SAYA baru saja kena tampar. Tapi tidak perih karenanya. Justru saya tertawa menyikapinya. Peristiwa aneh bin ajaib ini, terjadi setelah saya melihat iklan sebuah merek rokok di TV swasta yang menyindir banget.
Mungkin tak hanya saya yang patut merasa ditampar oleh iklan nyeleneh yang menampilkan klip seorang cewek yang melanggar rambu-rambu lalu lintas itu. Kita semua patut merasa "sakit" atas sindiran yang tepat sasaran tersebut. Jika tidak, itu artinya ada di antara kita yang "sakit jiwa" dan pantas konsultasi ke psiakater untuk mencari tahu diri kita ini manusia apa tidak.
Jika begitu adanya, pantas dan wajar bila kita sebagai manusia yang hidup di atas norma, hukum, hak dan kewajiban, tanggung jawab dan kepedulian, serta hal-hal berprikemanusiaan lainnya, selalu tak pernah mencapai tatanan ideal. Semrawut; lamak di awak, alun tantu katuju di urang; main hantam kromo; dan anti sosial. Itu terjadi karena kemanusiaan kita tidak terpelihara dan tidak pernah diasah untuk menjadi manusia benaran yang telah dibekali akal oleh Yang Maha Kuasa.
Sekarang baru boleh tanya kenapa (bukan tanyaken apa?). Lha iya, coba ingat-ingat lagi, berapa banyak kesalahan yang telah kita lakukan dan berapa banyak kebetulan (bukan kebenaran) yang terjadi pada kita yang dijadikan alasan untuk melakukan kesalahan. Memplintir kata-kata Bang Napi, "kesalahan dilakukan bukan karena kebetulan, tapi karena ada kesempatan untuk melakukannya". Mumpung tak ada yang lihat, kenapa harus taat bukan?
Kita lepas dulu soal ketaatan padaNya, pada aturan yang dibuat manusia saja, kita belum taat. Bahkan tragisnya, ada pula yang lebih taat ketika dipelototi manusia ketimbang taat kepadaNya Yang Maha Melihat (Al Basir). Termasuk saya. Memakai bahasa SMS selamat lebaran yang saya terima yang berbunyi "dengan hati seputih kokain, sebening vodca dan seharum ganja", saya patut berjujur diri bahwa saya sendiri belum kaffah.
Diakui atau tidak, kita ini --baik rakyat jelata, penguasa, penegak hukum, dan status apa saja yang melekat pada diri-- punya mental razia. Baru takut saat ada razia (bagi rakyat biasa), atau baru tegas bila disuruh razia (bagi yang punya kekuasaan dan diberi kuasa untuk mengatur rakyat biasa). Contoh paling faktual adalah berlalu lintas (saya menyukai topik ini dan sering keceplosan di rubrik ceplas-ceplos soal ini). Karena berlalu lintas menunjukkan kemanusiaan kita sebenarnya.
Lihatlah mental razia yang ada pada diri supir bus AKDP yang keenakan ngetem di Minang Plaza dan mental razia pada aparat kepolisian dan Dinas Perhubungan (Dishub) yang ditugasi mengawasi ketertiban berlalu lintas di lokasi itu. Kalau ada aparat yang razia untuk melarang mereka agar tidak berlama-lama di tempat tersebut, maka mereka taatnya minta ampun. Jalanan lancar, arus lalu lintas tak semrawut.
Coba saat tidak ada razia, tak hanya supir yang tidak taat, aparatur pun demikian, ikutan tidak taat atas tugas yang dibebankan kepadanya. Supir dibiarkan memarkirkan busnya yang jelas-jelas dilarang karena ada letter S dan terbukti benar bikin macet jalanan, karena ketidaktaatan aparat. Alasannya, karena tidak disuruh razia dan bukan waktunya buat razia, kenapa harus susah-susah. Toh... atasan tidak pula melihat, untuk apa harus taat?
Itu baru satu contoh, tapi imbasnya memunculkan ketidaktaatan-ketidaktaatan lainnya. Seperti PKL di sana, dilarang jualan di trotoar, mereka tetap berjualan dengan harapan begitu besarnya pangsa pasar dari kalangan calon penumpang --yang juga tidak taat-- menunggu bus di lokasi itu. Mereka baru taat, kalau Pol PP disuruh atasannya merazia mereka.
Makanya, terhadap contoh soal lalu lintas ini saja, kita semua patut merasa tertampar juga atas iklan "cuma taat kalo ada yang liat" tersebut. Kalau tidak, hati-hati kena razia!!! (***)