang patut disebut adalah parameter penilaian
itu sendiri, yang memang membingungkan tim penilai. Misalnya, pohon peneduh lebih dihargai tinggi ketimbang penghijauan berupa penanaman bunga atau kembang. Padahal, tidak semua orang suka menanam pohon, dan memilih memelihara bunga. Belum lagi soal hutan kota yang kategori lokasinya diterjemahkan berbeda oleh tim penilai. Contohnya, di kota A sebuah lokasi dianggap hutan kota, sedangkan di kota B malah menjadi taman kota.
Kedisiplinan dan kepahaman tim penilai terhadap objek yang dinilainya, juga memengaruhi nilai yang diberikan. Bahkan standar nilai --baik tertinggi maupun terendah-- yang diberikan masing-masing tim, tidak punya keseragaman. Bisa jadi Tim A memberi nilai tertinggi 100, sedangkan Tim B memberi nilai 95, Tim C bersepakat point tertinggi 90 di setiap kota yang
dipantaunya. Hasilnya, beruntunglah kota yang dipantau oleh Tim A.
Masih banyak sebenarnya kekurangan dalam penilaian Adipura ini. Dan kekurangan-kekurangan itu terus dievaluasi dan direkomendasikan oleh tim penilai yang terdiri dari unsur KLH, Bapedalda, pers, LSM dan akademisi untuk diperbaiki. Yang paling mendesak adalah tidak lagi memberitahukan kepada Pemkab/Pemko, soal kapan tim akan turun menilai ke kotanya. Dan titik pantau yang akan dinilai, ditetapkan oleh KLH yang dipilih secara acak, bukan lagi lokasi yang diajukan Pemko/Pemkab setempat.
Dengan dilakukannya perbaikan secara terus menerus terhadap sistem penilaian ini, Insya Allah tujuan Adipura mendorong pemerintah daerah (kabupaten/kota) untuk mewujudkan kota bersih dan teduh (clean and green city) dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup
yang baik, dapat diwujudkan.
Di tingkat Pemkab/Pemko, harus terus menjadikan kebersihan sebagai kesadaran kolektif. Sehingga tidak lagi ada perasaan bahwa Adipura hanya merupakan kebanggaan pemerintahan setempat dan menjadi incaran demi prestise keberhasilan kepemimpinan walikota atau bupati semata.
Sekali lagi.., selamat atas kota yang telah mendapat Adipura dengan segala cara, daya dan upaya. Semoga spirit Adipura bukan hanya ada di dada pemerintahannya, tapi harus menjadi bagian di diri masyarakatnya. (***)