SEBAGAI rumah sakit pemerintah, pelayanan RS Dr M Djamil Padang terus menjadi sorotan. Yang mengemuka tentu saja bentuk ketidakpuasan dari pasien maupun keluarganya atas pelayanan medis yang mereka terima.
Hal serupa juga saya alami seminggu yang lalu. Ketika memeriksakan perih yang menyerang dada kiri saya di Poliklinik Rawat Jalan rumah sakit terbesar Sumatera bagian tengah (Sumbagteng) itu. Sebagai penderita yang tersiksa perihnya sakit yang saya rasakan --dan begitu juga pasien lainnya-- wajar bila menginginkan pemeriksaan yang cepat dan tepat. Tapi apa yang terjadi?
Sedari pukul 07.45 WIB, saya sudah ngantri mengurus administrasi untuk diperiksa di bagian penyakit dalam. Hanya 10 menit rampung, lalu disuruh menunggu di depan ruangan pemeriksaan penyakit dalam. Waktu terus berjalan, pasien lain terus berdatangan.
Hingga pukul 10.00 WIB, dokter yang sedianya bertugas menangani keluhan pasiennya, belum juga menampakkan batang hidungnya. Saya gelisah, pasien lain resah, menunggu dalam ketidakpastian dengan menanggung perih sakit masing-masing.
Baru sekitar 30 menit kemudian, beberapa dokter muda berdatangan. Satu persatu pasien dipanggil, diperiksa lalu diberi resep untuk ditebus di apotik terdekat. Pun demikian dengan saya, ditanyakan keluhan yang terasa, diperiksa, lalu disimpulkanlah penyakit yang saya derita, dituliskan resepnya, selesai. Simpel memang. Tapi di balik itu apa?
Betapa lamanya waktu terbuang percuma hanya menunggu dokter tiba! Bayangan, setiap harinya sedari pagi sudah banyak pasien ngantri untuk mengurus administrasi lalu menunggu di ruang medis yang dituju. Tapi yang didapat adalah proses menunggu dan menunggu. Padahal yang namanya menunggu, adalah pekerjaan yang membosankan. Terlebih menunggu dalam perih yang tak terkirakan.
Yang menjadi pertanyaan, jika jam pelayanan medis ditetapkan pagi hari, kenapa sang dokter justru datang di siang hari. Inilah pertanyaan besar yang sampai saat ini belum didapat jawabannya. Idealnya, dokter telah ada sebelum pasien datang. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi ini jelas mengukuhkan pendapat umum, bahwa dokter itu makhluk istimewa dan sibuknya luar biasa. Pasien harus rela menunggu mereka, yang di saat bersamaan entah apa yang dilakukannya. Bisa jadi sibuk dengan urusan pribadi, atau memang menolong pasien lain di tempat tugasnya yang lain. Entahlah.
Tapi, di situlah naifnya. Dokter-dokter masih diberi kesempatan dan kebebasan untuk nyambi di tempat lain. Umumnya ini terjadi pada dokter RS pemerintah. Mereka bekerja pula di RS swasta. Walhasil pasiennya di RS pemerintah menjadi merana, karena "dokter juga manusia" yang mengejar pitih masuak (pendapatan lebih besar-red) untuk membiayai diri dan keluarganya.
Di sinilah letak masalahnya. Harus ada komitmen dari organisasi kedokteran semacam IDI ataupun pemerintah untuk bikin regulasi baru seputar profesi dokter ini. --Termasuk soal praktek dokter yang katanya, "minggu dan hari besar libur" itu. (Emangnya yang namanya sakit bisa libur juga ya?)
Karena korban telah berjatuhan dari hajat nyambi-menyambiini. Di RS Dr M Djamil sendiri pernah terjadi, demi operasi pasiennya di RS swasta, dokter tega mengundur penanganan medis bagi pasiennya di RS M Djamil.
Itu baru sepenggal contoh. Namun patut menjadi pelajaran. Karena seperti apa yang telah saya alami seminggu lalu itu, saya pribadi punya rencana nggak mau lagi berobat di poliklinik RS tersebut. Mending ke RS swasta --yang notabene dokternya juga dokter RS Dr M Djamil--, kendati harus bayar lebih mahal (dan tidak ditanggung Jamsostek), tapi mendapat pelayanan cepat dan tepat. Bukan tak mungkin, yang punya duit lebih, beralih berobat ke Singapura atau Malaysia yang pelayanan medisnya oke punya. (***)