JIKA saja hidup ini memang ada reinkarnasi, saya ingin betul untuk terlahir kembali. Lha, kenapa? Saya ingin unjuk gigi (dalam artian sebenarnya; cengengesan) dan unjuk prestasi, tanpa harus susah-susah seperti yang telah saya jalani selama ini.
Keinginan reinkarnasi itu terbersit di pikiran saya setelah menyimak kasus ujian nasional (UN) dan penyelenggaraan ujian Paket C bagi yang tak lulus UN. Dengan terlahir kembali, saya ingin menjajal kemampuan otak saya dalam belajar Matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dengan mengabaikan seluruh pelajaran lainnya seperti Fisika, Geografi, Biologi, Agama, Sejarah dan sebagainya. Karena memang hanya 3 mata pelajaran itu, yang menentukan nasib saya lulus atau tidak sebagai siswa SMA.
"Kenapa harus susah-susah belajar mata pelajaran lain, kalau toh akhirnya ketika UN, pelajaran itu tidak diujikan. Lebih baik, fokus pada 3 mata pelajaran yang diistimewakan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) itu, sehingga nilai UN saya bisa 10 semua dan jadi siswa terbaik se-Indonesia," begitu yang terpikir di dalam kepala saya yang mulai botak ini.
Pun bila ketika saya dilahirkan kembali melalui reinkarnasi, ternyata gen malas dan badung saya lebih mendominasi ketimbang menjadi siswa berprestasi, saya juga tak perlu khawatir. Semalas-malasnya saya dan tak lulus UN nantinya, masih ada senjata pamungkas melalui ujian Paket C untuk menyelamatkan muka agar dapat mengenyam bangku kuliah atau pun sekedar punya ijazah.
Saya tidak akan malu ikut ujian Paket C, karena dengan begitu saya dianggap setara dengan politikus atau pun PNS yang tak pernah punya ijazah SMA, kecuali ijazah Paket C!
Dan saya tentu tidak akan rugi ikut ujian Paket C, karena biayanya --katanya konon-- digratiskan oleh pemerintah. Hmm.., enaknya. Tak perlu bayar uang sekolah dari kelas I sampai III, karena saya sudah keburu memutuskan berhenti sekolah dengan pertimbangan bisa ikut ujian Paket C di kemudian hari seperti halnya politikus atau pun PNS yang ingin menaikkan pangkat dan gaji dengan mempertinggi status pendidikan melalui ujian Paket C itu.
Itulah buah pikir yang bersemayam di benak kepala saya yang sudah penuh dengan berbagai pikiran dan ingatan yang sebenarnya lebih penting, ketimbang memikirkan keinginan reinkarnasi lantaran sistem pendidikan kita saat ini.
Reinkarnasi itu takkan pernah menjadi pemikiran saya, bila saja pemerintah dalam hal ini Depdiknas berpijak dan berpedoman kepada UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terutama dalam hal pelaksanaan UN yang secara tersirat dan tersurat menyebutkan di Pasal 58 Ayat 1 bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik. Bukan Depdiknas dengan badan standar pendidikan nasionalnya.
Kalaupun Depdiknas --yang tiap berganti menteri selalu berganti kurikulum dan kebijakan-- ingin tetap melaksanakan ujian nasional, mungkin sebaiknya mengakomodir kembali "potensi" dan kemampuan para siswa di bidang lain. Jangan hanya mengistimewakan Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Saya, misalnya, lebih jago dan menyukai Geografi serta Sosiologi, masak dianggap tidak penting-penting amat dan tak perlu diuji. Padahal kalo diuji, saya yakin dapat nilai tinggi dan bisa lulus serta melangkah ke perguruan tinggi.
Untuk yang satu ini, saya tak ingin reinkarnasi, karena di era saya dulu ada EBTA/EBTANAS yang mengakui potensi dan kemampuan lain anak baru gede berseragam abu-abu itu. Kalau sekarang, masak yang lulus atau tak lulus ditentukan oleh UN yang hanya menyediakan 3 X 2 jam dan mengabaikan proses pembelajaran di dalam kelas selama 3 tahun.
Kini, sistem UN yang terbukti error dan mengakibatkan 3.660 siswa se-Sumbar dari 53.134 peserta yang mengikuti UN dan ribuan lainnya se-Indonesia tak lulus sekolah, menjadi senjata untuk melabrak tataran ranah pendidikan lainnya, yaitu Paket C untuk mengatasi gejolak. Pasalnya Paket C adalah pendidikan kesetaraan bagi seseorang yang tidak pernah menamatkan atau bahkan tak pernah mengenyam bangku SMA.
Kalau sudah begini dan akan terus begini, mending saya tak usah reinkarnasi...Nah, bingungkan? (***)