Itu yang terjadi pedagang kaki lima (PKL), khususnya yang berada di Bundaran Air Mancur --sekitar 300 meter dari Balaikota Padang. Mereka digusur dari lokasinya itu dengan alasan yang tak jelas dan dijelas-jelaskan, yang baru terungkap kemudian. Hasilnya, terjadi perlawanan yang berakhir bentrokan.
Peristiwa bentrokan itu sendiri telah terjadi beberapa pekan lalu. Tapi imbas dan gaung perlawanan mereka masih terus terasa hingga kini. Mereka merasa dizhalimi, tanpa ada solusi --yang kalaupun ada masih sebatas kebijakan trial and error pula. Sekitar 80-an PKL ini, akhirnya harus mengaku kalah dan harus terima kenyataan. Mereka dipindahkan ke lokasi yang tak berapa jauh dari lokasi mereka itu, yaitu Jalan Sandang Pangan yang tepat berada di sisi kanan Balaikota Padang.
Sempat menolak berdagang di sana, mereka memilih mendorong gerobaknya ke gedung dewan. Di DPRD Padang, mereka bertahan selama seminggu berharap ada keadilan. Hasilnya, mereka pun diiming-imingi janji oleh walikota bila mau dipindahkan ke ruas jalan paling padat pedagang tersebut. Selain service memuaskan, seperti menyediakan tenda pengganti payung, aliran listrik, air bersih dan jaminan keamanan, mereka pun dijanjikan uang Rp 750 ribu/pedagang. Iming-iming itu dihiraukan.
Merasa pilihan mereka untuk bertahan di gedung dewan tak menghasilkan apa-apa, baru beberapa hari kemudian PKL ini menyatakan kesediaannya untuk dipindahkan ke Jalan Sandang Pangan dan meminta janji Wako itu direalisasikan. Tapi apa daya, janji tinggal janji, karena petinggi kota telah memutuskan takkan memberi, lantaran tenggat waktu yang ditetapkan sudah lewat berhari-hari. Maka PKL harus gigit jari.
Kini yang menjadi pertanyaan, mengapa ini bisa terjadi?
Seperti yang dikatakan di awal tulisan, semuanya terjadi karena konsep pembangunan dan pengembangan kota yang tak jelas dan mengabaikan tata ruang kota. Ini bermula dari dialihfungsikannya terminal bus AKAP-AKDP Lintas Andalas di Jalan Pemuda menjadi Plasa Andalas pada 2002 lalu. Terminalnya sendiri dioperasikan di Terminal Regional Bingkuang yang berada 15 km dari pusat kota. Dengan itu, tersingkirlah komunitas PKL di Lintas Andalas tersebut. Mereka tersebar ke mana-mana.
Belum puas dengan satu pusat perbelanjaan mewah ini, Pemko kembali mengizinkan dibangunnya pusat perbelanjaan baru. Hasilnya, terminal angkutan kota Goan Hoat dilikuidasi. Jadilah Kota Padang sebagai kota tanpa terminal, kecuali terminal bayangan. PKL yang ada di situ pun terberai-berai mencari lokasi.
Di mana ada keramaian, di situ PKL berdiri. Eksistensi mereka pun menjadi-jadi, karena dianggap resmi --yang ditandai dengan adanya Pungli dari oknum pemerintahan--, PKL ini semakin berani memanfaatkan badan jalan. Terjadilah kemacetan, karena ulah supir Angkot yang ngetem sembarangan --lantaran tak lagi punya terminal-- dan PKL yang semakin menjamur di lokasi Bundaran Air Mancur yang telah berubah menjadi Terminal Regional Bayangan.
Oleh Pemko, kesemrawutan itu coba dihilangkan, mengingat Kota Padang akan dikunjungi berbagai kalangan karena banyak event yang diadakan. Mulai dari Dragon Boat, HUT KNPI, Padang Fair & Unand Expo, HUT Kota Padang ke-337, HUT RI dan hat-hit-hut lainnya. Terlebih lagi dengan
adanya penilaian Wahana Tata Nugraha yang memperlombakan tetek bengek transportasi dan berlalulintas. Maka itu, dibabat habislah PKL tadi, yang menyisakan masalah hingga hari ini... Siapa yang salah? (***)