LELAKI muda itu menatap nanar. Matanya tak lepas dari layar komputer. Pikirannya tidak fokus ke sana, benaknya melayang entah kemana. Memori masa lalunya, kembali diretas penggal demi penggal guna mengingat sesuatu. Sebentar berkelebat ke masa kanaknya, terus berpindah ke masa remajanya dan beralih ke hidup yang kini dijalaninya.
Dia asyik bermain dengan pikirannya, hingga selang beberapa waktu, ada ingat mengingatinya untuk segera menuliskan apa yang barusan lewat diingatannya. Ya, sebuah keinginan atau tepatnya mimpi yang ingin diwujudkannya di sisa hidup yang entah kapan akan berakhir. Usianya memang masih muda, tapi itu bukan patokan bahwa hidupnya akan berlangsung lama. Dia yakin seyakin-yakinnya, usia adalah misteri yang menjadi bagian dari hidup itu sendiri.
Tangannya mulai memainkan tuts-tuts huruf yang tertera di keyboard komputer kantornya, tempat dimana hari demi harinya habis untuk mewujudkan mimpi dengan menjadi bagian dari sebuah sistem yang memposisikan dirinya sebagai milik "orang lain". Bekerja dalam alur yang telah ditentukan, terkadang dengan berbagai tekanan yang kadang dianggapnya angin lalu.
Ini bukan kehendaknya. Karena dia punya ingin yang lebih dari sekedar menjadi milik "orang lain". Menjadi orang besar yang punya keinginan memiliki "orang lain". Itulah mimpi yang pernah terpatri dibenaknya, saat guru SD-nya bertanya tentang cita-citanya bila kelak menjadi dewasa.
Keinginannya menjadi pemilik "orang lain" yang dicetuskannya ketika masih kanak itu, urung dituliskannya pada notepad yang tampil di layar monitor komputer. Dua alinea yang telah ditulisnya tentang mimpi itu, hilang sekejap setelah tuts delete menyudahi rangkaian kata berisi ingin tersebut.
Dia kembali tercenung. Sadar mengingatinya, alinea yang baru saja dihapusnya memang tak pantas dipertahankan, karena itu akan menjadi bahan tertawaan orang yang membaca tulisannya. Pikirannya buntu. Sebatang rokok dibakarnya, untuk menyulut kembali ingat yang belum teringat.
Sudah 3 batang rokok habis diisapnya. Apa yang mau dituliskan belum juga nyata. Dengan membaca bismillah, dia menguatkan ingat untuk segera menyelesaikan tulisannya itu.
Puluhan tahun telah dilalui, keinginan masa kanak tak mungkin diwujudkan. Dia mencoba mengingat realita. Apa yang harus digapainya kini. Kelewat muluk-muluk, akan percuma. Karena hidup terus berjalan, tuntutan kebutuhan hidup semakin tinggi. Tanggung jawab yang diembannya sebagai suami yang harus menafkahi istri dengan seorang anak yang masih mungil, kini berada di pundaknya.
"Apa yang harus kuperbuat untuk mereka," tanya itulah yang menginspirasinya kembali menuliskan keinginan hidupnya kini hingga saatnya nanti.
"Aku harus bisa menghidupi mereka dengan nafkah yang halal. Membuat istriku bahagia, membikin masa depan anakku lebih cerah. Setidaknya dia harus lebih baik dari ayah dan bundanya. Harus punya keinginan hidup atau cita-cita yang jauh lebih tinggi dari ayahnya yang kini terkungkung sebagai milik "orang lain". Ya.., aku ingin begitu saja di sisa hidupku yang tak seberapa," gumamnya sembari terus mengetik huruf demi huruf di komputernya.
Dia mulai berjanji pada dirinya, untuk segera memulai hidup baru. Hidup dengan semangat untuk be the best bagi dirinya, istri tercinta dan anak tersayang. Tak perlu hidup muluk-muluk, cukup dengan "jalani dan beri dia arti..." Sebuah filosofi yang tak ada duanya di dunia ini.
(***)
* tulisan di atas, adalah kenyataan dan harapan yang kutuangkan sekaitan dengan writing contest-nya HIKING.