Dari Pemantauan II Adipura di Sumbar (1)
Kejar Adipura, Lingkungan Kota Dibenahi
Adapun 13 kota yang dipantau adalah Kota Padang untuk kategori kota besar, Kota Payakumbuh untuk kategori kota sedang, dan 11 kota kecil, yaitu Padangpanjang, Pariaman, Bukittinggi, Lubuk Sikaping, Lubuk Basung, Solok, Sawahlunto, Painan, Muaro Sijunjung, Batusangkar dan Simpang Ampek. Dari semua kota itu, 3 kota di antaranya adalah penerima Adipura 2005, yaitu Kota Padang, Solok, dan Padangpanjang.
Kabupaten/kota yang dipantau tersebut, harus memenuhi kriteria memiliki jumlah penduduk minimal 20 ribu jiwa dan terdapat fasilitas perkotaan yang akan dijadikan objek penilaian. Keikutsertaan mereka dalam penilaian Adipura ini, tak lagi bersifat sukarela, melainkan wajib pantau dan dibina pemerintah pusat serta pemerintah provinsi.
Pemantauan dilakukan pada lokasi yang telah ditentukan, meliputi perumahan (perumahan menengah dan sederhana, serta --kalau ada-- perumahan pasang surut), sarana kota (jalan arteri dan kolektor, pasar, pertokoan, perkantoran, sekolah, rumah sakit, Puskesmas, taman kota, hutan kota), sarana transportasi (terminal bus/Angkot, pelabuhan sungai dan terminal penumpang, stasiun kereta api), sarana kebersihan (TPA dan komposting), perairan terbuka (sungai/saluran terbuka/danau/situ) dan pantai wisata. Semua objek lokasi itu, berbeda-beda jumlah titik pantaunya pada masing-masing kota, tergantung pada kategori kota, peserta baru dan lama, serta pernah tidaknya mendapat Adipura.
Lantaran pemantauan kali ini adalah penilaian tahap II, maka wajar apabila seluruh kota membenahi kekurangan-kekurangannya yang ditemukan pada penilaian tahap I. Mereka berlomba-lomba mewujudkan kota bersih dan teduh (clean and green city) demi menggapai piala Adipura.
Drainase Bermasalah di Kota Solok
Dari pemantauan yang dilakukan Kelompok VI yang terdiri dari Usnadi SH, Suardi, dr Zulkarnaen Agoes MPH MSc dan M Arif Noviady ST di Kota Solok, kekurangan yang paling mendasar adalah kebersihan drainase. Kendati tidak semua drainase yang ditemukan jelek, tapi setidaknya kondisi drainase di titik pantau tertentu turut mempengaruhi nilai.
Seperti drainase di perumahan Nusa Indah banyak ditemukan gulma dan sedimen serta sedikit sampah di dalamnya. Berbeda halnya dengan Perumahan Pemda dan Perumahan PLN yang bisa dikatakan tidak ada masalah dengan drainasenya. Namun secara keseluruhan, untuk kebersihan lingkungan perumahan bisa dikatakan cukup baik. Cuma saja sebaran dan fungsi pohon peneduh patut ditambah guna menciptakan suasana teduh di masing-masing perumahan. Kalau pun tidak tersedia lahan, bisa diakali dengan menyemarakkan penghijauan di rumah-rumah warga.
Sementara di jalan arteri/protokol, seperti Jalan KH Ahmad Dahlan dan Jalan Sutan Pamuncak, di drainasenya juga ditemukan gulma dan sedimen. Sedangkan di Jalan Soekarno Hatta, Jalan Lubuk Sikarah dan Jalan Hamka, kondisi drainasenya tertutup, sehingga tidak dilakukan penilaian.
Di jalan kolektor seperti Jalan A Yani, Jalan KH Dewantoro, Jalan Proklamasi, Jalan Lasitarda, Jalan Tembok Raya, Jalan Bahar Hamid, Jalan Dt Perpatih Nan Sabatang dan Jalan Perwira, hanya ditemukan sedikit sampah, gulma dan sedimen di dalam drainasenya.
