TAK banyak yang tahu siapa gerangan Rohana Kuddus. Menyebut namanya, di tingkat lokal (Sumbar-red), orang hanya tahu nama itu melekat sebagai nama jalan, nama gedung, nama usaha kripik balado di Kota Padang, dan sebagainya. Soal kiprahnya? Hanya segelintir yang tahu, itupun mungkin tidak persis detilnya.
Anak sulung pasangan Moehammad Rasjad Maharadja Soetan dan Kiam ini, ternyata bukan hanya tercatat sebagai wartawan perempuan pertama Indonesia saja dengan mendirikan surat kabar Soenting Melajoe. Menjadi Pemred (pemimpin redaksi) pula. Dia juga menjadi pelopor pendidikan dengan mendirikan sekolah keterampilan Kerajinan Amai Setia yang merupakan permulaan industri rumah (atau bahasa kerennya home industry) di Minangkabau dan penggerak politik politik perempuan pertama di ranah Minang.
Bayangkan. Betapa hebatnya kakak tiri St Sjahrir (perdana menteri pertama RI) ini. Di saat yang lain belum melek membaca alias buta aksara, dia sudah tampil sebagai "guru kecil" di usianya yang masih 8 tahun di tahun 1892. Kepadanya, rekan-rekan sebayanya belajar bermain sambil membaca.
Di usianya yang matang sebelum dan setelah menikah dengan Abdul Kuddus, melalui perjuangan hidup yang jatuh bangun, mengalami berbagai benturan sosial dengan pemuka agama, adat, dan masyarakat umum, Rohana dipuji dan dikagumi, tetapi sekaligus difitnah dan dicaci maki, sehingga terpaksa meninggalkan kampung halamannya. Dia tetap berjuang, malah mendirikan Rohana School, sekolah kepandaian perempuan di Bukittinggi. Dia pun aktif dalam Partai Pergerakan Bawah Tanah yang menentang kolonial Belanda.
Di saat "perangai" Belanda yang semakin membabi buta, Rohana turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar semangat juang para pemuda. Dia berpartisipasi mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke Bukiktinggi melalui Ngaraik Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payokumbuah dengan kereta api.
Berakhirkah perjuangan ibu dari Djasma Juni ini? Belum. Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika merantau ke Lubuak Pakam dan Kota Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Dan Pulkam (pulang kampung) 3 tahun kemudian dengan menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Cina Melayu di Padang dan surat kabar Cahaja Sumatra.
Begitulah. Perempuan yang wafat pada 17 Agustus 1972 itu mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara, serta menjadi kebanggaan bagi kaum hawa yang diperjuangkannya.
Tapi adakah kita tahu lika-liku hidupnya ini? Tidak!! Itu pasti. Padahal Pemrov Sumbar saja pada 17 Agustus 1974 telah menganugerahi dia penghargaan sebagai wartawati pertama. Dan pada Hari Pers Nasional ke-3, 9 Februari 1987, Menteri Penerangan, Harmoko --ketika itu-- telah pula menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia. Itu sebenarnya belum cukup, mengingat begitu besar jasa-jasanya.
Karena itulah, Himpunan Wanita Karya (HWK) Sumbar bekerjasama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sumbar, sedang memperjuangkan Rohana Kuddus untuk menjadi pahlawan nasional. Dia pantas disejajarkan dengan RA Kartini, Dewi Sartika, maupun Maria Walanda Maramis yang memperjuangkan pendidikan perempuan.
Sebagai langkah lanjutan menuju pengakuan itu, HWK dan PWI akan menggelar seminar nasional tentang Rohana Kuddus pada 24 Mei mendatang di Aula Kantor Gubernur Sumbar. Persyaratan lain sebagai persyaratan administrasi meluluskan Rohana sebagai pahlawan juga sudah diretas. Di antaranya penerbitan buku biografinya, dokumennya, rekomendasi dari lembaga terkait, kajian sejarahnya, dan sebagainya. Dan Insya Allah, kita tinggal menunggu, satu lagi barisan pahlawan nasional berasal dari ranah Minang tercinta ini. (***)