Mendengar kabar duka ini, terus terang saya terkejut. Karena selama ini yang saya tahu dia sehat-sehat saja. Kalau pun sakit, Codot berusaha menyembunyikannya. Justru istrinyalah, Hj Ellyta yang selama ini harus berjuang dengan penyakit yang dideritanya.
Tapi bisa jadi kepergiannya yang serba mendadak ini --karena sakit jantung yang menderanya--, terkait juga dengan kebiasaan buruknya yang sehari menghabiskan minimal 2 bungkus Gudang Garam Surya dan kegemarannya ngopi. Namun begitu, soal ajal, kuasa Allah sepenuhnya.
Irawadi Uska yang lebih tenar dengan panggilan Codot, saya kenal dan mulai dekat --walaupun sudah sebelum-sebelumnya sudah tahu dengan dia-- ketika dirinya ikut meramaikan pesta demokrasi pemilihan walikota Padang pada awal 2003. Kendati pada akhirnya dia tersingkir dari pencalonan, lantaran tidak ada satupun fraksi di DPRD Padang yang mengusulkannya.
Hubungan kami terus berlanjut, layaknya ayah dengan anak, abang dengan adik. Kendati terpaut umur cukup jauh --usianya sepantaran ayah saya--, saya biasanya memanggil Abang kepadanya. Dari sebegitu banyak relasi yang saya kenal, Codot adalah salah satu relasi yang lumayan dekat dengan saya. Berkali-kali dia mengontak, apabila ada info terbaru yang layak diberitakan.
Tak hanya itu, Codot tak segan-segan untuk mengajak ke lapangan guna memperlihatkan realita yang terjadi di tengah masyarakat. Dari fakta dan data valid yang dipunyanya, dia berani angkat bicara. Codot tak pernah segan untuk menyampaikan isi kepalanya, kendati itu harus bersinggungan dengan pengambil kebijakan. Tapi, itulah dia, berani dan keras kepala.
Kevokalan Codot terlihat jelas ketika dirinya dipercaya sebagai wakil rakyat di DPRD Padang (1987-1997) maupun di DPRD Sumbar (2004-hingga akhir hayatnya). Di balik kevokalannya, Codot menyimpan sisi kemanusiaan yang tak banyak diketahui orang. Dia tak segan-segan mengorbankan harta bendanya bagi kaum papa. Bahkan satu komunitas nelayan pun dibinanya untuk hidup lebih baik dengan menggunakan apa yang dimilikinya, termasuk mengandalkan kemampuan lobinya.
Namun di balik semua itu, sebagai politikus, dia tak jarang harus kecewa menjadi korban permainan politik. Salah satu yang mungkin dirasakannya sangat mendalam, ketika dirinya dijegal untuk maju sebagai kandidat wakil gubernur dari Partai Demokrat Sumbar yang dipimpinnya. Dia mengaku dikadali rekan-rekannya. Sebagai pengobat hati, kepada saya Codot bilang, "ndak ambo pikiaan bana tu doh". Walau saya tahu, hatinya terluka karena itu.
Kini dia pergi.., dengan beberapa bengkalai yang mesti diselesaikannya. Di antaranya mewujudkan Minang TV mengudara di jagad pertelevisian Sumbar dan meneruskan roda kepemimpinan Partai Demokrat Sumbar yang masih dipegang Plt ketua, pasca kisruh Musda yang digelar awal Januari lalu di Bukittinggi.(***)
Berikut ini tulisan saya tentang Codot yang pernah
diterbitkan POSMETRO PADANG beberapa waktu lalu.
Dari Lapangan Bola, Ke Panggung Politik
SIAPA yang tak kenal dengan Pele. Pemain sepakbola Brazil yang melegenda itu, ternyata juga sukses menapak karir di "dunia lain". Dia dipercaya sebagai Menteri Olahraga negara penghasil kopi tersebut. Hal serupa juga dijabani mantan kapten kesebelasan Malaysia, So Chin An. Karena aktif di UMNO, dia akhirnya ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan negeri jiran tersebut.