Kondisi drainase paling buruk, ditemukan di Pasar Raya Solok. Drainasenya dipenuhi sampah yang menyumbat, sehingga menyebabkan terjadinya genangan air dan berkembangbiaknya jentik-jentik nyamuk. Sedangkan di lingkungan pendidikan, drainase bermasalah hanya ditemukan di STAI.
Secara umum, drainase di titik pantau seperti kantor walikota, kantor BRI serta kantor Pajak Bumi dan Bangunan, SD 14 Laing, SMK 1, RSUD Kota Solok, Puskesmas KTK dan terminal Bareh Solok dinilai cukup dan sangat baik. Namun yang patut diperhatikan adalah kondisi bantaran Batang Lembang yang banyak ditemukan sampah berserakan. Termasuk sampah di badan air sungai itu serta di Batang Bingung.
Sedangkan secara keseluruhan, dari parameter penilaian di setiap kategori titik pantau, kondisi Kota Solok bisa dikatakan cukup baik. Maka wajar pada 2005 lalu, kota ini mendapat Adipura. Tapi apakah pada 2006 ini mereka akan mampu mempertahankan anugerah itu, patut ditunggu pada saat pengumuman nanti. (bersambung)
Dari Pemantauan II Adipura di Sumbar (2)
Kota Sawahlunto dan Muaro Sijunjuang Perlu Benahi TPA
DALAM pemantauan Adipura, penilaian terhadap tempat pembuangan akhir (TPA) sampah sangat berperan besar dalam pemberian nilai. Pasalnya komponen dan sub komponen penilaiannya jauh lebih banyak ketimbang titik pantau lainnya.
Sedikitnya, ada 4 komponen yang dinilai yaitu prasarana dasar dan sarana penunjang, sarana pencegahan dan pengendalian pencemaran, kondisi lingkungan, serta operasional TPA. Ke-4 komponen itu terbagi pula atas sub komponen masing-masing, yang bila ditotal jumlahnya sebanyak 19 item plus penilaian untuk pengomposan. Maka jangan heran apabila sebuah kota yang mempunyai TPA cukup baik, dipastikan mendapat Adipura.
Di Kota Sawahlunto dan Muaro Sijunjung, kondisi TPA inilah yang menjadi persoalan utama. Karena hampir sebagian besar komponen dan sub komponen penilaian tidak terpenuhi. Namun begitu, dari penilaian Kelompok VI yang terdiri dari Usnadi SH, Suardi, dr Zulkarnaen Agoes MPH MSc dan M Arif Noviady ST, TPA Kayu Gadang di Kota Sawahlunto sedikit lebih baik ketimbang TPA Muaro Batuak di Kota Muaro Sijunjung.
Di TPA Kayu Gadang, jalan masuknya berupa tanah dan bebatuan yang banyak ditemukan lubang jalanan. Di sana tidak ada kantor pos jaga, pagar, garasi untuk alat berat, alat berat untuk operasional dan sistem pencatatan sampah. Juga tidak ada drainase, saluran lindi, sumur pantau dan penanganan gas. Ditemukan banyak lalat dan adanya pembakaran sampah di lokasi TPA. Di sini tidak ada pengaturan lahan, namun ada penimbunan dan penutupan sampah dengan tanah dalam rentang waktu tidak tertentu. Juga tidak ada pengomposan di TPA ini.
Sementara di TPA Muaro Batuak, persis sama dengan TPA Kayu Gadang. Cuma saja di sini tidak ada pengaturan lahan, penimbunan dan penutupan sampah dengan tanah. Bedanya, di TPA ini ada pos jaga, tapi sayangnya tidak pula terawat.
