Kebiasaan mempeloroti tersebut, bukan lagi rahasia umum. Saya sendiri mengalami hal serupa ini beberapa minggu lalu. Itu terjadi saat harus memperpanjang STNK sepeda motor saya ke Samsat Sumbar.
Dengan membawa uang sedikit lebih --buat jaga-jaga kalo kurang--, saya langsung datangi petugas pelayanannya. Sengaja itu saya lakukan, guna menghindari jasa layanan calo yang biasanya udah mengincar "mangsanya" begitu memasuki halaman Kantor Dispenda Sumbar yang berada di bilangan Jalan Khatib Sulaiman.
Dengan style pede, saya serahkan STNK lama yang akan kadaluarsa. Tanpa banyak cincong, petugas lantas mengoret-ngoret sejumlah angka di kertas buram. Hasilnya, muncul angka Rp 175.000 untuk sepeda motor 4 tak 110 cc milik saya. Kaget juga melihat hasil kalkulasi yang entah darimana hitung-hitungannya itu. Kaget bukan karena tidak sanggup bayar, tapi terkejut lantaran angkanya jauh lebih tinggi dari yang tertera di STNK lama.
Tahu itu, saya coba bernegosiasi. "Kok mahal betul pak?" tanya saya pura-pura bego.
"Memang segitu," jawabnya bodoh.
"Gak bisa kurang lagi?"
"Ya gak bisa, karena saya harus menaikkannya ke atas segitu. Lagian saudara kan tidak bawa BPKB sebagai salah satu persyaratan untuk mengurus perpanjangan STNK" tegasnya dengan bahasa yang sedikit lunak.
Sebenarnya, saya mau saja menjemput BPKB yang ketinggalan di rumah. Tapi mengingat jarak yang akan saya tempuh cukup jauh, akhirnya saya harus mengalah. Terlebih lagi waktu sudah mepet bener, karena masa berlaku STNK saya habis hari itu juga. Kalo terlambat bayar sehari, kudu bayar denda sekian-sekian rupiah.
Duit Rp 170.000 --kurang Rp 5.000 dari yang diminta petugas--, saya keluarkan dari dompet dan menyerahkannya ke yang bersangkutan. Kendati kurang, tetap saja diterimanya. Sembari memberikan kwitansi, dia ngasih tahu STNK bisa diambil sore harinya. Namun lantaran sedang banyak tugas, saya menjanjikan akan mengambilnya keesokan harinya.
Besoknya, STNK baru itu saya terima dari yang bersangkutan. Lembaran pertama yang saya lihat lebih dulu adalah rincian pembayarannya. Ternyata yang tertera hanya Rp 128.500 dengan perincian Rp 106.500 buat PKB dan Rp 22.000 untuk SWDKLLJ. Lha sisa Rp 170.000 yang telah saya bayar, sekitar Rp 41.500 dikemanain?
Begitulah, saya memilih untuk mengikhlaskannya saja. Hitung-hitung sedekah, semoga berkah buat jajan anak istrinya.
Fenomena yang saya alami, pastilah dialami semua orang yang berhadapan dengan pelayanan publik. Kecenderungannya, pemberi pelayanan berprinsip pada motto "kalo bisa mlorotin, ngapa gak dilakuin?". Sedangkan yang diberi pelayanan cuma pengen urusannya gampang dan cepat.
Tapi, tahukah kita, kalo yang terjadi itu bagian dari korupsi? Kendati angkanya tak seberapa, tapi kalo korbannya ratusan, ribuan atau jutaan, seberapa kaya para pelakunya dibanding koruptor lainnya? Kejadian ini akan terus berlanjut, mengingat hingga kini memang belum ada niat dari Kantor Samsat untuk menerakan dengan jelas angka-angka yang harus dibayarkan warga yang ingin mengurus administrasi kendaraannya. Dan sekali lagi, kita harus menerima kenyataan bahwa negeri kita memang seperti ini!!! (***)