Dalam skala lokal Sumbar, hal serupa juga terjadi pada mantan pesepak bola PSP Padang era 80-an, Codot. Pemilik nama asli Drs H Irawadi Uska BAc itu, ternyata tidak hanya ngetop sebagai goal getter PSP, tapi juga ngetop di panggung politik. Pernah menjadi anggota DPRD Kota Padang selama 2 periode (1987-1997), dan kini menjadi anggota DPRD Sumbar 2004-2009, Codot adalah sebuah fenomena lokal, bahwa "bola" bisa diarak dari lapangan ke panggung politik.
"Untuk mencetak gol, kini harus melalui sistem jemput bola. Begitu pula --seharusnya-- dengan orang politik. Jangan menunggu "bola", tapi jemputlah "bola" untuk mengetahui persoalan-persoalan apa saja yang sebenarnya tengah terjadi di masyarakat dan patut diperjuangkan," begitu katanya.
Sebagai pemain bola, Codot mengawalinya dengan bermain di PSP Yunior pada tahun 1968. Kelincahannya mengutak-atik "si kulit bundar" dan menjebloskannya ke gawang lawan, membuat dia dipromosikan ke PSP Senior. Di sinilah bintang terang semakin menyinarinya sebagai pesepak bola dan sempat melanglang buana membela PSP melawan kesebelasan Malaysia dan Thailand. Di kancah Divisi Utama Perserikatan, bersamanya PSP pun sempat menuai prestasi 12 besar nasional.
Codot telah mulai bermain bola ketika masih kanak-kanak. Di tahun 60-an, anak-anak bermain bola dengan bola karet, semacam bola yang terbuat dari getah karet yang diisi daun kerisik. Mereka bermain di mana saja, di halaman rumah, di pojok jalan, di taman-taman kota. Begitu pula dengan Codot. Dia pernah mengikuti pertandingan antar sekolah rakyat (SR). Bakatnya mulai kelihatan sebagai pemain bola sehingga dia terpilih jadi pemain inti di sekolahnya, sampai ketika dia kuliah di perguruan tinggi.
Hebatnya, Codot bukan hanya handal menggiring bola, waktu kanak-kanak dia pernah pula menjadi penyanyi band bocah "Umbuik Mudo" pada tahun 60-an. Bahkan dia pun seorang penari cilik ketika itu.
Dari perawakannya yang kecil mungil, orang tidak akan menduga bahwa Codot mampu menciptakan gol-gol yang manis dan menggetarkan gawang lawan. Tatkala di SMA, waktu kesebelasannya mengikuti Festival Kesenian dan Olahraga (Festikora) yang diikuti seluruh pelajar se-Sumatera Barat, tercipta 35 gol. Dan 19 gol di antaranya, tercipta dari kaki emas Codot. Sisanya diciptakan pemain-pemain lainnya.
Di bawah bimbingan pelatih PSP, Adnan Jamil, kepiawaian Codot semakin terasah dan sempurna. Meski bermain pada posisi sayap kiri, tapi anak dari Direktur SMAN 1 Padang, Usman Kagami (alm) dan Marlis Uska itu, tidak jarang turun ke bawah untuk menjemput bola lantas menggiringnya ke lini tengah hingga mulut gawang lawan untuk dilesakkan menjadi gol.
Karena prestasinya di sepakbola, Codot diterima bekerja di BNI 1946 pada 1970. Dua dunia berbeda dijalaninya sekaligus. Bahkan dia pun mulai meniti karir di politik dengan aktif di sejumlah organisasi kepemudaan termasuk partai politik.
Pada 1977, Codot dibawa Syahrul Udjud (mantan walikota Padang-red) untuk berkampanye dengan Golkar. Sebagai "orang baru", tentu saja Codot "manggaretek" ketika harus tampil berbicara sebagai Jurkam (juru kampanye) Golkar di hadapan massa partai berlambang pohon beringin tersebut. Tapi, bukan Codot namanya bila dia tidak mampu menguasai medan. Dan buktinya, pada masa kampanye 5 tahun berikutnya (1982-red), dia malah menjadi orator ulung dan singa podium dalam menyampaikan "janji-janji politik" yang begitu memukau audiens yang mendengarnya.
