PADA 9 November 2005 lalu, mantan Walikota Padang, Bagindo Aziz Chan resmi menjadi pahlawan nasional seiring dengan terbitnya SK Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagai pejuang kemerdekaan yang gigih berjuang untuk mempertahankan kedaulatan RI, Bagindo Aziz Chan memang pantas mendapatkan gelar itu.
Sebenarnya, selain Bagindo Aziz Chan adalagi tokoh yang sangat pantas untuk mendapat gelar yang sama. Dialah Dr Mohammad Djamil yang namanya kini diabadikan sebagai nama rumah sakit terbesar di Sumbagteng, RS Dr M Djamil Padang.
M Djamil sebagai seorang dokter kelahiran Kayu Tanam, 28 November 1898, telah banyak berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dan perhatiannya yang sangat besar terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Ini terbukti dari catatan sejarah yang dapat kita baca, baik ketika mendirikan Fakultas Kedokteran dan FIPIA (Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam) di Bukittinggi maupun Universitas Andalas sendiri.
Bila kita baca sejarah hidup pejuang kemerdekaan yang sezaman dengannya, nama M Djamil tidak dapat dipisahkan dari perjuangan itu sendiri. Dia dijuluki "Residen Lipat", karena ketegasannya dalam berjuang dengan melontarkan istilah "sikat" dan "lipat". Kata-katanya itu menjadi penyemangat bagi para pejuang untuk berjuang mati-matian mempertahankan tanah tumpah darah kita ini.
Di era perjuangan itu, berbagai jabatan penting --di luar bidang kesehatan-- pernah dijabat M Djamil. Di antaranya anggota Komite Nasional Minangkabau pada Agustus 1945, yang berlanjut menjadi ketua satu dalam organisasi tersebut pada Maret 1946. Pada 1946, M Djamil diberi amanah sebagai Residen Sumatera Barat, Gubernur Muda Sumatera Tengah sekaligus Gubernur Militer Sumatera Tengah.
Untuk bidang kedokteran dan dunia pendidikan, M Djamil adalah anak bangsa yang pertama yang menyandang 2 gelar doktor sekaligus di era itu. Ini menunjukkan betapa pendidikan dan pengabdiannya kepada masyarakat sebagai hal yang paling utama untuk dilakukannya. Gelar doktornya yang pertama dengan titel Doctor Medicinae Interne Ziekten diperolehnya di Universiteit Utrecht Holland dengan thesis Phitopharmacologisch Onderzoek Volgens Macht pada 31 Mei 1932. Sedangkan titel doktornya yang kedua, diperolehnya dari John Hopkins University, Baltimore, Maryland, USA pada 12 Juni 1934 dengan titel Doctor of Public Health (DPH) melalui thesis berjudul A Study of Mixed Subcutaneous Infections in Guinea Pigs. M Djamil menjadi orang pertama di Indonesia yang menyandang gelar DPH itu hingga 1934.
Sebelum memperoleh gelar DPH, M Djamil terlebih dahulu merampungkan gelar Master of Public Health (MPH) di universitas yang sama pada 31 Juni 1933. Titel lengkap yang disandang dalam namanya adalah Dr M Djamil, Arts, MPH, DPH, Dt Rangkayo Toeo.
Jasanya yang sangat besar dan bahkan diakui oleh pemerintahan Belanda adalah risetnya terhadap penyakit Tuberkolosa (TBC) dan Malaria. Dia melakukan riset di Koto Gadang dan Sianok pada 1925-1927 soal TBC yang hasilnya berbuah dengan diperolehnya penghargaan dari Ratu Belanda, Ratu Wilhemina. Dua tahun kemudian, M Djamil pindah ke Panyabungan, Tapanuli Selatan dengan bekerja di rumah sakit dan poliklinik di Natal. Di daerah itulah dia melakukan penelitian mengenai penyakit Malaria. Melalui hasil risetnya itu, anggaran (begrooting) pemerintah yang telah ditetapkan untuk Malaria-Bestrijding dapat ditekan (penghematan) untuk pemberantasan penyakit tersebut.
Ketika ditugaskan pada Kantor Pusat Penyakit Malaria di Jakarta pada 1938-1939, dalam risetnya M Djamil menemukan cara baru untuk memberantas (membunuh) jentik-jentik nyamuk Malaria (Anophelinen) dengan dedek. Serta Role of Protozoo-Films on The Prevalence of Malaria (peran selaput protozoon di atas air terhadap penjangkitan Malaria). Dua hasil penelitiannya itu, belum sempat disiarkan lantaran pecahnya Perang Dunia ke-2.
Karena keberhasilannya dalam riset tersebut, DR Overbeek, Kepala Bestrijding di Indonesia menetapkan M Djamil untuk diberi titel Malarialoog (ahli malaria). Sementara itu, untuk saat ini ada rencana pula untuk mengangkat M Djamil sebagai Bapak Public Health Indonesia, atas jasa-jasanya di bidang kedokteran. Sementara penghargaan selaku pejuang kemerdekaan Sumbar, M Djamil sudah memperolehnya berdasarkan Keputusan Gubernur No 241/GSB/1976 tertanggal 16 Agustus 1976. Ini pun berlanjut dengan ditetapkannya nama M Djamil sebagai pengganti nama RSUP Jati menjadi RS DR M Djamil berdasarkan Kepmen Kesehatan No 336/MenKes/SK/X/1978 pada 12 November 1978, bertepatan dengan peringatan Hari Kesehatan Nasional.
Sedangkan menyangkut upaya untuk menjadikan M Djamil sebagai pahlawan nasional juga telah jauh-jauh hari dilakukan. Mantan Direktur Utama RS Dr M Djamil, dr H Allan Gazali Saus SpTHT MHA Dt Rangkayo Tuo yang juga keponakan kontan M Djamil menyebutkan, usaha itu dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat kampung ke camat, terus bupati, gubernur dan berujung ke Menteri Sosial RI untuk mengurus syarat administratifnya. Secara prinsip sebenarnya sudah clear, tinggal lagi satu syarat yang belum terpenuhi yaitu buku biografi yang bersangkutan. Untuk itu, pihaknya kini tengah menyusun buku biografi tersebut.
"Jika semua ini rampung, Insya Allah dengan usaha dan dukungan kita semua, Dr M Djamil bisa menjadi pahlawan nasional berikutnya dari Sumatera Barat," harapnya. (***)