SAYA baru saja bermimpi. Walikota Padang --bukan yang sekarang-- pertama hasil pilihan rakyat --yang wajahnya saya sangat kenali sekali-- memanggil saya ke ruang kerjanya, sehari setelah dilantik gubernur Sumbar.
Apa pasal? Mulanya saya pun tidak tahu. Tapi setelah saya diberitahu, barulah tahu. Ternyata sang Wako sedang punya mau dan berkeinginan betul saya pun mau. Apa itu?
Dia menawari saya --tepatnya meminta-- untuk membantu dirinya atas nama kota ini, sebagai pembantu dirinya. Bukan sebagai pembantu layaknya PRT (pembantu rumah tangga), tapi lebih dari itu. Sebuah status yang derajatnya --dan termasuk gajinya-- lumayan tinggi.
"Saya ingin anda bergabung dengan saya untuk bersama-sama membangun kota ini," katanya diplomatis yang menjadi bahasa standar seorang pejabat pemerintah.Saya hanya diam, menunggu kelanjutan omongannya.
"Atas nama kota dan warga, saya minta saudara untuk bersedia masuk ke dalam kabinet yang saya pimpin hingga 5 tahun ke depan," lanjutnya. Saya pun hanya diam, menunggu dia menyudahi maksud dan tujuan pembicaraannya.
"Anda saya tunjuk sebagai kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Kota Padang untuk memberikan sumbangsih terbaik bagi penataan transportasi dan urusan perhubungan lainnya. Saya percaya, anda mampu untuk itu," sebuah kata bujukan yang diplomatis sekali.
Mulut saya tetap diam, tapi pikiran saya tidak. Otak ini langsung berputar, memilih kata yang akan saya lontarkan untuk menjawab permintaannya. Selain itu, nurani saya pun sedang kerja keras, untuk memastikan apakah jabatan "pembantu" itu saya terima atau tolak.
Kolaborasi otak dan nurani ini, akhirnya menghasilkan putusan yang saya anggap terbaik bagi saya, baginya dan juga bagi kota ini. Jawabannya 5 huruf, tapi untuk menyampaikannya saya butuh berbagai kata yang harus saya rangkai agar tidak menyakiti perasaan atas kepercayaannya kepada saya.
"Maaf pak wali, bukan saya tidak mau membantu dan memberikan sumbangsih saya untuk kota tercinta ini, tapi saya merasa tidak akan mampu untuk itu," ucap saya yang ikut-ikutan berdiplomatis pula.
Kenapa saya menolak? Alasannya tidak saya ungkapkan langsung di hadapan beliau, karena saya sudah keburu bangun dari mimpi buruk itu.
Anda mungkin bertanya-tanya apa alasan saya menolaknya. Pertama, karena saya tahu ini hanya mimpi. Dan sangat mimpi pula rasanya, bila itu benaran terjadi. Jadi harap maklum, saya bukan pemimpi yang baik.
Supaya lebih puas, otak dan nurani saya telah saya paksakan pula untuk berkolaborasi kembali untuk menuangkan alasan yang pas atas penolakan saya ini.
Terus terang saya tidak mampu, karena sistem transportasi kita (Kota Padang-red) telah rusak parah oleh kebijakan, budaya dan kondisi sosial yang ada saat ini. Mulai dari pemindahan terminal AKAP-AKDP (Terminal Lintas Andalas-red) di Jalan Pemuda ke Aie Pacah dan pengalihfungsian terminal Angkot (Terminal Goan Hoat-red) menjadi pasar modern telah menghasilkan masalah baru, yang tidak hanya menjadi tugas dari Dishub tapi merembes ke Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) dinas lain.
Bukti dari kasus pertama itu (pemindahan terminal), ekonomi ambruk --seperti dikeluhkan pedagang Pasar Raya dulu-- lantaran sulitnya akses keluar masuk Kota Padang akibat jauhnya terminal dari pusat kota. High cost (biaya tinggi) muncul dari pemindahan ini, yang tidak hanya memberatkan pedagang luar yang ingin berbelanja kemari, tapi juga warga kota yang ingin bepergian. Berat di ongkos, kata singkatnya. Belum lagi rentetan masalah lainnya, yang kalau saya tuliskan di sini, tak akan cukup lantaran saya memang dibatasi oleh keterbatasan halaman.
