NEGARA kita ini memang anomali. Apa saja yang tak terjadi di negara orang, bisa dibikin jadi di negeri yang katanya gemah ripah lo jinawiini. Segala sesuatu bisa dibikin menjadi terbalik dan dibalik. Maka jangan heran bila ada yang antipati, lalu demonstrasi. Yang tak ngerti, cukup gigit jari!!!
Anomali yang paling mengenaskan adalah tekad untuk mengentaskan kemiskinan. Bukannya mengentaskan kemiskinan rakyat yang betul-betul miskin dan sangat-sangat miskin, tapi justru menambah pundi kekayaan orang-orang yang tak masuk kategori miskin. Sebuah ironi bermuka dua dan benar-benar terjadi di ibu pertiwi ini.
Mau bukti? Simaklah pemberitaan-pemberitaan yang kini marak di media massa, baik lokal maupun nasional. Subjeknya, tak jauh-jauh dari wakil rakyat yang seharusnya merakyat dan memikirkan bagaimana rakyat yang diwakilinya bisa terentaskan dari kemiskinan yang membelitnya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Mereka justru memperkaya dan diperkaya oleh aturan-aturan yang notabene mereka ciptakan dari semua tingkatan.
Adalah "kolaborasi" eksekutif dan legislatif di tingkat pusat yang membikin anomali ini terjadi. Tak jelas, namun pasti ada simbiosis mutualisme (saling menguntungkan), sehingga muncul kebijakan yang tak populis sama sekali. Bila dulu kita dihebohkan dengan melonjaknya gaji aparatur pemerintahan dan DPR RI, kini kita dikagetkan lagi dengan kebijakan yang sama tapi tak serupa. Dalam artian, sama tujuannya yaitu memperkaya yang sudah kaya, kendati tak serupa bentuk aturannya.
Kini, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 37 Tahun 2006 tentang perubahan kedua atas PP No 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD, ada kebijakan yang membikin kaya para wakil rakyat ini. Di situ diatur soal adanya Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) bagi anggota dan pimpinan DPRD, serta Dana Operasional Pimpinan (DOP) DPRD. Yang kebablasannya, dalam PP yang ditandatangani Presiden RI, Dr H Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 November 2006 silam dan diundangkan pada Lembaran Negara RI Tahun 2006 No 90 itu, justru dibikin berlaku surut per 1 Januari 2006.
Maka sontak kaya mendadaklah para wakil rakyat tersebut, karena mereka dapat "durian runtuh" berupa rapel untuk setahun. Bayangkan saja, untuk TKI itu, besarnya paling tinggi 3 kali uang representasi ketua DPRD sebagaimana diatur Pasal 14A. Sedangkan DOP diberikan kepada ketua DPRD setiap bulan paling tinggi 6 kali uang representasi yang bersangkutan dan pada wakil ketua DPRD paling banyak 4 kali uang representasinya seperti diatur Pasal 14B Ayat 1 dan 2.
"Embel-embel" yang menjurus pada kamuflase bahwa tunjangan berupa uang yang diberikan kepada pimpinan dan anggota DPRD setiap bulan itu dalam rangka mendorong peningkatan kinerja dalam menampung aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya, dijadikan sebagai dalih untuk menyedot anggaran yang notabene berasal dari uang rakyat. Demikian juga dengan dana operasional, katanya, dimaksudkan sebagai uang yang diberikan kepada pimpinan DPRD setiap bulan, untuk menunjang kegiatan operasional yang berkaitan dengan representasi, pelayanan, kemudahan, dan kebutuhan lain guna melancarkan tugas dan fungsi pimpinan DPRD sehari-hari.
Jargon "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" yang biasa melekat dalam demokrasi kita, jelas telah disalahartikan dengan lahirnya PP ini. Yang terjadi justru "dari rakyat, untuk wakil rakyat, oleh pemerintah rakyat", rakyat dibikin sekarat.
Di tingkat lokal saja, misalnya di Kota Padang, betapa akan kayanya para legislator itu. Hitung saja, di tahun anggaran 2006, besarnya uang representasi ketua DPRD sebanyak Rp 2,1 juta perbulannya. Artinya, untuk TKI paling tinggi anggota DPRD menerima sebanyak Rp 6 juta/bulan. Karena berlaku surut, diperkirakan akan menerima Rp 72 juta (sampai Desember 2006). Untuk DOP, ketua DPRD diperkirakan menerima paling banyak Rp 12 juta sebulan atau Rp 144 juta (untuk 12 bulan). Sedangkan wakil ketua DPRD bakal menerima paling banyak Rp 8 juta sebulan atau Rp 96 juta selama 2006 ini.
Walah!!! Ternyata emang enak jadi wakil rakyat dan pantesan banyak orang berebut menjadi Caleg, mengingat begitu besarnya feed back yang mereka terima. Selain menaikkan gengsi dan status, tentu saja menambah pundi-pundi pribadi.
Syukurnya, dari 45 anggota dewan Kota Padang, ternyata masih ada 1 orang yang berpikir waras untuk menolak penganggaran rapel TKI dan DOP ini. Dialah H Erfan, anggota Fraksi PAN yang tanpa tedeng aling-aling langsung bikin pusing semua koleganya dengan melontarkan penolakannya itu di hadapan sidang paripurna yang katanya sidang orang-orang terhormat tersebut.
Alasan penolakannya, cukup jelas dan sungguh waras. Katanya, penganggaran rapel untuk TKI dan DOP yang mencapai Rp 13,6 miliar di RAPBD Padang 2007 tidak dapat dipertanggungjawabkan. Apalagi rapel itu memang tidak dapat diukur secara rasional dan tidak jelas tujuan, sasaran serta hasil dan manfaatnya, mengingat penganggaran saat ini telah berbasiskan kinerja.
Sayangnya baru seorang Erfan yang menolak rapel itu. Sehingga penghematan anggaran yang katanya berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) tersebut, sama sekali tidak signifikan. Tetap saja dana besar itu akan digelontorkan untuk mengentaskan kemiskinan para wakil rakyat ini. Maka, terimalah kenyataan bahwa yang kaya bertambah kaya, yang miskin akan semakin miskin, lalu mati... Sama matinya dengan nurani berpikir pemimpin negeri ini. (***)
Postingan terkait: -Wakil Rakyat (Masih) Suka Pecicilan