Rakyat Indonesia yang berada di sepanjang pesisir pantai,khususnya Sumbar benar-benar lagi Parno alias paranoid. Psikologi mereka benar-benar down lantaran terjangkit tsunami phobia menyusul bertubi-tubinya pemberitaan soal gempa dan kemungkinan tsunami yang dilansir media massa yang bersumber dari analisis ahli, ramalan dukun, maupun laporan peristiwa.
Ketakutan ini bukan tidak beralasan, karena inilah bagian fitrah manusia yang ingin selamat dari marabahaya apapun yang mengancam kelangsungan hidupnya.
Fakta membuktikan, pasca tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, menyusul gempa kuat di Yogya dan tsunami di Selatan Pulau Jawa, siapa pun tidak ingin menjadi korban berikutnya. Walaupun mereka tahu, yang namanya petaka, ketentuan Illahi Rabbi. Tapi mereka yakin seyakin-yakinnya masih ada kesempatan untuk selamat --minimal korbannya bisa diminimalisir-- bila ada usaha-usaha untuk itu.
Mirisnya, ketakutan ini bukannya terobati. Akhir-akhir ini yang terjadi mereka justru disuguhkan dengan pemberitaan ini-itu tentang rencana pemerintah dengan segala akan dan bakalnya untuk mengantisipasi ini dengan mempersiapkan early warning system.
Tapi kapan? Itu yang menjadi pertanyaan. Bila jawabnya bulan depan, triwulan ke depan, semester ke depan, setahun ke depan dan ke depan lainnya, maka itu hanya sebatas wacana. Bayangkan bila, sedetik, semenit, sejam, sehari, seminggu setelah anda membaca postingan ini, tsunami itu benar-benar terjadi, apa gunanya rencana ini dan itu tadi?
Di Sumbar saja, seperti diekspos Gubernur, H Gamawan Fauzi SH MM pada 1 Agustus lalu, sedikitnya 527.962 jiwa di daerah ini terancam jadi korban terjangan tsunami yang diperkirakan mencapai 11 meter lantaran tinggal di daerah pesisir pantai. Rinciannya, warga Kota Padang yang terancam mencapai 355.312 jiwa yang tinggal di zona merah, Painan potensinya mencapai 99.150 jiwa, diikuti Pariaman 21.600 Jiwa dan Air Bangis 51.900 jiwa.
Lantas apa persiapannya untuk itu? "Pemprov Sumbar telah merancang 5 jembatan menuju Gunung Padang yang kontruksinya tahan gempa sampai 8 skala richter lebih. Lima jembatan itu dapat dipergunakan untuk melarikan diri seandainya ada ancaman tsunami bagi warga Padang Selatan. Sementara itu, sejumlah proyek pelebaran jalan poros menuju ke By Pass tengah diupayakan. Namun Pemko Padang dan sejumlah daerah tingkat II lainnya kesulitan dalam pembebasan tanah untuk memperlebar jalan. Seperti jalan dari Alai ke By Pass, saat ini belum kunjung dibebaskan meskipun dana untuk pengaspalan dan pelebaran jalan itu sudah ada," ujar Gamawan.
Selain program itu, Pemprov juga telah menjalin kerjasama dengan pemerintah Prancis untuk membangun sistem peringatan yang terintegrasi dengan sejumlah daerah tingkat II yang berpotensi menjadi korban tsunami. "Dalam waktu dekat akan dibangun transmisi peringatan di Gunung Singgalang. Kegunaannya untuk menerima peringatan dari BMG dan dipantulkan ke posko-posko pengamatan ancaman tsunami di berbagai daerah yang terancam. Bahkan di Kota Padang tengah dibangun 6 sirine peringatan untuk warga yang akan berbunyi sebagai komando untuk penyelamatan diri ke jalur-jalur evakuasi," paparnya lagi.
Kembali menjadi pertanyaan, semua itu kapan? Karena fakta bicara, rekor tertinggi gelombang tsunami di Sumbar mencapai tinggi 15 Meter. Tsunami itu terjadi pada tahun 1833 dengan siklus sekali 150 Tahun. Namun demikian, siklus tersebut dapat bergeser semakin cepat atau sedikit melambat. Dari sejarah yang tercatat, tsunami pernah menyerang Sumbar pada tahun 1300-an berlanjut ke 1500-an, 1700-an dan 1833. Menurut siklus, tahun 2000-an menjadi masa potensial tsunami di Sumbar.
Gawatnya, info terkini, dari laporan kapal penelitian geologi Perancis "Marion du Fresne" yang mengadakan penelitian sejak 3 minggu lalu, telah ditemukan retakan dari laut Andaman menuju pantai barat Sumatera sepanjang 900 km yang terjadi pasca gempa besar dan tsunami di Aceh akhir 2004 lalu.Retakan itu terus bergerak dari Aceh ke Nias dan terus ke Mentawai hingga Bengkulu dan menyambung ke Selat Sunda dan Pangandaran. Retakan ini terlihat dari foto satelit seperti sabetan golok yang tajam.
Nah lho. Kami mau ngapain? Paling hanya menunggu datangnya tsunami yang pasti akan terjadi, tapi entah kapan waktu pastinya. Yang pasti pula, kami di sini hanya bisa berharap pemerintah harus cepat bergerak dan berpacu sebelum kedatangan tsunami. Ingat, kami di sini telah terserang Parno Tsunami!!! (***)