SUDAH siapkah kita menghadapi tsunami? Jika ditanya kepada walikota Padang, pasti jawabnya sudah. Dan keyakinannya itu sudah berulang kali diungkapkannya di berbagai kesempatan baik di dalam forum nasional maupun internasional. Tapi kalau pertanyaan tersebut ditanyakan ke saya, jawabnya belum.
Saya bukan bermaksud mau berseberangan pendapat dan keyakinan dengan walikota, tapi saya justru menyampaikan apa yang saya lihat, dengar dan rasakan saat gempa berulang kali dirasakan getarannya di kota ini pasca gempa besar dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2004.
Hanya beberapa hari setelah gempa Aceh, begitu ada isu gempa dan tsunami, warga langsung kabur ke ketinggian. Lalu cukup lama "diam" tanpa sedikit pun ada goyangan, gempa Nias 28 Maret bikin kaget pula warga Kota Padang di tengah malam. Dan 12 hari kemudian, tepatnya 10 April 2005, gempa besar itu pun mengayun dan menguncang Padang berulang-ulang kali sepanjang malam. Apa yang terjadi? Warga panik alang kepalang dan mencari tempat tinggi setinggi-tingginya, karena ketika itu belum didapat kepastian pusat gempa.
Setelah rangkaian gempa akhir 2004 dan awal 2005 tersebut, Pemko dibantu pemerintah pusat mulai bergiat untuk melakukan langkah antisipasi tsunami. Dan yang paling dikenang tentu saja pelatihan simulasi tsunami untuk lari ke Gunung Pangilun dan jejak yang tertinggal lainnya adalah bertebarannya berbagai baliho besar berisi peta evakuasi tsunami yang kini kondisinya lusuh tak berarti dan tak pernah dilirik warga lagi.
Cuma simulasi dan peta evakuasikah langkah antisipasi itu? Entahlah, cuma yang saya tahu ada sejumlah rencana seperti pelebaran jalan sebagai jalur evakuasi tsunami seperti di Ampang-By Pass yang hingga tulisan ini ditulis belum nampak pengerjaannya. Jalannya masih sempit, kalau kendaraan tumpek-blek, macetnya minta ampun. Lalu ada pula kabar dipasangnya Buoy sebagai peringatan tsunami dini (tsunami early warning system) di tengah lautan, tapi jujur saja alat itu belum berfungsi. Ada pula pemasangan sirene di berbagai daerah pesisir, dan sejauh ini belum pernah dibunyikan sebagai simulasi. Entah mati atau berfungsi, hanya yang punya proyek yang tahu pasti.
Ada pula pejabat yang cuap-cuap, untuk antisipasi tsunami, katanya harus ada perencanaan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Mendengar itu, telinga saya panas. Karena namanya musibah tak ada mengenal waktu pendek, menengah dan panjang tersebut. Musibah bisa saja terjadi detik ini, menit ini, jam ini, hari ini, besok hari, minggu ini, bulan ini atau tahun ini, tak ada yang pendek, panjang dan menengah.
Lalu bagaimana? Saya katakan kepada teman yang selalu setia mendengar ceplas ceplos saya, mengantisipasi musibah itu ibarat orang tobat. Kalau memang dapat hidayah, pasti langsung tobat. Tidak mesti menunggu tua dulu, baru tobat. Keburu meninggal bagaimana? Mana bisa tobat dibikinnya.
Begitu juga dengan musibah, karena rencana proyek berjangka-jangka itu, lalu tiba-tiba datang musibah, maka tinggallah wacana dan rencana yang sekedar kata-kata. Tragiskan? Kita mati sia-sia hanya gara-gara wacana dan rencana-rencana yang hanya dibicarakan itu ke itu saja.
Nah kini apa? Bathin saya kembali menjerit. Kenapa? Ternyata secara fisik dan bathin, kita belum pula siap mendengar kemungkinan adanya bencana. Saya tak tahu, apakah rakyat yang belum siap atau pemerintah yang tak mampu (untuk menetralisir panik dan ketakutan warganya). Begitu ada informasi bahwa daerah ini akan dilanda gempa besar setelah berturut-turut disentak gempa sejak 12 September lalu, tanggapan yang terdengar hanya satu. "Jan dipatakuik juo lai...," demikian ujaran yang mengemuka baik dari pemerintah maupun masyarakat.
Dikasih ingat, kok dibilang membikin takut? Ya sudah, karena psikologi sosial kita seperti itu dan cenderung menjadi korban rekayasa sosial untuk stabilisasi kondisi, makanya saya tak mau meneruskan tulisan ini. Kalau saya teruskan, nanti dianggap menyampaikan kabar pertakut dan dianggap mengganggu stabilitas negeri. Padahal saya hanya ingin mengatakan, la tahqaf waa la tahzan innallah maana.... (jangan takut dan jangan bimbang, Allah bersama kita..). Itu saja! (max) |