Di tengah begitu beratnya beban hidup yang dihimpit ratusan kebutuhan yang tak semuanya bisa diwujud, maka muncullah sejumlah program dari
big boss (pemerintah yang bertugas memerintah seperti halnya bos) guna membantu terpenuhinya hajat orang banyak, terutama kaum kere seperti kita-kita semua. Mulai dari program subsidi kesehatan, perumahan, hingga pendidikan.
Khusus untuk pendidikan, salah satu program yang diluncurkan adalah dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang merupakan dana kompensasi dinaikkannya harga bahan bakar minyak (BBM) yang bergulir sejak Maret 2005 lalu. Prinsip dari dana BOS ini adalah dibebaskannya siswa miskin dari segala pungutan, dan sebagai subsidi bagi dana pendidikan murid. Tapi apa yang terjadi?
Sebagaimana dilansir Dinas Pendidikan Sumbar saat menyosialisasikan dana BOS ini di koran-koran, disebutkan bahwa penggunaan dana BOS ini diutamakan untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa; biaya pendaftaran, penggandaan formulir, administrasi pendaftaran, dan pendaftaran ulang. Ini baru
point pertama dari 13
point soal penggunaan dana BOS itu. Kenyataannya?
Realitas terkini, saat penerimaan siswa baru (PSB) beberapa waktu lalu, sekolah justru berlomba-lomba melakukan pungutan kepada calon siswa. Semakin tinggi pungutan, semakin mempertegas sekolah itu bonafid. Karena yang jadi siswanya adalah orang-orang yang rela dipungut setinggi-tinginya oleh sekolah. Kalau orang kere, terpaksa mundur teratur.
Baru akan bersekolah saja, sudah ada kewajiban untuk membayar uang pendaftaran, uang seragam, uang bangku, uang pembangunan, uang praktek, uang komputer dan uang-uang lainnya. Tentu kita bertanya-tanya, dikemanakan dana BOS yang telah dikucurkan untuk sekolah-sekolah itu?
Padahal, uang pendaftaran sudah ditanggung BOS. Uang pembangunan juga dianggarkan dalam BOS. Apakah tiap tahun sekolah selalu membangun? Apa yang dibangun? Paling banter hanya renovasi kecil-kecilan atau biaya perawatan rutin semacam pengecatan, perbaikan atap bocor, perbaikan pintu dan jendela, perbaikan
mobiler, perbaikan sanitasi sekolah, dan perawatan fasilitas lainnya yang kesemuanya itu ditanggung BOS. Kalau pun benar-benar membangun, biasanya sudah ada pula donatur dari pihak alumni dan hamba Allah yang namanya tak mau disebutkan. Atau kalau pihak sekolah gigih dan beruntung, masih ada pula dana
block grant.
Buku? Untuk buku pun ditanggung BOS. Tak hanya dari BOS, malah adapula buku gratis yang dianggarkan dalam APBD seperti yang dilakukan Kota Padang. Tapi, kok masih saja ada guru-guru yang
nyuruh beli buku ini-buku itu?
Dengan contoh kecil itu saja, jelas bejibun pertanyaan dan dugaan yang bisa dialamatkan atas penggunaan dana BOS itu. Apakah dana tersebut benar-benar untuk BOS (bantuan operasional sekolah) atau hanya untuk si bos (kepala sekolah dan jajaran-jajarannya yang merasa juga jadi bos)?
Wallahualam.
Maka jangan heran baru-baru ini
Indonesian Corruption Watch (ICW) membikin pernyataan bahwa pengelolaan dana BOS sarat dengan praktek korupsi karena tingginya kekuasaan dan monopoli kepala sekolah serta rendahnya transparansi pengelolaan terhadap dana bantuan itu. Pernyataan yang disampaikan anggota Komisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Ade Irawan dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Ad Hoc III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 11 Juli lalu itu, bukan asal cuap. Pernyataan ini lahir dari hasil riset yang mereka lakukan terhadap sejumlah sekolah di Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kota Bau-bau, Kota Makasar, Kota Manado, Kota Banjarmasin, Kota Jakarta, Kabupaten Garut, Kabupaten Tangerang, dan Kota Padang.
Nah, lho... Emang enak jadi bos!!!
(***)