MENGEJUTKAN. Begitulah kata yang pas untuk menyikapi usulan Pemprov Sumbar di bawah kepemimpinan gubernur Gamawan Fauzi dan Wagub, Marlis Rahman kepada DPRD Sumbar soal susunan pejabat yang baru dalam bentuk Ranperda Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Sumbar.
Mengejutkan karena bakal banyak pejabat yang non job lantaran adanya ide penghapusan jabatan wakil kepala dinas dan perampingan 18 dinas menjadi 15, 12 biro menjadi 8, asisten Setdaprov dari 4 menjadi 3. Konon katanya, susunan SOTK (Struktur Organisasi dan Tata Kerja) baru ini mengacu pada PP No 08 Tahun 2003 tentang SOTK, tapi kenyataannya jauh panggang dari api, karena struktur yang diajukan tetap menggelembung.
Bila di PP itu diamanatkan jumlah sekretaris daerah (Sekda) berjumlah 2, asisten 2, 6 biro, 10 dinas dan badan, di usulan Pemrov malah tetap gemuk karena diajukan 2 Sekda, 3 asisten, 8 biro, 15 dinas, 7 badan dan 3 kantor, serta 1 satuan polisi pamong praja.
Terlepas dari gemuk atau tidak gemuknya, maupun bakal ada yang gigit jari karena kagak punya jabatan lagi, yang paling mengejutkan adalah rencana “melikuidasi” Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) dengan meleburnya ke dalam Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (Tarkim). Apa pasal? Penggabungan ini jelas salah kaprah dan sebuah kemunduran dalam hal komitmen pengelolaan dan pengawasan lingkungan hidup (LH).
Di saat masalah LH menjadi isu internasional dan menjadi salah satu pertimbangan “pergaulan” global, Pemprov justru menganaktirikannya. Karena bergabung dengan Tarkim, jelas Bapedalda akan kehilangan taring. Menggabungkan dua institusi pemerintahan ini, benar-benar ide yang tak sehat dan terkesan asal main rampingkan saja.
Sebagai badan saja, Bapedalda saat ini masih kekurangan “power” untuk memaksakan keberpihakan pada lingkungan terhadap semua kebijakan yang dilahirkan pemerintah. Saat ini mereka sebatas hanya bisa koordinasi dengan dinas lainnya soal teknis. Belum mampu untuk menekan, mengingat masih begitu tingginya kepentingan politik dan ekonomi dari setiap kebijakan yang dimunculkan. Nah, apalagi kalau badan ini sampai dilebur dengan Tarkim yang notabene adalah instansi penuh proyek yang lebih memikirkan sisi ekonomis ketimbang LH.
Idealnya adalah mempertahankan Bapedalda dengan menambahkan “power” kepadanya untuk menjadi lembaga independen milik Pemprov yang mampu menekan setiap kebijakan pembangunan yang tidak sesuai dengan LH. Bisa? Tentu saja bisa bila ada political will dari Pemprov untuk itu.
Coba bayangkan, contoh simpel ini; untuk pembangunan mall saja yang menjadi gawe “bagian/biro” tertentu di pemerintahan tingkat rendah (kabupaten/kota) bersama investor yang menjadi mitranya, persyaratan lingkungan berupa dokumen Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) atau minimal UKL/UPL (usaha pengelolaan dan pemantauan lingkungan) masih saja tetap diabaikan. Mall-nya sudah berdiri dulu, dokumennya bisa dicicil kemudian, kayak main kredit di leasing saja. Malahan ada yang tetap cuek selama tidak gonjang-ganjing di media soal ini. Anjing menggongong kafilah tetap berlalu.
Padahal di dokumen ini, sudah jelas ada kajian-kajian lingkungan mall yang tak hanya mencakup soal pengelolaan limbahnya saja, tapi juga kajian dampak ekonomi, sosial atas keberadaan mall itu bagi pedagang kecil dan menengah yang ada di sekitarnya.
Atau untuk contoh yang lebih besar dan njelimet. Misalnya mengaitkan hubungan lintas sektoral antara Dinas Kehutanan (Dishut) dengan Bapedalda, justru tumpang tindih. Bila Dishut sibuk mengelola dan memanfaatkan hasil hutan, atau ngurusin HPH maupun IPH buat “perusahaan tukang tebang kayu”, Bapedalda justru sibuk bagaimana hutan itu bisa dipertahankan. Kalaupun “kalah auman”, minimal mereka menyuarakan agar dampak lingkungannya diminimalisir. Tapi mana bisa? Wong “uang kayu” lebih tebal daripada uang untuk mempertahankan keutuhan hutan. Ibaratnya, lebih gadang Pitmas (pitih masuak) dari Pitkel (pitih kalua) dalam hal pengelolaan kayu hutan ini.
Kini dengan dilikuidasinya Bapedalda dan menjadikannya “lingkup kecil” dari Dinas Tarkim, maka tunggu sajalah bagaimana pengawasan terhadap lingkungan akan semakin memble. Karena soal LH menjadi urusan nomor sekian-sekian dibanding keperluan pembangunan lainnya. Say goodbye se lah ka jargon (ucapkan selamat tinggal kepada) suistanable environmental development (pembangunan lingkungan berkelanjutan), dan wellcome to suistanable destruction development (pembangunan merusak berkelanjutan).
Beda kalau halnya, Dinas Tarkim yang dileburkan ke Bapedalda, sehingga hanya menjadi semacam bagian atau bidang tugas di instansi LH ini. Bisa dipastikan setiap kebijakan tata ruang dan pemukiman akan disesuaikan dengan
kepentingan lingkungan. Alangkah indahnya tata ruang daerah ini bersahabat dengan lingkungan, bukannya seperti sekarang, yang malah lingkungan hidup yang harus menyesuaikan diri dengan tata ruang. Kebablasan!!!
Solusinya? Pertahankan Bapedalda dan beri dia “power” sekuat-kuatnya untuk menjadi lembaga yang mampu menggigit “kafilah-kafilah” yang terbiasa berlalu. Bukannya melikuidasi yang pada akhirnya hanya mampu menggongongi kafilah dengan suara serak dan sayup-sayup tak (pernah) sampai! (***)
Postingan Terkait:
- Cukong Kayu Sumbar Akhirnya Ditahan
- Penilaian Adipura Tahap I (2005-2006)
- Retribusi Sampah
- Penilaian Adipura Tahap II (2005-2006)
- Jangan Kelewat Bangga Dapat Adipura
- Byar Pet, Listrik Kok Padam?
- Sumbar Terancam Bencana