Keaktifannya di Golkar, akhirnya mengantarkan suami tercinta dari Hj Ellyta itu ke gedung rakyat. Dia terpilih sebagai anggota DPRD Kota Padang. Tidak hanya sekali, tapi dua kali berturut-turut, periode 1987-1992 dan 1992-1997. Sebagai anggota dewan, ayahanda dari Ira Febriani Irawadi Uska SE dan Ike Elvia Irawadi Uska SS tersebut, tidak segan-segan mengkritik "guru politiknya", Syahrul Udjud yang ketika itu menjadi walikota Padang.
"Dia memang pemain bola. Dan politik dilihatnya seperti bola," komentar Syahrul Udjud saat itu.
Kritik yang disampaikan Codot bukanlah asal-asalan. Biasanya untuk mengkritik melalui pidatonya di sidang paripurna, dia harus membaca berbagai referensi, baik itu aturan hukum maupun fakta sosial yang dilihatnya langsung dari kunjungan-kunjungan yang dilakukannya ke berbagai lokasi, seperti pasar, kampung dan tempat lainnya.
Usai menjadi wakil rakyat, lelaki yang mendirikan Wirid Remaja Sumatera Barat bersama Jisman Dt P Simarajo, Amir Kopa (alm), Asril Syam BSc (alm) dan Djamaluddin Djamil pada 1978 itu, kembali fokus ke pekerjaannya sebagai karyawan BNI. Bahkan dia dipercaya sebagai kepala cabang BNI Pariaman.
Seiring dengan berhembusnya angin reformasi yang tidak membolehkan PNS aktif di Parpol, Codot terpaksa fokus pada pekerjaannya tersebut hingga akhirnya dia pensiun pada 2003. Lepas pensiun per 1 Juni 2003, ternyata naluri berpolitiknya mengantarkan dia kembali ke "habitat keduanya" itu. Dia diminta mengkonsolidasi orang-orang yang ada di Ranah Minang ini untuk bergabung di Partai Demokrat yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu masih menjabat sebagai Menko Polkam.
Naluri politik Codot bergerak, begitu dia melihat peluang. Segera saja dia menghubungi teman-temannya, hingga akhirnya dia dipercaya memimpin Partai Demokrat Sumbar. Siang malam Codot dan kawan-kawannya menjelajahi kota dan kabupaten di Sumbar. Nyaris tiada hari untuk istirahat, kadang tidur dalam perjalanan.
"Hari ini saya di Padang, besok mungkin saya kampanye di Pasaman. Pagi ini saya di Padang, siangnya saya memberikan pengarahan ke kader-kader Partai Demokrat yang ada di Kota Bukittinggi. Belum habis rasa lelah saya ketika sampai di rumah, DPP Partai Demokrat memanggil saya ke Jakarta," cerita Codot soal romantika kampanye Pemilu 2004 lalu.
Namun berkat kegigihan Codot yang tak kenal menyerah, Alhamdulillah Partai Demokrat di Sumbar meraih suara yang mencengangkan semua orang. Sedikitnya 28 orang kader partainya itu mendapatkan kursi DPRD di kabupaten/kota dan provinsi dan satu orang untuk DPR RI. Partai Demokrat Sumbar pun punya andil besar terhadap terpilihnya SBY sebagai presiden dan Jusuf Kalla sebagai Wapres periode 2004-2009.
"Semuanya adalah rahmat Allah SWT. Segala cobaan yang saya alami, saya terima dengan ikhlas. Dan nikmat yang dilimpahkan kepada saya, saya syukuri.
Lain syakartum laazidanakum wallain kafartum inna Zabilashadiit (apabila engkau pandai mensyukuri nikmat yang Aku berikan, maka Aku tambah. Dan apabila engkau kufur akan nikmatku, maka tunggulah azab-Ku yang amat pedih-red)," kata Codot menyitir sebuah ayat Al Qur'an.(***)