Untuk titik pantau lainnya, seperti Perumahan Lembah Sanur, Kompleks PLN Siang Balau, Perumahan Tanah Lapang di Kota Sawahlunto jauh lebih baik ketimbang Perumahan Wisma Indah Gambok, Kompleks Pemda, Perumnas Sarasah dan Kompleks Polri di Kota Muaro Sijunjung. Di perumahan Kota Muaro Sijunjung itu, pada umumnya masih banyak ditemukan gulma dan sedimen serta sedikit sampah di drainasenya, pohon peneduh dan penghijauan pun masih kurang. Bahkan di beberapa gang di Perumahan Wisma Indah Gambok, terlihat adanya pembuangan sampah pada jurang yang berada di sisi samping rumah warga.
Sedangkan untuk jalan arteri, Kota Muaro Sijunjung juga kalah jauh dibanding Kota Sawahlunto. Jalan M Yamin, Jalan Sudirman dan Jalan Adinegara, kebersihannya cukup baik, cuma saja pohon peneduh dan penghijauan masih kurang. Fisik trotoarnya pun tidak terawat, sehingga mengganggu kenyamanan pejalan kaki. Berbeda halnya dengan jalan arteri di Kota Sawahlunto, yaitu Jalan Sudirman, Jalan Soekarno-Hatta, dan Jalan A Yani.
Demikian pula dengan jalan kolektor di Kota Sawahlunto, seperti Jalan Proklamasi, Jalan Kampung Teleng, Jalan Rumah Sakit dan Jalan Saringan kondisinya juga lebih baik dari Jalan Arif Rahman Hakim, Jalan Logas, Jalan M Syafei dan Jalan Rasuna Said di Muaro Sijunjung.
Sedangkan kondisi pasar di kedua kota ini, bisa dikatakan masih kurang kebersihannya. Terlebih lagi tidak adanya TPS di Pasar Sawahlunto, Pasar Silungkang dan Pasar Sijunjung yang menyebabkan sampah berserakan di lokasi pasar. (bersambung)
Dari Pemantauan II Adipura di Sumbar (3)
Lubuk Sikaping Harus Belajar ke Padangpanjang
SEBAGAI kota langganan penerima Adipura, Kota Padangpanjang pantas dijadikan contoh oleh Kota Lubuk Sikaping dan juga kota-kota lainnya di Sumbar. Komitmen Pemko Padangpanjang untuk menciptakan kota bersih dan teduh, membawa kota ini sebagai kota idaman. Kendati begitu, tentu saja masih ada kekurangan-kekurangan yang patut dibenahi. Begitu pula halnya dengan Lubuk Sikaping, jika ingin mendapat prestasi serupa Padangpanjang.
Dari pemantauan yang dilakukan Kelompok IV yang terdiri dari Yulianti MT, Rina Ariani SE, Dr Irsan Ryanto, serta saya sendiri di Lubuk Sikaping, secara umum kondisi lingkungan perkotaan cukup bagus. Di beberapa titik pantau, seperti Perumahan Pemda, Perumahan Polri dan Perumnas Tanjung Baringin, kebersihannya cukup baik. Tinggal lagi fungsi pohon peneduhnya terus ditingkatkan dengan melakukan pemeliharaan, mengingat sebarannya sudah sangat baik.
Sedangkan di jalan arteri dan kolektor, pohon peneduhnya pun cukup baik. Cuma di Jalan Agus Salim saja yang perlu dilakukan penambahan sebaran pohon peneduh, karena masih ada ruang untuk itu. Bahkan kalau boleh dikatakan, Jalan kolektor di Lubuk Sikaping seperti Jalan Diponegoro, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Rohana Kudus, Jalan Sam Ratulangi dan Jalan M Yamin, pohon peneduhnya jauh lebih baik ketimbang jalan kolektor di Padangpanjang.
Begitu juga dengan lokasi pertokoan Ruko Sudirman, perkantoran seperti kantor bupati Pasaman, kantor DPRD, Bank Nagari dan sekolah seperti SD 10, TK Bhayangkari, SMP I, SD 05, SMA I, serta taman Tugu Perjuangan, bisa dikatakan kondisinya sudah baik. Yang harus dibenahi adalah Pasar Lama Lubuk Sikaping, Pasar Benteng, Terminal Benteng, RSUD Lubuk Sikaping, Puskesmas Lubuk Sikaping, Taman Auditorium. Dan yang sangat penting adalah pembenahan operasional TPA Bukik Acek.