Kasus selanjutnya (pengalihfungsian terminal), selain memukul ekonomi komunitas terminal yang ada sebelumnya, juga memicu terjadinya macet. Macet lantaran Angkot tidak lagi punya terminal, sehingga mereka ngetem menaikturunkan penumpang seenak perutnya, terutama di ruas Jalan M Yamin. Muncul pertumbuhan ekonomi baru yang berhasil diciptakan PKL di badan-badan jalan, menyusul ikut tergusurnya mereka dari terminal itu. Dan akhirnya, digusur lagi dengan alasan lainnya, yang sama-sama kita tahu.
Macet ini akan terus berlanjut, terlebih dengan beroperasinya pasar modern yang telah berhasil menggusur terminal itu (Sentral Pasar Raya-red) ditambah dengan mobilisasi konsumerisme warga saat ini ke pasar modern pertama (Plasa Andalas-red) yang berhasil mengambil alih pemanfaatan lokasi bekas terminal AKAP-AKDP. Warga --kalau memang belum bosan pecicilan di pasar modern-- dipastikan akan menyemut ke 2 pasar modern ini, baik yang pakai kendaraan sendiri maupun yang menumpang naik angkutan umum. Sementara, sudahlah terminal tidak ada, badan jalannya pun sempit dan bertambah sempit karena dipakai untuk parkir.
Itu baru secuil contoh dari hasil kebijakan, budaya dan kondisi sosial kita dalam penyikapan kasus "hilangnya" 2 terminal ini. Belum lagi yang lainnya, seperti yang saya tuliskan tadi, takkan cukup untuk ditulis karena saya dibatasi oleh keterbatasan halaman.
Namun untuk budaya dalam konteks prilaku, patut saya singgung sedikit dari fenomena yang terjadi kini. Lihatlah apa yang terjadi pasca dibolehkannya bus AKDP jurusan utara masuk kota. Kini mereka menjadi sumber utama masalah baru di ruas Jalan Hamka, yaitu kemacetan lantaran keenakan ngetem nungguin penumpang di sana (daripada nungguin penumpang di Terminal Regional Bingkuang yang tak ada siapa-siapa dan apa-apanya). Ini bukti konkret, diberi hati minta jantung! Atau dalam bahasa kolega saya yang bekerja di Dishub, "Balando mintak tanah". Padahal mereka ini telah diberi rambu-rambu dan aturan saat akan disetujui untuk masuk kota. Tapi karena keenakan --yang juga hasil dari rentetan masalah lainnya dalam penataan transportasi--, beginilah jadinya. Susah awak dibuek e.
Sedangkan dari kondisi sosial, juga rumitnya minta ampun. Warga kita ini kritisnya juga minta ampun. Kalamak diinyo, alun tantu lamak di urang. Lebih mengutamakan hak daripada kewajiban. Ada saja yang akan mancikaraui kebijakan yang akan saya keluarkan --bila saya mengiyakan diri menjadi Kadishub.
Saya jujur saja bila mimpi saya dipanggil walikota itu tidak terpotong karena keburu bangun, pastilah akan memenuhi permintaan sang Wako dengan hanya satu persyaratan. Yaitu, "Tolong saya dipertemukan dengan Lang Ling Lung, tokoh kartun ciptaan Walt Disney yang merupakan pencipta dan penemu mesin apa saja yang dibutuhkan orang. Saya ingin meminta kepadanya, mesin pemutar waktu. Dengan mesin itu, saya ingin mengembalikan kondisi kota ini seperti dulu. Dari situlah saya mulai bekerja dengan mengacu kepada RTRW yang telah disusun secara matang oleh pendahulu saya. Itu saja".
Karena permintaan saya ini tidak mungkin, dan saya bukanlah pemimpi, maka dengan ini saya menyatakan saya menolak menjadi Kadishub. Oleh karena itu, saya mohon maaf kepada Pak Wali dan warga kota atas penolakan saya ini. Terima kasih. (***)