HAMPIR seluruh masyarakat Sumbar, khususnya Kota Padang sejak setahun belakangan masih terus bertanya-tanya. Sampai kapan bengkalai renovasi Masjid Nurul Iman akan dirampungkan. Mereka menyesali "perbuatan" Gubernur Sumbar terdahulu, H Zainal Bakar SH yang seenak udelnya "membongkar" masjid tersebut demi kepentingan politiknya jelang Pilkada 2005. Padahal masjid ini mempunyai sejarah yang cukup panjang.
Sebagai masjid kebanggaan masyarakat Kota Padang dan masyarakat Sumbar secara keseluruhan, proses pembangunan Masjid Nurul Iman sangat berliku dan bertahun-tahun baru selesai. Bahkan masjid ini masuk dalam catatan sejarah yang cukup menggemparkan, lantaran pernah dibom oleh Komandan Jihad, Timzar Zubil pada 11 November 1976.
Dari telaah dokumen yang saya lakukan, masjid yang sebelumnya bernama Masjid Djamiek Nurul Aman ini, pembangunannya dimulai pada 26 September 1958 yang ditandai dengan peletakkan batu pertama oleh KH Musliah, Ketua Misi Departemen Agama ke Sumatera Barat. Modal pertama pembangunannya berasal dari bantuan Ka Operasi DAM III/ 17 Agustus, sebanyak Rp 1 juta, sumbangan Menteri Agama sebesar Rp 1 juta, dan dari pengumpulan sumbangan berupa derma, wakaf, dan zakat dari kaum muslimin Sumbar.
Hingga pertengahan Juli 1965, pembangunan sempat terbengkalai. Padahal ketika itu, pembangunan masjid tersebut sudah sampai pada tahap pemasangan lantai tingkat atas (lantai II-red). Pembangunan itu terbengkalai karena kesulitan
keuangan dan banyaknya pengurus masjid yang pindah domisili dari Kota Padang.
Tapi, patut diingat, bentuk masjid ini bukanlah seperti layaknya masjid di era sekarang. Dulu kondisinya serba darurat. Bahkan pada 1962, agar Shalat Tarawih dan Shalat Jumat dapat dilaksanakan di masjid tersebut, bangunannya terpaksa
diberi atap seng darurat di ruangan dalam. Seng yang dipakai adalah seng yang dipinjamkan walikota Padang (ketika itu) sebanyak 40 kodi. Meski darurat, bangunan ini telah dapat memberi manfaat --selain sebagai tempat shalat-- bagi terselenggaranya wirid ibu-ibu setiap minggunya dan juga dipakai untuk perayaan hari besar Islam.
Melalui SK No 69/GSB-UND/62 tertanggal 27 September 1962, Gubernur Sumbar, Kaharoeddin Dt Rangkayo Basa sempat pula membubarkan "Jajasan Mesdjid Djamiek Padang" dan lantas menunjuk Walikota Padang, Zainoel Abidin St Pangeran, Kepala Kantor Urusan Agama Daerah Tk I Sumbar, Hadji Djamaloeddin, dan Polisi Komisariat Sumbar, AKBP Johnny Anwar untuk membentuk sebuah yayasan yang berbentuk badan hukum guna mengambil oper bengkalai dan melanjutkan pembangunan Mesdjid Nurul Aman Padang.
Setelah yayasan baru dibentuk, kemudian gubernur mengesahkan pengurus Badan Pembangunan Mesdjid Djamiek Nurul Aman Kota Padang melalui SK No 74/GSB-UND/62 tertanggal 11 Oktober 1962 dengan Ketua Umumnya AKBP Johny Anwar yang kemudian digantikan Mr Chaidir Nien Latief yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua III. Pengurus ini hanya bertahan hingga 1965 dan diganti pada 5 Juli 1965 melalui SK No Kemasj.0062/GSB/65. Sebagai Ketua Umum, ditunjuk Ismail Tuangku Maradjo dan Sekretaris, Drs Azhari.
Karena terbengkalainya pembangunan masjid tersebut, Ketua I Panitia Pembangunan Masjid Nurul Aman, Boer Joesoef dengan Sekretarisnya, A Kamal SH pada 7 Juli 1965 melayangkan surat ke Wakil Perdana Menteri III, Menko Kesejahteraan dan Menteri Sosial RI untuk minta bantuan dana. Dalam suratnya No Sekret.001/S.U/B/1965 itu, mereka menyebutkan bahwa dari penaksiran Dinas PU (Pekerjaan Umum) Sumbar,
biaya untuk penyelesaian tersebut tidak kurang dari setengah miliar rupiah. Tidak jelas, berapa akhirnya pemerintah RI membantu pembiayaan pembangunan itu.
Namun hingga Desember 1965, pengurus pembangunan masjid melalui surat No 03/SU/B/65 tertanggal 6 Desember 1965 "melaporkan" ke gubernur bahwa pembangunan masjid masih terbengkalai. Bahkan tonggaknya sudah banyak yang lapuk. Mengingat bakal masuknya bulan suci Ramadhan 1385 H, panitia memohon bantuan dana sebesar Rp 2.250.000 kepada gubernur.
Pada awal 1966, nama Masjid Nurul Aman berganti menjadi Masjid Nurul Iman. Karena berdasarkan saran-saran para ahli disebutkan pemakaian kata-kata Nurul Aman tidak biasa dalam rangkaian bahasa Arab. Pergantian itu ditetapkan gubernur Sumbar melalui SK No Kemasj.025/GSB/66 tertanggal 10 Maret 1966 yang sekaligus mengganti kepengurusan masjid yang lama, dengan ketua barunya, Pelaksana Tugas Gubernur Sumbar, Soeputro Brotodihardjo yang kemudian digantikan Harun Zein.
Dua tahun kemudian, pengurus "melaporkan" kembali kondisi perkembangan pembangunan Masjid Nurul Iman ini, sekaligus memohon bantuan dana. Melalui surat No Sekr./006/S.U/B/1968, disampaikan bahwa ruang keliling bawah, baru dapat disiapkan sebanyak 4 lokal yang telah dimanfaatkan IAIN Aldjamiah Imam Bonjol untuk kantor rektor, kantor pusat IAIN, ruangan perpustakaan darurat dan ruangan kuliah untuk doktoral. Sedangkan bangunan dalam dan bangunan untuk tingkat atas (lantai II-red), belum dapat dimulai sama sekali. Untuk menyudahkan bengkalai itu ditaksir oleh seksi teknik bangunan membutuhkan biaya lebih kurang Rp 25 juta.
Secara perlahan namun pasti, Masjid Nurul Iman telah berdiri megah sebagai masjid terbesar di Kota Padang. Masjid itu menjadi kebanggan warga Kota Padang dan juga masyarakat Sumbar. Namun tragisnya, masjid ini nyaris jadi puing-puing seiring meledaknya bom yang diduga diledakkan Timzar Zubil, dari Komando Jihad
pada 11 November 1976 dengan motif memancing pertentangan antar agama. Pelakunya ini, tidak pernah ditemukan dan hingga kini masih misterius.
Nyaris porak poranda pasca pengeboman, masjid ini baru "porak poranda" pada 2004 pasca munculnya kebijakan gubernur Sumbar, H Zainal Bakar SH untuk merehabnya yang hingga kini tidak jelas bagaimana kelanjutannya. (***)