Khusus TPA, tidak ada salahnya Lubuk Sikaping mencontoh ke TPA Sungai Andok, Padangpanjang. TPA di Padangpanjang ini, bisa dikatakan TPA terbaik di Sumbar. Seluruh komponen dan subkomponen penilaian Adipura di lokasi ini, secara umum sangat bagus. Jalan ke lokasi TPA sangat baik, ada pos jaga yang mencatat besaran sampah yang masuk, ada garasi, alat berat, drainase, sumur pantau, penanganan gas, tidak ada pengasapan, pengaturan lahan dan penimbunan sampah secara berkala.
Sedangkan khusus perairan terbuka di Lubuk Sikaping, seperti Batang Baluka, Batang Mauah, Batang Panapa, Batang Anang, dan Batang Sumpu harus diakui jauh lebih baik ketimbang Batang Bakarek-karek dan Parik Rumpang di Padangpanjang. Perairan terbuka di Lubuk Sikaping, kondisinya masih asri, sampah hanya sedikit di badan dan bantaran air, kecuali di Batang Anang.
Untuk Kota Padangpanjang, sebagai penerima Adipura 2005, yang sangat perlu diperbaiki memang hanya perairan terbuka itu. Dan sedikit pembenahan untuk pengelolaan sampah medis dan incenerator yang belum efektif meski sudah ada di RSUD Padangpanjang. Termasuk penambahan penghijauan dan pohon peneduh di Puskesmas Koto Katik, peneduh di Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan KH Ahmad Dahlan, penanganan sampah dan penghijauan di Pasar Baru, penghijauan di pertokoan Khatib Sulaiman dan Imam Bonjol, serta di terminal Pasar Baru dan terminal Kantin.
Selebihnya, Padangpanjang memang pantas mendapat Adipura dan pantas pula menjadi objek studi banding daerah lain untuk belajar menjadikan kota bersih dan hijau. (bersambung)
Dari Pemantauan II Adipura di Sumbar (4)
Simpang Ampek Mesti Berbenah
KOTA Simpang Ampek harus terus berbenah, jikalau memang berniat menciptakan kota bersih dan teduh sekaligus mendapatkan piala Adipura. Karena dari pemantauan yang dilakukan, masih banyak kondisi titik pantau yang belum mendapat penanganan yang baik.
Sebagaimana dilaporkan Kelompok V yang terdiri dari Irma Suriani SSos, Lindayati, Ir Neldi Armon MS dan Afrianingsih SP yang melakukan pemantauan ke kota tersebut, perhatian serius dari Pemkab setempat memang sangat diperlukan sekali. Di kota ini, bukan hanya segi kebersihan lingkungan saja yang patut diperhatikan, tapi juga penataan kota. Dari 26 titik pantau yang dinilai, yang paling menjadi perhatian di kota ini adalah belum adanya tempat pembuangan sampah akhir. Tanpa adanya sarana ini, maka sampah-sampah yang berasal dari lingkungan akan di buang pada tempat seadanya.
Mungkin ini juga yang menjadi penyebab jalan-jalan utama di kota ini masih terdapat sampah berserakan. Di Jalan KH Dewantara, Jalan Simpang Ampek Talu Kampung Pasir dan Jalan Aur Kuning Suka Menanti sampahnya masih berserakan, serta pohon peneduhnya masih belum memenuhi fungsi dan sebarannya. Demikian juga dengan kondisi drainase yang tak beraturan, sehingga tidak jelas apakah jalan tersebut memiliki drainase atau tidak.
Kondisi yang sama juga terjadi untuk lingkungan pasar. Di Pasar Padang Tujuh dan Pasar Simpang Empat sampah bertumpuk dan berserakan. Bahkan di pasar tersebut tidak terdapat tempat sampah yang memadai. Sedangkan untuk kondisi lingkungan sekolah, di SMA 1, SMP 1, SD 16, SD El Maarif sampah juga berserakan. Tapi di STIT YAPTIP cukup bersih dan pohon peneduhnya juga cukup. Sedangkan di SD 26, WC-nya kurang bersih, karena kurang terawat.
