Semula tidak ada niatku untuk pulang kembali ke kampungku itu. Karena sejak lima tahun lalu hingga kini, impian yang mengantarku sendirian di kota ini belum juga terwujudkan. Kini dengan keadaanku yang tak lebih dari seorang pecundang yang kalah berperang dalam mengais rezeki di negeri orang, aku terus didorong oleh keinginanku itu.
Ya..., aku harus pulang.
Namun sudah seminggu sejak pertama kali keinginan itu mengisi relung hatiku, kebimbangan kembali menyeruak dalam hatiku. Aku takut. Takut orang-orang sekampung akan menertawaiku yang terlalu idealis untuk merubah nasib di negeri orang, namun perubahan itu sendiri nyaris tiada tampak pada sosokku. Justru tubuh ini yang semakin kurus ketimbang dulu sebelum aku meninggalkan kampungku.
Aku juga takut kepada kedua orang tuaku. Karena sulungnya yang sangat mereka harapkan akan membawa perubahan pada nasib keluarga, ternyata tak lebih dari seorang anak yang masih butuh sokongan tangan-tangan rapuh mereka.
Aku juga takut pada tatapan memelas adik-adikku yang tentunya berharap banyak padaku untuk bisa memberi mereka sesuatu yang berharga. Sesuatu yang juga menjadi impian teman-teman sebaya mereka di kampung, yaitu baju baru yang kini menjadi simbol bahwa keluarganya mampu.
Dalam kebimbanganku, waktu terus berjalan. Lebaran tinggal lima hari lagi. Sementara aku masih saja sibuk berkutat dengan ketidakpastian-ketidakpastian semacam ini. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak pulang saja pada lebaran kali ini. Sama halnya dengan lebaran-lebaran sebelumnya.
Egoku ternyata masih meraja. Ketimbang aku malu karena tak mampu menjadi apa-apa sebagaimana pernah aku lontarkan ke abak dan amakku, kepada adik-adikku, kepada orang kampungku, lebih baik ku urungkan saja niat untuk mudik ini. Itu lebih baik daripada keluargaku harus menahan malu karena gunjingan muncung-muncung kaum kampung terhadap diriku. Biarlah aku tetap disini. Toh, tak akan ada yang menertawaiku. Dan tidak ada pula yang akan peduli dengan nasibku. Nasib seorang pemuda kampung yang dikangkangi kaki-kaki kekar manusia kota. Nasib pemuda tanggung yang rela melakukan apa saja, asal bisa makan dan bertahan hidup dalam keangkuhan kota besar ini.
Pilihanku ini ternyata berbuah buruk. Hampir setiap malam menjelang sahur, mimpi-mimpi menakutkan terus menghiasi tidurku yang tak pernah lelap. Mimpi wajah-wajah menyeringai yang menatap sinis ke arahku. Wajah-wajah yang sama-sama kuhapal siapa pemiliknya, yaitu abak, amak dan adik-adikku, serta orang-orang kampungku. Menakutkan, karena mereka terus menertawaiku diiringi celoteh-celoteh yang tidak jelas vokal dan konsonannya. Bergemuruh, riuh rendah...
Dan gemuruh itu kini melanda hatiku, seiring dengan gemuruh yang menimpa kampung halamanku yang kini tinggal puing-puing akibat dihantam banjir bandang disertai longsor yang meluruhkan bukit-bukit angkuh yang menjajari perkampungan kecil itu. Perkampungan yang wajahnya kukenali satu-persatu, yaitu abak, amak, dan adik-adikku, serta orang-orang kampung yang kini diam karena telah lelah menertawaiku. (***)
Padang, 24 Nov 2002, jelang Lebaran 1423 H