Bahkan yang menjadi sorotan, di RS Ibnu Sina dan RSUD Simpang Ampek, drainasenya tidak berfungsi, banyak terdapat sampah sehingga menyumbat. Dan di beberapa lokasi pelayanan kesehatan itu masih terdapat sampah berserakan. Untuk RS Ibnu Sina, mungkin hal ini disebabkan karena sedang dalam pembangunan. (bersambung)
Dari Pemantauan II Adipura di Sumbar (5)
Lubuk Basung Lebih Baik Dari Kota Pariaman
Pemkab Agam sepertinya sangat serius untuk membenahi Kota Lubuk Basung menjadi kota bersih dan teduh. Di sana-sini, telah dilakukan perbaikan untuk mengantarkan kota ini menjadi clean and green city. Kendati masih ditemukan sejumlah kekurangan, kondisi Kota Lubuk Basung bisa dikatakan jauh lebih baik ketimbang Kota Pariaman.
Sebagaimana dilaporkan Kelompok V yang terdiri dari Irma Suriani SSos, Lindayati, Ir Neldi Armon MS dan Afrianingsih SP yang melakukan pemantauan kedua kota tersebut, di Kota Lubuk Basung jalan utamanya, seperti Jalan Gajah Mada, Jalan Soekarno dan Jalan Sudirman hanya ditemukan sedikit sampah. Sedangkan untuk pohon peneduh boleh dikatakan telah memenuhi fungsi dan sebaran. Sementara lingkungan perumahan, seperti asrama Polri, Perumahan Pemda dan Perumahan Talago Permai penghijauannya cukup baik dan cukup bersih dari sampah. Di perumahan Talago Permai sudah terdapat pembuatan kompos yang berasal dari sampah rumah tangga.
Kawasan Pasar Lama dan Pasar Inpres Lubuk Basung cukup bersih walaupun masih terdapat beberapa sampah. Sedangkan penghijauan dan WC-nya cukup baik. Sementara sarana pendidikan di kota ini, SD 01 Balai Ahad, SMA 1, SMP 1, SDN 10 Sangir, SMP 3, SD 6, SMA 2 dan STIKES, sampah hanya sedikit dan pohon peneduh cukup baik. Namun kondisi WC di SMP 3 dan SD 6 cukup bau, walaupun berkesan bersih namun kurang terawat. Sedangkan Puskesmas Lubuk Basung dan RSUD juga bersih. Sayangnya untuk TPA, di kota ini masih belum memadai. Sebab meskipun telah terdapat TPA, namun sarana penunjang dan kelengkapan dari TPA itu sendiri perlu ditambah.
Sedangkan di Kota Pariaman, yang menjadi permasalahan juga karena tidak memadainya TPA. Kondisi TPA kurang terawat. Namun Pemko setempat kabarnya sedang mengupayakan untuk melakukan pemindahan TPA tersebut, lantaran jalan di sepanjang TPA tersebut akan menjadi jalan penghubung ke Bandara Internasional Minangkabau.
Untuk kondisi perumahan, perumahan Kampung Keling, Kampung Baru dan Asrama Polri masih terdapat sampah. Demikian juga di Jalan Syech Burhanuddin, Jalan Sudirman, Jalan Imam Bonjol dan Jalan Diponegoro. Sementara Pasar Kuraitaji dan Pasar Pariaman perlu diberi pohon peneduh atau dilakukan penghijauan. Selain itu perlu ditambah tempat sampah, sehingga sampah tidak berserakan. Demikian juga drainase yang perlu diperhatikan, karena di beberapa tempat drainasenya tersumbat.
Di terminal, juga perlu ditambah pohon peneduh. Sementara itu di SMK 2, sarana kebersihan lingkungan sekolah dan WC perlu ditingkatkan. Untuk SMA1, SMK 2, SD 29, SMP 1 dan SD 17 pohon peneduh hanya ada di setengah lokasi. Sedangkan kawasan wisata Pantai Cermin cukup bersih dan penghijauan memadai. Namu perlu ditambah tempat sampahnya, karena jarak antar tempat sampah cukup jauh. (bersambung)
Dari Pemantauan II Adipura di Sumbar (6)
Adipura Bukittinggi Tersandung TPA
JIKA saja Kota Bukittinggi mempunyai TPA bukan di kawasan Panorama II, dipastikan pada 2005 lalu kota ini tidak sekedar mendapat Sertifikat Adipura, tapi justru Piala Adipura. Diperkirakan, langkah Bukittinggi mendapat penghargaan tertinggi di bidang kebersihan lingkungan tersebut, tersandung oleh penempatan lokasi TPA di kawasan ngarai tersebut.
Alasan utama mengapa TPA Panorama II itu menjadi batu sandungan bagi Bukittinggi adalah lokasi itu adalah kawasan wisata yang merupakan daerah patahan dan catchment area (daerah resapan air) dengan kemiringan 90 derajat yang sebenarnya patut dilindungi dan dilestarikan. Tapi oleh Pemko Bukittinggi, sampah dibuang begitu saja ke dalam jurang. Mereka membuang layaknya orang membuang sampah ke sungai.
Dari daerah ketinggian, sampah dijatuhkan ke dalam ngarai. Bisa dibayangkan, sebelum mendarat, sampah-sampah ringan beterbangan dan lalu "hinggap" di lokasi yang tidak semestinya. Sementara yang mendarat tepat di sasaran, semakin lama semakin menumpuk (karena tidak ada dilakukan perataan sebagaimana dilakukan di TPA lain).
Dampaknya, lama kelamaan tumpukan sampah ini menjadi polutan (pencemar) terbesar air bawah tanah. Tragisnya, di ngarai tersebut banyak mata air dan anak sungai yang mengalir terus ke hilir dengan membawa "cemaran" dari sampah itu.
Sementara dari sisi penilaian Adipura, kondisi TPA serba tak layak ini, membikin penilaian untuk seluruh kriteria di Kota Bukittinggi menjadi down (turun-red). Hampir seluruh kriteria untuk TPA dinilai sangat jelek oleh tim dengan range nilai 30-45. Seperti tidak adanya pagar TPA --wajar, karena memang Panorama II itu sebenarnya bukanlah TPA--, tidak ada alat berat dan garasinya, tidak ada drainase, tidak ada lindi yang keluar karena langsung meresap ke dalam tanah, tidak tersedia sumur pantau/monitoring, tidak ada fasilitas penanganan gas metan, banyak lalat, ada asap, sampah terbuka di seluruh permukaan lahan pembuangan, tidak ada pengaturan lahan atas zona, blok dan sel, pembuangan sampah di sembarang tempat, dan sebagainya.
Seandainya Pemko Bukittingi memindahkan lokasi TPA-nya ini, dengan menerapkan dengan baik komponen dan sub komponen penilaian Adipura di TPA baru itu, dipastikan kota wisata tersebut Adipura. Apa pasal? Karena untuk lokasi titik pantau lainnya di kota itu, bisa dikatakan sudah bagus, bersih dan teduh. Mulai dari kawasan perumahannya, jalan arteri dan kolektor, perkantoran, kawasan pendidikan, rumah sakit dan Puskesmas, dan bahkan pasar sekalipun bisa dikatakan baik.
Paling yang perlu dilakukan pembenahan adalah WC pasar, penanganan sampah pasar, sampah di Batang Agam dan Batang Tambuo, penghijauan kawasan pertokoan, serta memperhatikan kondisi fisik SMP 3 dan SMP 4 yang sangat memprihatinkan. Dengan begitu, warga Bukittinggi tinggal menjemput Adipura untuk kategori kota kecil datang ke kotanya. (bersambung)
Dari Pemantauan II Adipura di Sumbar (7/habis)
Pemko Payakumbuh Serius Incar Adipura
PADA penilaian Adipura Tahap I, Kota Payakumbuh berhasil memperoleh nilai 69,06 atau kurang 0,94 lagi untuk mendapat angka 70. Entah ada kaitannya dengan perolehan nilai tersebut atau tidak, tapi yang pasti Pemko Payakumbuh nampak serius membenahi kotanya. Mereka --tentu saja-- berharap piala Adipura menjadi prestasi lanjutan setelah sebelumnya mendapat penghargaan Kota Sehat.
Saking seriusnya, Pemko Payakumbuh rela "meninggalkan" TPA Kubu Gadang dan membangun TPA baru di Ampangan. Sebuah keputusan berani untuk menunjukkan bahwa mereka komit menciptakan kota bersih dan teduh yang diidamkan setiap warganya.
Sayangnya, kendati TPA Ampangan jauh lebih baik ketimbang TPA Kubu Gadang, namun lokasi baru itu masih diliputi kekurangan di sana-sini. Di antaranya belum ada pos jaga sehingga tidak ada pencatatan terhadap sampah yang masuk, tidak ada pagar dan drainase, ditemukannya lindi yang tidak diolah dengan baik, sumur pantau yang belum berfungsi sebagaimana layaknya, tidak ada penanganan gas, ada asap terus menerus --karena sampahnya sengaja dibakar, tidak ada pengaturan lahan atas zona, blok dan sel, penimbunan sampah dilakukan di sembarang tempat dan penutupan sampah dengan tanah tidak dilakukan secara rutin.
Selain TPA, hampir sebagian besar titik pantau di kota ini, bisa dikatakan sudah cukup baik. Paling yang menjadi ganjalan dan harus terus dibenahi adalah sampah, drainase dan pohon peneduh serta penghijauan di kawasan Pasar Payakumbuh dan Pasar Ibuh, terminal Sago dan terminal Pasa Kabau.
Sedangkan untuk perumahan seperti Perumahan Kodim, Taman Mutiara dan Padang Lebar, kebersihan dan keteduhannya sudah cukup baik. Begitu juga dengan jalan arteri seperti Jalan Soekarno-Hatta dan Jalan Sudirman, serta jalan kolektor seperti Jalan Rasuna Said, Jalan Pahlawan, Jalan Ade Irma Suryani dan Jalan M Yamin. Serta perkantoran seperti Balaikota Bukik Sibaluik, kantor BRI dan PN Payakumbuh, juga sudah baik.
Untuk titik pantau sekolah yang dipantau Kelompok IV yang terdiri dari Yulianti MT, Rina Ariani SE, Dr Irsan Ryanto serta saya sendiri, yang menjadi masalah adalah kondisi WC di SMP 1, SD 11 Padang Kaduduk, SD 02 dan SMA II, cukup bau. Sementara di SMP 9, TK Raudhatul Jannah, SMA I, SMP 8, SMK I dan Ponpes Ma'had Islamy cukup baik. Secara umum, kondisi lingkungan di semua lembaga pendidikan itu bisa dikatakan sudah baik. Demikian juga dengan RSUD Adnaan WD, RS Ibnu Sina, Puskesmas Tiakar dan Puskesmas Ibuh. Cuma yang perlu diperhatikan adalah keseriusan untuk memisahkan limbah medis.
Demikianlah kondisi yang dipantau tim penilai Adipura untuk Tahap II. Apakah Kota Payakumbuh dan kota-kota lainnya bakal mendapat Adipura? Semua itu tergantung pada kalkulasi nilai yang kini sedang disusun tim Kementerian Lingkungan Hidup RI. Tapi bukan berarti kota yang tidak dapat Adipura nanti, harus bersurut langkah mengelola kotanya menjadi bersih dan teduh. Kegagalan mendapatkan Adipura harus dijadikan sebagai cambuk untuk menjadi yang terbaik.
(***)
Khusus penilaian Kota Padang dan Batusangkar, lihat laporan
Padang Ekspres.